13 | Cantik Bilang Dia Suka Aku

110 19 4
                                    

“Hentikan Azka, jangan kamu baca lagi.”

Kertasku dicuri Azka, aku berusaha merebutnya kembali. Karena terlalu berambisi, akhirnya kami terus berputar-putar. Beberapa kali aku berhenti, guna menarik napas sejenak. Merancang rencana agar dapat merebutnya tanpa harus berputar-putar. Untuk kali ini otakku diperas hebat, bukan hanya karena terlalu pusing merancang rencana, tapi juga harus berpikir waras—kenapa tiba-tiba Azka mau bersifat kekanak-kanakan?

Setelah lama berdebat dengan diri sendiri. Tiba saatnya aku harus pasrah. Faktanya, karena terlalu lama berdiam diri, tidak menutup kemungkinan kalau Azka sudah membaca seluruh goretan tinta di kertas satu lembar itu. Tubuhku terasa panas, bukan karena marah.  Aku malu.

“Ini yang kamu mau?” Azka menyodorkan kertas yang tadi diperebutkan.

Lesu, aku mengambilnya. Dingin seperti biasa, padahal aku berharap Azka akan sedikit membuka diri. Apa perlu aku membuat puisi lagi agar Azka mau berputar putar seperti tadi.

“Kenapa kamu merebutnya?” Aku mulai serius. Terlanjur kesal bercampur kecewa.

Azka menatap datar ke arahku. “Hanya ingin tahu.” Dari wajahnya menunjukan seakan berkata, ‘terserah aku’. Aku hanya bisa menduga-duga, walau tak menutup kemungkinan kalau dugaanku itu benar. Aku mengenal pria batu di sampingku dengan baik, tapi bagaimanapun siapa yang bisa menebak isi pikiran seseorang bila yang ditunjukan orang itu wajah datar.

Puisi, aku menulis puisi. Rencanya, aku ingin menyisipkan satu puisi di cerpen yang nanti kubuat. Di sekolah tadi. Tugas yang diberikan oleh Pak Guru tidak bisa selesai, karena dipotong oleh jam pulang. Rezeki, aku bisa memikirkan ide dengan jangka waktu yang lebih lama di rumah. Ada kemungkinan untuk dapat menulis cerpen yang lebih bagus. Aku juga ingin menambahkan puisi, tak yakin bisa mengerjainya di sekolah. Soalnya ada Cantik di sana, bisa terbongkar privasiku yang ada sedikit sangkut-paut denganya.

“Aku penasaran, bagimana rasanya jatuh cinta. Aku tidak tahu, tapi kamu menciptakan kesan jijik bagiku,” kata Azka.

***

Pelajaran Bahasa Indonesia dimulai pada jam pertama. Aku tak mau menunjukan cerpen yang kubuat kepada teman kelompok. Iya, aku ingin menciptakan sebuah kejutaan. Aku sendiri bingung, rasanya begitu yakin kalau cerpen yang kubuat akan disukai semua orang. Begini saja, satu editor pun tak pernah ada yang tertarik dengan naskahku. Hal sama juga terjadi, ketika mengikuti lomba menulis cerpen dan puisi. Hasilnya, tidak membawa apa pun. Bersabar, J.K Rowling saja ditolak 16 kali sebelum novel pertamanya terbit—Harry Potter. Aku punya satu pegangan yang membuatku masih bersemangat sampai saat ini, seorang penulis sejati pasti pernah merasakan pahitnya penolakan.

Coba saja aku sudah mulai menekuni kegiatan menulis sejak kelas 1 SD, mungkin saja skil menulisku lebih tinggi dari yang sekarang. Dan dan dan, mungkin saja aku sudah menerbitkan buku sejak dulu. Yang pasti, semua hanya sebatas mungkin saja.

“Hey!” Refan mengagetkan dari belakang. Memukul bahuku.

“Jangan kamu lakukan lagi,” tegur Azka. Azka bukan bermaksud membelaku, tapi karena memang Refan menyentuh bahuku dan bahu Azka secara berbarengan. Andai aku memiliki kakak yang bisa membela. Terus Azka? Tidak tahu, sampai sekarang masih menjadi misteri, siapa kakak dan siapa adik di antara kami.

Cantik baru saja tiba di kelas. Menaruh tas kecil ungu berbentuk oval ke dalam laci. Tas mungil itu dengan sangat mudah mendiami laci yang bagai stadion bola bagi tas tersebut. Langkah kecil Cantik berjalan menuju mejaku. “Argo, sudah kamu selesaikan cerpennya?”

Aku sedikit menarik napas, takut salah bicara. Wangi vanili berlebih membuatku hilang konsentrasi. Bukannya menimbulkan kesan elegan atau menarik, parfum yang sangat menyengat itu membuat kepalaku pusing. Aku tidak tahu, biasanya Cantik tidak pernah seperti ini. Biasanya dia selalu berpenampilan natural. Baru satu hari, aku sudah rindu sosok natural si Cantik. Lihat saja bedak yang berlebihan itu. Berpikir positif saja, mungkin ini kali pertama Cantik memakai bedak.

“Bau apa ini?” Azka menyumbat hidung dengan tangannya. Ia mengelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia juga mengibaskan tanganya di depan hidung. Pria itu menatapku, mengajak pergi ke luar.

“Kalian mau ke mana?” Cantik memegang lenganku. Aku menepisnya secara halus.

Azka berdecih. “Jadi kamu tidak menyadarinya?”

“Oh, kami mau ke toilet,” dengan cepat aku berusaha menengahi.

Cantik mengangguk pelan. Tampaknya dia tidak mendengar apa yang dikatakan Azka sebelumnya. Untunglah tadi Azka tidak berkata dengan suara keras. Hah, entahlah aku juga tidak tahu pasti. Mungkin saja Cantik pura-pura tidak mendengar.

“Cerpennya di mana?” tanya Cantik.

Aku menepuk kantong celana. “Ada di aku, nanti akan kuberikan jika jam pelajaran Bahasa Indonesia dimulai.”

“Dan satu lagi, aku harap bau sigungmu itu bisa hilang saat jam Bahasa Indonesia nanti,” Azka menambahi bumbu keripik pedasnya. Aku, Ibu dan semua orang yang berada di sekitar rumah memang terbiasa menerima bumbu pedas dari Azka. Aku harap juga berlaku untuk Cantik, semoga saja dia mau bersabar seperti yang terjadi di koridor waktu itu. Namun, percayakan saja pada Cantik. Bukankah walau sudah pernah ada masalah dengan Azka, Cantik tetap mau berteman dengan Azka. Contohnya di kantin, Cantik mau-mau saja duduk di dekat Azka.

“Baiklah, bau sigung ya?” Cantik menunduk. Kembali ke kursinya dengan langkah layu. Mengambil beberapa buku di tasnya, tampak tengah bersiap-siap menyambut jam pelajaran. 

***

Kami sudah pulang dari toilet. Biasanya akan ada Refan yang menemani ke mana pun kami pergi. Namun, sepertinya dia datang ke sekolah agak lambat. Pria berkacamata itu baru saja sampai ketika aku dan Azka baru pulang dari toilet. Kami bertemu di teras, tepatnya di depan kelas. Aku memperhatikan wajah Refan, begitu pun dengannya. Aneh, Refan tidak menyapa sama sekali. Apa harus aku yang menyapa lebih dulu?

Refan masuk ke kelas. Aku dan Azka memilih berdiam diri di daun pintu. Mengamati Refan yang membating tas ketika sampai di tempat duduknya. Terlihat, Refan menundukan kepala. Ada lingkaran hitam yang bersembunyi di balik kacamatanya. Sesekali dia menguap, lalu menjantuhkan kepala di badan tas.

Aku dan Azka, menghampiri Refan. Sebelum sampai ke tempat Refan, kami harus melewati Cantik. Cantik tampak lemah, murung, seolah mengidap depresi berat. Lihat yang dilakukannya, menyoret-nyoret kertas yang tak berdosa. Apa perlu aku menyuruh Azka meminta maaf? Seketika nyaliku ciut jika membahas tentang keputusan yang merupakan hak  Azka. Aku tak berani menggugat apa pun yang dilakukannya, apalagi sekadar memberi saran.

“Cantik bilang, dia mencintaiku,” kata Refan, ketika kami baru saja duduk di kursi.

Dalam hati, aku berterus terang, tidak mungkin.  Aku terkejut, yang membuatku lebih terkejut adalah, tiba-tiba saja Refan menjadi sehat walafiat setelah mengabarakan berita yang belum aktual. Sebut aku cemburu. Karena sejujurnya, aku memang tak suka bila ada orang lain di samping Cantik. Akan tetapi, untuk saat ini aku tak mau berkomentar apa pun. Aku tidak mau baik Refan maupun Cantik, tahu isi kesumat yang ada di dalam hati. Cukup Azka saja.

“Terus-terus?” Aku memasang ekpresi semringah, seolah sangat tertarik dengan topik pembicaraan. Ya Tuhan, rasanya sakit.

Refan tersenyum. Kemudian Refan bercerita, kalau ia belum sempat menjawab curahan hati Cantik. Refan takut jika mereka pacaran, maka hubungan persahabatan yang mereka jalin sejak SD akan hancur. Refan juga bercerita kalau akhir-akhir ini Cantik agak sungkan menemuinya. Ia pikir kalau Cantik merasa malu.

***

Iblis di Sebelahmu [COMPLETED]Kde žijí příběhy. Začni objevovat