16| Cemburu 2

93 21 4
                                    

Aku dan kepribadian baru Azka berlari di sepanjang koridor. Perlahan-lahan Azka sudah mulai kembali pada masa 10 tahun lalu. Karena jarang berlari, terkadang kami kehilangan keseimbangan. Sejurus tatapan tajam terarah kepada kami. Buk Sri.

“Nak,” panggilnya.

Kami berhenti mendadak, hendak roboh. Sedikit ragu kami memutar balik, menengok ke arah Buk Sri. Kukira wanita bertubuh bongsor itu akan memasang wajah masam, dengan tangan di pinggang.

Kejutan, Buk Sri malah tersenyum ramah. Pelan-pelan ia berjalan mendekat. “Nilai fisika kalian sempurna. Dua jempol untuk anak baru yang ketinggalan materi. Apa kalian ada ikut kelas tambahan di rumah?”

“Tidak, Bu Azka memang rajin belajar di rumah.” Aku berusaha meluruskan.

“Hanya Azka?”

“Tidak, terkadang Azka mengajariku juga.”

Buk Sri mangut-mangut beberapa kali. “Ketibang pintar hasil keturunan gen, ibu lebih menghargai kepitaran yang datang dari sebuah usaha.”

Senang mendengarnya. Bila dilihat dengan kacamata transparan. Ada banyak anak pintar di luar sana yang bangga mendapat nilai seratus tanpa belajar, karena beranggapan sudah pintar dari lahir. Sehingga ia menunjukan kesombonganya itu kepada yang lain, sok-sok tidak belajar waktu ulangan, dan hanya bermodalkan kepercayaan diri. Namun pada kenyataan, anak pintar yang sombong itu sudah belajar dari rumah. Dan di sekolah dia pura-pura tidak belajar.

“Terima kasih, Bu,” aku dan Azka menjawab serentak.

Buk Sri berdehem, meninggalkan satu pesan, “Jangan berlarian lagi.”

Sebagai anak yang baru saja menerima pujian, kami patuh, tak terima hasutan apa pun yang akan membuat kami kembali berlari. Sebagai siswa baru dan siswa terunik, guru-guru akan sangat mudah mengenali kami, mereka tentu tak repot bila membuat predikat baik atau buruk pada kami. Tentu aku tidak mau jika tenggelam di pilihan kedua. Buruk.

***

Cie ....

Sorak sorai menggema, mengundang percik api cemburu yang menghagusi hatiku. Pipiku merah, bukan karena tersipu malu, rasanya panas sampai ke ubun-ubun. Pantaskah aku cemburu, kepada siapa yang bukan milik siapa. Aku benci, karena tidak tahu siapa yang harus ditetapkan bersalah. Aku ragu, ikut bersorai atau tidak? Jika tidak bersorai juga, hal itu akan aneh. Refan adalah teman dekatku yang sedang berbahagia, dan aku tetap diam tanpa menyebut kata cie, aneh bukan? Jika aku bersorai, maka akan tambah aneh lagi. Pasalnya, lidahku sangat kaku hanya ingin menyebut c, i, dan e.

Masih tidak jelas, apa yang terjadi. Yang bisa kulihat hanyalah kerumunan manusia yang tak habisnya berdiri, melompat, menjerit. Semua campur menjadi satu. Sedangkan Refan sendiri, ia duduk di kursinya sambil tersenyum. Cantik apalagi, dia duduk jauh dari Refan. Namun, mereka berdua sama-sama tersenyum. Tidak bisa dibohongi, aku benci melihat Cantik tersenyum.

“Permisi.”

“Menyingkir.”

“Maaf.”

“Jangan menghalangiku.”

Kami menerobos kerumunan yang menghalagi jalan. Andai aku dan Azka memiliki aura yang sama dengan Buk Sri, mungkin saja kerumunan yang sangat bising itu akan membubarkan diri. Jika perlu, satu orang dikasih jarak satu meter dengan orang yang lain. Karena aku yakin, jika mereka berdekatan mereka akan bergunjing sesuatu hal yang tak mau kudengar.

Kami duduk dengan santai. Akan tetapi, aku tidak bisa membohongi Azka tentang perkara hati yang sedang kualami. Refan, dia masih belum sadar kalau kami sudah ada di belakangnya. Aku ingin menyapa, terurung niat karena rasa sungkan.

“Apa hubunganmu dengan Cantik sekarang?”

Refan masih belum menjawab perkataan Azka. Dari sini tampak kalau pria itu sedang melamun.

“Aku memanggilmu,” kata Azka sekali lagi. Nada suaranya agak sedikit naik.

Refan menoleh secepat kilat. “Oh, maaf aku tidak mendegar tadi.” Mengaruk kepala, persis monyet di taman wisata. “Kamu tanya apa tadi?” lanjutnya.

“Argo ulangi.”

Aku meneguk saliva. Apa yang dinginkan Azka? Jelas-jelas aku tidak akan mudah bila mau bertanya mengenai hubungan Cantik dan Refan. Sebenarnya aku bukan takut bertanya, tapi aku takut jawabannya.

“Ulangi apa?” tanyaku sok polos.

Azka berdecih, menatap Refan dengan tajam. “Apa hubunganmu dengan Cantik wahai ketua kelas?”

Refan tampak gugup. “Ini kenapa?”

“Jawab!” sentak Azka. Semua pandangan tertuju ke arah kami. Tatapan menjengkelkan itu, tanda penghinaan. Lihat bibir yang berbisik-bisik itu. Aku tidak mendengar, tapi sudah sakit hati.

“Kami berpacaran.”

Tebakanku benar, dan jawabannya menyakitkan. Padahal aku baru pertama kali jatuh cinta, namun untuk yang pertama kalinya juga harus puas dengan kegagalan. Kembalikan aku ke masa lalu, aku tak mau jatuh cinta dengan orang itu lagi. Jika perlu, aku tak mau ke sekolah ini. Aku tidak suka bertemu Refan, aku tidak suka bertemu Cantik.

“Pak Bule datang,” seru salah satu siswa. Semua kembali ke tempat duduk masing-masing.

Pak Bule, selaku guru mata pelajaran Matematika sibuk menjelaskan. Aku, tengah sibuk melamun. Hari ini, hari terburuk kelima dalam daftar riwayat hidupku. Hari terburuk yang menduduki peringkat 4, hari di mana Azka bilang kalau dia sangat membenciku. Yang ketiga, entahlah aku bingung mau menempatinya di urutan ketiga atau kedua, tapi setelah dipikir-pikir kejadian di hari itu cocok menempati urutan ketiga, di mana Ibu sakit keras waktu itu, Ibu memiliki riwayat sakit jantung. Peringkat kedua, ketika Azka menjadi sangat pendiam. Dan yang pertama, kematian Ayah. Tidak kutemukan sisi postif apa pun dari kejadian mengerikan itu.

“Apa yang kamu lamunkan?”

“Oh tidak, aku tidak melamun,” jawabku salah tingkah.

“Lebih baik kamu mencari wanita lain saja.”

Ingin rasanya mengatakan kepada Azka kalau aku sangat minder, aku tak berani jatuh cinta untuk kedua kalinya. Jika pun jatuh cinta, aku yakin cintaku tak mungkin terbalaskan. Lihat saja aku, seperti monster dengan berbagai kekurangan. Apa ada yang mau dinikahi oleh monster?

“Jodoh ya? Jodoh itu sudah diatur, dan aku yakin Tuhan sedang mendata ribuan wanita cantik yang akan cocok untuk kita. Kamu mau wanita satu untuk berdua, atau satu orang satu?”

Tampar aku, aku tak yakin kalimat itu keluar dari bibir suci Azka. Satu wanita berdua, jadi aku dan Azka kongsi? Satu orang satu, aku punya wanitaku sendiri, Azka punya wanitanya sendiri. Tapi itu sulit. Maaf, pasalnya kami berdua hanya memiliki satu organ reproduksi.

***

Iblis di Sebelahmu [COMPLETED]Where stories live. Discover now