15| Pelukan Perdana

101 20 4
                                    

Ketika malam hari, pasti ada saja di mana kita terbangun sebelum waktunya. Aku terbangun jam 2 malam. Sontak aku terkejut, rupa-rupanya Azka belum tidur sampai sekarang. Sudah kuduga, keputusan Ibu untuk menikah tentunya akan membuat Azka tidak tenang. Aku kasihan padanya. Terbesit di hati ingin menanyai kabar. Namun, nyaliku untuk bertanya seketika menciut. Kantuk kembali menyerang, aku pun kembali tidur.

***

“Anak-anak bangun. Waktunya sekolah!” Ibu setengah berteriak.

Samar-samar suara Ibu yang memanggil kembali terdengar. Aku berusaha membuka kelopak mata, mengumpulkan energi untuk bangun sepenuhnya. Kujatuhkan kepalaku ke samping kiri. Azka masih tidur rupanya. Azka sangat bersedih, area pipinya dibanjiri genangan air.

“Azka, kita mau sekolah.”

“Aku tidak mau sekolah,” Azka menjawab dengan mata yang masih terpejam. Suaranya serak tak bertenaga.

“Tapi setidaknya kita harus bilang pada Ibu.”

“Aku tidak mau bicara denganya.”

Tok ... tok ... tok ....

“Kalian masih di dalam? Tidak takut kesiangan?” Orang yang di luar mecoba memperingati.

“Azka tidak bisa sekolah, Bu!” Aku berteriak dalam kondisi terbaring. Rasanya tidak sopan. Tapi mau bagaimana lagi.

“Baiklah, tapi paling tidak kalian harus sarapan sebentar.”

“Iya,” jawabku singkat. Setelah sepersekian detik, tidak ada lagi suara Ibu. Dia sudah pergi.
Tinggal satu masalah. Apa Azka mau pergi ke dapur? Aku tidak tega, biarkan Azka berdiri ketika dia mau. Nasibku bagaimana? Aku tidak apa-apa, lagi pula aku sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kemarin saja waktu aku sakit, Azka cukup menahan diri menemaniku di dalam kamar tanpa keluar sedikit pun.

“Azka kamu mau sarapan?”

Azka menggeleng.

Dia sangat lesu. Azka sakit kah? Mungkin saja. “Ibu, Azka sakit!” teriakku.

“Aku tidak sakit!” bentak Azka. Ia terlihat sangat marah padaku.

“Oh, maafkan aku.” Di sini aku merasa sebagai orang paling berdosa. Gertakakan Azka barusan mengigatkanku pada satu orang, Cantik. Sikap kami mungkin hampir mirip jika sedang dibentak oleh Azka. Hanya bisa diam.

Derap langkah terdengar gaduh. Ibu membuka pintu dengan cepat. Terpancar rasa khawatir dari raut wajahnya. Dengan sisa napas yang tersengal-sengal, ia menyentuh dahi Azka. “Ikut Ibu berobat ya?”

“Aku tidak butuh apa pun. Dan aku tidak butuh ayah.”

Ibu mengangguk cepat. “Baiklah, tapi Azka harus berobat ya?”

***

Kami selesai kembali dari klinik. Azka diberi berbagai macam obat-obatan. Dan aku yang bertanggung jawab untuk meneguk pil yang pahit itu. Karena Azka tidak bisa mengunyah dengan keadaanya yang sekarang. Untung saja dokter tadi tidak menyarankan untuk disuntik. Kan bisa gawat kalau nantinya aku juga yang akan merasakan sakitnya disuntik. Aku sudah besar, dan aku masih takut jarum suntik.

Kami tengah berdiri di depan pintu. Saat membuka gembok pintu, suara klakson membuat Ibu terperanjat. Aku dan Azka menoleh ke sumber suara. Pria sialan itu lagi. Astaga, bukan begitu maksudku. Ah entahlah, pria itu sudah membuat Azka sakit. Sudah diputuskan, aku benci pria bule itu.

“Zuariadin, aku tidak bisa hari ini. Azka lagi sakit. Satu lagi, aku tak bisa menikahimu. Jangan tanyakan kenapa, lain kali akan kujelaskan. Segeralah pergi dari sini.”

“Baiklah, aku akan menghubungimu nanti.” Pria bule itu kembali masuk ke dalam mobilnya. Melaju meninggalkan Ibu.

Hidup memang pilihan. Harus ada yang terluka, Ibu atau Azka? Diwajibkan memilih salah satu. Cukup sudah, aku menyesal pernah membenci pria bule itu. Karena faktanya dia pria yang sangat sopan dan berwibawa. Fakta baru yang sangat mengejutkan, nama pria bule itu Zuariadin. Belakangnya din, khas orang melayu. Di lain waktu aku ingin menayakan kebenaran pria yang Ibu cintai itu.

“Ibu, aku menyayangimu.” Azka merentangkan tangannya.

Ibu yang sedari tadi tidak pernah selesai urusannya dengan gembok pintu langsung menyambut uluran tangan Azka.

Kami berpelukan, setelah sepuluh tahun berlalu pelukan perdana berhasil terwujud. Aku, aku tidak mau melepasnya. Aku takut kejadian ini tidak akan terulang lagi. Bermandi air mata, tak kuat menahan haru.

***

Azka masih terkapar di kamar, begitu pun denganku. Aku dan Azka duduk bersandar bantal. Ibu menyuapi Azka dengan bubur ayam. Aku senang, kalau kemarin-kemarin sih Azka selalu menolak keras tawaran Ibu yang mau menyuapinya. Untunglah, keputusan Ibu untuk tidak menikah membawa dampak positif bagi keluarga kami. Aku tak membayangkan jika lamaran itu dilanjut ke jenjang pernikahan. Alangkah buruknya jika Azka memilih untuk bunuh diri, otomatis aku juga mati.

Aku tidak begitu mau tahu apa penyebab berubahnya sikap Azka. Menurutku, Azka terharu dengan keputusan Ibu yang merelakan orang yang dicintainya lepas begitu saja demi dirinya. Ditambah, perlakukan Ibu yang selama ini senantiasa bersabar menghadapi sikap Azka yang dingin.

“Aku sudah selesai,” kata Azka.

Ibu tersenyum, aku kekenyangan. Siapa yang makan siapa yang kenyang? Fix, aku tidak makan malam hari ini. Kenapa aku bisa lupa menegur Azka agar tidak makan sampai kenyang?

Ibu meletakkan mangkuk di atas nakas. Mangkuk itu mengigatkanku pada tukang bakso yang setiap sore melintas di depan rumah. Lihatlah ayam jago yang tergambar di mangkuk putih itu. Sangat gagah, ayam betina yang berbentuk 3d pasti terpikat. Lupakan, aku menghayal. Tapi setidaknya beri aku waktu untuk membuktikannya. Paling tidak, aku dicap gila oleh mamang ‘kang bakso yang buncit itu.

“Bu, pria yang waktu itu tidak datang lagi, kan?” Azka menatap Ibu dengan sayu. Dari matanya saja aku sudah bisa menebak, ia sangat berharap.

“Pintu rumah pun siap Ibu tutup jika pria itu datang lagi.”

Dosa apa yang diperbuat sang pria. Mendapat kecaman sedemikian rupa. Sial, ia terlanjur sial. Semoga, pria itu tidak sedang guling-guling di kasur, atau menjambak rambut bonekanya. Ups, aku tak yakin dia memiliki boneka.

“Terima kasih.”

Ibu mengulum senyum. “Ibu juga berterima kasih sama, Azka.”

“Aku minta maaf.”

Ibu menegandah ke atas, mengusap sedikit pelupuk matanya. “Ibu juga minta maaf.”

Momen ini yang kutunggu, bukan maaf-memaaf tapi saling berpelukan. Dua pelukan dalam satu hari, rekor sepanjang sejarah.

Ibu berdiri, mengecup dahi kami satu per satu. Melambaikan tangan, kemudian meninggalkan kamar. Indah memang, biasanya Azka selalu menghindar bila Ibu mau menciumnya. Aku juga bingung, merasa sedikit iri. Bagaimana kalau nanti Ibu jauh lebih mencintai Azka daripada aku?

***

Iblis di Sebelahmu [COMPLETED]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum