14| Lamaran?

109 22 5
                                    

“Ibu pulang cepat hari ini?” Aku meletakkan gelas plastik berwarna biru di atas meja. Disusul Azka dengan gelasnya yang berwarna kuning. Eh, Upin Ipin. Lupakan Upin Ipin, karena nyatanya aku dan Azka berbanding terbalik. Upin Ipin, mereka begitu akur dan sangat bersenang-senang setiap hari. Aku dan Azka pun tidak pernah bertengkar, apa dapat dikatakan akur? Gudah gelana menaugi kepala, faktanya aku dan Azka jarang bicara.

“Iya, Ibu mau beresin rumah lebih cepat.” Perempuan itu menyempatkan menjawab pertanyaanku di sela-sela kegiatanya, ia sibuk membersihkan debu di meja dapur menggunakan kemoceng.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Aku malas di sini, bagaimana kalau kita keluar saja?” ajak Azka.

Mau bagaimanapun, aku harus tetap patuh pada perintah Azka. Tidak tahu siapa yang mengatur ini semua. Seakan aku kehilangan kebebasan, semua Azka yang mengambil alih. Apa yang Azka inginkan, itulah yang aku dapatkan. Aku mau membantah, tapi tetap saja tidak bisa. Bukan karena faktor Ibu, atau pun masa lalu. Namun karena mindsetku sudah disetel dari sana. Jujur saja, walau aku sering mengeluh tentang Azka yang sok penguasa, tapi aku selalu menikmati kemana pun kami pergi.

Aku dan Azka pergi meninggalkan Ibu. Niat Ibu yang tadinya hendak menjawab pertanyaanku kini terbatalkan. Aku pikir, Azka sengaja mengajakku keluar guna membuat mulutku ini berhenti melempar pertanyaan pada Ibu. Lagi pun, Azka paling tidak suka bila ia menemui sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan. Seperti yang kulakukan tadi, bertanya yang tidak penting.

Aku dan Azka berjalan menuju teras, teras yang dilengkapi dengan kursi kayu panjang. Kami menjatuhkan pantat ke kursi berplitur itu. Mengamati jalanan komplek yang begitu tenang, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Di seberang sana, terdapat lapangan bola kaki. Karena jarang dipakai, akhirnya lapangan itu dijadikan tempat bermain anak-anak umur 6 sampai 10 tahun. Terkadang ada tetangga yang begitu baik hati, sengaja membuatkan ayunan dari ban karet untuk anak-anak dapat bermain. Tetangga yang baik itu bernama Kakek Johan.  Kakek Johan senantiasa mengintip anak-anak yang tengah bermain dari jendela rumahnya. Rumah Kakek Johan berada tepat di sebelah rumahku. Dan rumah yang ada di seberang sana, rumah yang berdiri pas di samping lapangan bermain—rumah milik keluarga mendiang Rudi. Sekarang, keadaan rumah itu sangat mati. Ibu Rudi jarang keluar rumah.

Aku menghela napas, iri dengan anak-anak yang asik bermandi keringat di sana. Aku kehilangan masa kecil. Karena siapa, karena Azka. Semenjak kematian Ayah, Azka berusaha untuk tidak pernah bahagia. Jika bermain membuatnya bahagia, maka ia tidak akan pernah bermain. Jika berbuat baik membuatnya bahagia, maka ia tidak akan pernah berbuat baik. Aku ingat waktu Kakek Johan menjadi tetangga baru waktu itu. Kakek Johan datang ke rumah, menawarkan permen, saat itu kami masih bocah berumur 10 tahun. Buruknya, Azka malah menolak dengan berkata ‘aku belum bisa mempercayai orang asing’ aku tak tahu apakah Kakek Johan sakit hati dengan ucapan anak 10 tahun. Tapi yang kuingat, Kakek Johan membalas dengan senyuman.

Mobil hitam melintas, parkir di halaman rumah. Aku dan Azka pergi menemui Ibu, hendak memberi kabar. Mobil sedan yang parkir di halaman depan itu, persis seperti mobil yang menjemput Ibu kemarin. Jika kemarin hendak pergi kerja, kalau sekarang hendak apa? Pria yang sama keluar dari mobil. Aku penasaran dengan hubungan Ibu dan pria berpakaian rapi itu.

Saat datang dan mengadu. Ibu gelagapan, beteriak kecil, memukul kepalanya. Ibu berlari ke kamar. Ketika sampai di daun pintu, Ibu berhenti. “Suruh orang itu masuk, bilang Ibu lagi menyiapkan minuman.” Ibu pun mengakhiri amanatnya dengan menutup pintu kamar.

Sejak kapan Ibu menyiapkan minuman, untuk kali pertama Ibu ketahuan berbohong. Terus siapa pria yang sampai hati membuat Ibu berbohong? Aku merasa cemburu. Semoga yang aku pikirkan tidak berdasarkan kenyataan. Memangnya apa yang aku pikirkan? Aku takut Ibu punya pacar, lalu menikah, dan aku memiliki ayah tiri, ayah tiri yang memberi siksaan. Aku bukan anak kecil lagi. Aku juga tahu kalau tak semua tiri meniri itu jahat. Hanya pikiran kita saja yang jahat, negatif thingking.

Jika masalah Ibu yang ini saja sudah membuatku berpikir keras, bagaimana dengan Azka. Azka begitu menyayangi Ayah, tidak mungkin dia akan rela begitu saja bila Ibu mencari pengganti.

“Azka, ayo kita temui pria itu.”

“Tidak akan pernah.”

Baik sudah cukup. Biarkan pria itu terlunta-lunta di dalam rumah yang berpenghuni manusia tidak sopan. Biarkan begitu. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Tapi bagaimanapun, kami ini seorang anak, pasti ada saja yang merasa sakit bila orangtua tunggalnya jatuh cinta untuk kali kedua.

Tak lama, pintu kamar berderit. Menampilkan wajah perempuan yang terbalut makeup tebal. Baju yang dikenakannya, baru pertama kali aku melihatnya. Dia keluar dari kamar, mengunci pintu secara perlahan. Ketika ia menyadari kalau kami sama sekali belum berpindah tempat. Perempuan itu menaiki bahu, menyipitkan matanya dengan tajam. “Apa yang kalian berdua lakukan?” Walau tampak seram, suaranya tetap lembut.

“Maaf,” sesalku menundukan kepala.

Ibu menghampiri, memegangi bahuku, kemudian berlalu ke ruang tamu. Karena terlalu sibuk berdandan, dia melupakan minuman.

Jarak antara tempat kami berdiri dan lokasi ruang tamu terbilang jauh. Akibatnya, kami tak mampu menangkap obrolan dua insan yang ada di sana. Aku dan Azka masih dalam keadaan waras, sama sekali tidak berniat untuk menguping.

Telingaku memanjang. Ada yang memamanggil, Ibu. Apa gerangan yang membuatku harus terpanggil? Aku melihat Azka, aku yakin ia juga mendengar panggilan itu. Dan semenjak melihat wajahnya, tampak betul kalau Azka tidak mau. Ibu membolehkan kami untuk membenci siapa saja, tapi dengan syarat harus bersikap sopan. Aku akui kalau amanat Ibu kadang terlaksana, kadang tidak, tapi setidaknya aku benar-benar berharap akan terlaksana di detik ini juga. Ibu, dia berhak bahagia.

“Azka, Ibu memanggil!” Bentaku, dengan cara paksa aku berusaha melangkah sebisanya.

Azka sedikit terseret, karena kehilangan kekompakan, kami pun tumbang. Beruntung kami hanya membentur lantai. Aku dan Azka baik-baik saja, walau masih berselisih tegang.

“Argo,” geram Azka.

“Setidaknya berikan aku hak untuk kali ini.”

“Dasar pria bodoh.”

Aku dan Azka berdiri. Si tuan sok penguasa mengalah untuk pertama kali, membiarkanku menjadi pemandu jalan. Aku yakin, di sana Ibu pasti sudah berpikir kalau aku dan Azka tidak akan datang kepadanya.

“Kalian datang juga.” Ibu tersenyum, lalu berdiri. Mengantarkan kami untuk duduk di sampingnya. Aku dan Azka yang masing-masing masih menyimpan emosi duduk melengos.

“Hai,” sapa pria yang duduk di kursi seberang. Dia berpenampilan mewah. Mungkin itu alasan Ibu memilihnya. Eh, aku tidak boleh berkata seperti itu.

Aku tersenyum kaku, kemudian membalas, “Hai.”

Azka hanya diam.

“Om ke sini mau minta izin sama kalian berdua. Apa boleh om menikahi Ibu kalian? Om janji akan memperlakukan Ibu, Argo, dan Azka dengan baik.”

Sebelumnya aku tak menyangka kalau pria bule di depan kami ini fasih berbahasa Indonesia. Atau jangan-jangan semalaman ia begadang hanya untuk menghafal satu kalimat itu saja? Dihapalnya betul-betul, sehingga ia harus sangat tepat dalam pelafalan setiap hurufnya. Apa lagi saat menyebut namaku—ada ‘r’-nya. Bukankah sangat sulit bagi pria bule.

“Aku setuju kok, Om kalau Om akan jadi suami Ibu.”

Aku melirik sebentar ke arah Azka yang tertunduk. Tangan itu terlihat mencengram lutut dengan sangat kuat. Aku bisa menebaknya, di dalam hati Azka pasti berteriak ‘tidak’. Maafkan aku Azka.

***

Iblis di Sebelahmu [COMPLETED]Where stories live. Discover now