Prolog

10.3K 1K 61
                                    

"Aneh banget sih ide lo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Aneh banget sih ide lo." Kayra terkekeh sambil menggelengkan kepala setelah mendengar penjelasan panjang lebar tentang bisnis yang ingin kubuat.

Aku mendengkus sambil memutar bola mata. Mulutku sudah hampir berbusa memaparkan secara lengkap rencana yang kupunya, tapi hanya itu reaksinya. Ideku itu cemerlang! Lagi pula ide bisnis ini bukan datang begitu saja dari mimpi. Aku melakukan riset yang serius sebelum akhirnya memberanikan diri melemparkan gagasanku pada Kayra. Aku memiliki keyakinan 100% bahwa belum pernah ada bisnis sejenis yang ada di kota ini, negara ini, bahkan mungkin di galaksi ini. Ideku jelas-jelas out of the box, dan tentu saja dapat diwujudkan.

Di zaman yang serba canggih sekarang ini, manusia-manusia yang memiliki uang dengan jumlah yang terlalu berlebih itu cenderung pemalas dan mencintai kemudahan. Mereka seolah punya kepercayaan bahwa jika bisa membayar maka tak perlu mengotori tangan sendiri untuk melakukan segala hal. Sebagai contoh saja, dulu para ibu akan merepotkan diri untuk mempersiapkan pesta ulang tahun anaknya, tapi sekarang mereka tinggal angkat telepon, transfer sejumlah uang, dan segalanya akan siap dengan sempurna sesuai dengan yang mereka inginkan. Bukan hanya itu, dekorasi untuk berbagai macam pesta dan acara khusus juga menjadi bisnis yang amat menjamur di kota-kota besar.

Mari kita gabungkan bisnis dekorasi tersebut dengan bisnis penyediaan makanan yang beberapa tahun belakangan ini juga menjamur, maka voila! Jadilah bisnis penyediaan sarapan dengan dekorasi spesial yang kubicarakan tadi. Ideku tak segila itu, bukan? Bisnis yang ingin kubuat hanya salah satu jenis dari banyaknya 'jasa mempermudah kehidupan' yang disukai oleh berbagai kalangan, terutama para hedonis, di zaman sekarang.

"Kok aneh, sih? Coba deh lo pikir, pasti banyak kan orang yang pengen memanjakan pasangannya di hari spesial dengan menyiapkan sarapan super enak plus instagramable. Atau bahkan memesan sarapan unik demi memanjakan diri sendiri. Lo juga pasti mau, kan?"

Aku pribadi jelas mau kalau bisa duduk dan menerima makanan enak berpenampilan indah setiap pagi. Bahkan demi memanjakan diri tak sedikit dari orang zaman sekarang yang nggak peduli dengan tampilan dan dengan segera memesan makanan lewat aplikasi ojek online. Biarpun makanan datang dalam keadaan dingin, terbungkus kertas yang telah berminyak di berbagai bagian, dan sering kali juga tidak jelas kesehatannya karena yang dipesannya jelas-jelas junk food, tapi banyak orang begitu mencintai kemudahan. Percayalah, kali ini aku sudah memikirkan segalanya.

Kayra mengangguk dan berkata, "Oke, zaman sekarang orang memang tergila-gila pada kemudahan. Tapi emang berapa banyak sih orang di Jakarta yang mau mesen sarapan mahal cuma demi memanjakan diri atau merayakan hari istmewa? Kalaupun ada paling juga sekali-sekali doang, Ca."

Aku meletakan gelas frappuccino yang baru saja kuhabiskan isinya. "Lo tahu nggak sih kalau di Jakarta itu ada 10 juta penduduk? Dan kalau 0.01% aja dari jumlah itu pesan sarapan istimewa sekali dalam setahun, berarti setiap hari minimal ada 3 klien yang akan memberikan uangnya dengan suka rela untuk mendapatkan pelayanan itu."

Aku menyodorkan lembaran-lembaran hasil risetku pada Kayra. Ya, bahkan aku sudah memiliki hitung-hitungan detail tentang pengeluaran awal dan modal bagi bisnisku.

"Lo bawa pulang aja dulu. Kasih liat ke laki lo. Gue yakin dia bisa melihat betapa briliannya ide gue," ucapku.

"Ide lo brilian, Ca. Nggak perlu laki gue lihat juga gue tahu. Tapi lo sadar nggak sih betapa bisnis ini akan sangat merepotkan diri lo sendiri. Lo harus belanja, masak, nyediain sarapan yang mungkin bahkan harus diantar pagi-pagi buta, belum lagi mikirin strategi marketing dan promonya. Apa bagian itu udah lo pikirin?" tanya Kayra.

"Nah, karena itu gue butuh elo. Kan tadi gue udah bilang kalau gue mau ngajak lo bisnis bareng." Aku, mau tak mau, tersenyum penuh kemenangan.

"Gue? Gue nggak mungkin lah bisa bantu lo mondar-mandir dalam kondisi kayak sekarang, gue kan lagi hamil, Ca."

"Gue tahu. Tapi gue yakin lo bisa. Bagian lo adalah mikirin strategi marketing dan promo, plus ngurusin tetek bengek sosial media plus kontennya. Gimana?" tawarku.

Aku bisa melihat otak Kayra bekerja di dalam kepala cantiknya itu, dan aku punya perasaan bahwa dia akan menyetujui ideku. Senyumku yang telah merekah kini semakin tak tertahankan.

"Oke. Deal!" ucapnya.

"Yay! We are business partner!"

Aku menyalami tangan Kayra dengan gaya sok resmi. Lalu tawa kami tak tertahankan lagi.
Ideku memang aneh. Namun, aku yakin aku dan Kayra akan bisa menciptakan bisnis ini bersama-sama. Aku dengan kecintaanku pada makanan, ilmu desain yang kami pelajari bersama-sama di bangku kuliah dulu, dan kemampuannya menciptakan konten cantik untuk sosial media akan bersinergi dengan baik dan menghasilkan sebuah bisnis baru yang luar biasa.

"Semoga bisnis ini nantinya bakal mempertemukan lo sama laki-laki yang tepat," ujar Kayra setelah menyeruput habis caramel macchiato-nya. "Lo pasti pernah dengar pepatah zaman dulu, dari perut turun ke hati."

"Yang ada tuh dari mata turun ke hati, kali!" cibirku.

"Lebih enak dari perut turun ke hati, Ca. Kalau cuma ganteng doang tapi nggak bisa ngasih kita makan cukup mah buat apaan?!"

Kayra tertawa, begitu pula aku. Kata-kata sahabatku tadi ada benarnya. Mungkin itu yang membuatnya menikahi Brama. Bukan karena menurutku Brama tidak cukup tampan, tapi karena pria itu jelas punya cukup uang untuk memberi makan Kayra, plus anak cucunya seribu turunan.

"Jadi apa nama bisnis kita? Gue kan harus presentasi di depan laki gue setelah ini," ucap Kayra setelas tawa kami mereda.

"Lo minta dunia juga dikasih sama laki lo. Pake acara presentasi segala," ledekku.

Brama, Suami Kayra punya uang yang berlebih, dia bahkan mewarisi sebuah grup hotel dari keluarganya. Segala yang diminta Kayra akan dengan senang hati diberikan, apa lagi Brama sudah sering kali menawari Kayra untuk memulai bisnisnya sendiri.

Kayra kembali tertawa. "Iya sih. Tapi kan bisnis kita tetep butuh nama."

Aku memutar gelas frappuccino yang kini telah kosong. Berusaha menyibukkan tanganku selagi menyelami kolam ide di dalam kepala. Beberapa nama timbul dan tenggelam dengan cepat. Sebuah nama muncul, dan kali ini aku yakin bahwa nama itu sempurna untuk bisnis kami.

"Breakfast in Bed."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Breakfast in BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang