9

1.7K 204 50
                                    


Satu porsi sate ayam dengan potongan lontong sudah tersaji di depan kami berdua. Tangan kanan Edrick mulai mengaduk bumbu kacang yang dituang tepat di atas tusukan-tusukkan daging ayam yang sudah dibakar itu.

"Dulu, Edward sering banget ajakin gue buat makan di sini, dia bilang makanan di pinggir jalan lebih enak ketimbang di restoran mahal."

Itu kesimpulan orang kaya yang pelit, banyak kok, tempat makan mahal yang kualitas dan rasa makanannya gak megecewakan, salah satunya tempat makan yang dikelola Mamanya Irgi. Promosi.

"Elo gak laper?"

"E-?"

"Elo gak suka makananya?" Dia ngambil sate ayam yang ada di depan gue, dia adukin bumbunya sampai bumbunya ngenain sate sama lontongnya semua.
Ini anak mau bikin gue berkesan atau gimana, pake segala diadukin.

"Elo sengaja mau nyiksa gue, ya?"

Bukan apa-apa, telinga gue dari tadi digigitin nyamuk. Soal makanan gak ada masalah, tapi tempatnya ini gak kondusif sama sekali.

"Loh, kan gue mau makan, kok, nyiksa?"

"Elo emang sialan," gue lemparin tisue di tangan yang udah gue remes-remes ke muka dia. "Pulang ah, cepetan makannya."

"Baru juga satu suap,"

"Ya, udah, buruan ..." gue hentakin kaki berkali-kali. Walaupun pake celana panjang tetap aja nyamuknya tembus.

"Kok, lo mirip Kavin sih,"

"Kavin, kenapa bisa gue mirip Kavin?"

"Itu ngerengek, lo lagi ngerayu gue, ya?"

Apaan ngerayu, emang gue ngapain sampe dia ngerasa dirayu segala.

"Terserah, gue mau balik."

"Sa," Edrick nahan tangan gue yang udah mau jalan ke trotoar, dia noleh sebentar ke arah lampu jalan yang bikin gue silau, dia tiba-tiba berdiri dan badannya nutupin sorot lampu itu.

"Gue anter elo pulang, biar gue selesain makan dulu."

Berkali mata gue mengerjap, ada sesuatu yang seolah menggelitik perasaan. Perasaan yang berbeda, yang gak pernah gue rasain waktu bareng sama Irgi.

"Duduk dulu," dia nuntun gue buat balik duduk lagi di bangku. "Pak, yang ini dibungkus aja, ya, Pak." Sate ayam yang harusnya gue makan diminta buat dibungkus.

Setiap kali bareng sama Edrick, satu persatu sifat barunya dia bermunculan dan itu semua selalu bikin gue merasa heran.

* * *

Walaupun cuma sebentar,  tapi pada akhirnya  kita berdua pulang tengah malam. Gue gak jadi ambil mobil di kantor dan Edrick anterin gue sampe rumah.

"Makasih tumpangannya." Gue buru-buru turun dari mobilnya dia, rasanya bareng sama Edrick itu kaya naik roller coaster. Emosinya terus-terusan diuji, naik-turun gak jelas.

"Sa ..."

Dia ngikutin gue turun bukannya malah pergi.

Apa lagi, mau apa lagi dia manggil gue. "Apa?" Dia jalan deketin gue, deket banget bahkan hidung gue bisa nyium aroma parfumnya dia. Edrick masukin tangan ke saku celananya, dia natap gue sambil senyum manis, beda banget gak kaya biasanya.

"Istirahat, makasih buat malam ini." Tangan kanannya, dia angkat terus ngelus kepala gue pelan. Dia kasih senyuman, senyum yang gak pernah dia tunjukin selama dia kerja di kantor.

Kenapa lo lakuin ini, Drick?

* * *

Otak gue sekarang ini sama sekali gak bisa berpikir jernih. Perasaan gue lebih berkuasa ketimbang logika. Apa yang dilakuin Edrick tadi seolah munculin rasa bersalah gue ke Irgi. Tapi, sisi lain dari diri gue seolah menentang. Di antara gue sama Irgi belum ada kepastian nyata. Dia juga sama sekali gak bilang apakah dia cinta atau gak sama gue. Dan soal ciuman,  bisa aja dia cuma khilaf atau emang dia kebawa suasana.

Who Feels Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang