🌟15. Si Penolong.🌟

Start from the beginning
                                    

"Malah pada ngobrol, anying! Pergi lo semua, atau gak ada ampun dari gue." ancam Naufal.

Mencuri lirik, Maya seperti sedang dipertemukan dengan sosok mirip Naufal, namun sikap dan sifatnya jauh dari Naufal yang Maya kenal. Berbeda serta jauh dari kata pecicilan.

Ketiga pemuda itu maju bersamaan. "Lo cuma sendirian, gak usah belagu deh goblok."

"Yakin?" tanya Naufal mengembalikan wajah tengil andalannya sembari mengembungkan permen karet di mulut. "Ini nanti kalo gue udah gedek, gak bakal gue biarin lo semua pulang dalam keadaan muka mulus."

Tanpa berlama-lama, mereka bertiga menyerang, dibalas Naufal dengan melemparkan ranselnya sebagai permulaan.

Sudah beberapa hari ini Naufal jarang berkelahi. Anggap saja ia tengah berolahraga setelah beberapa lama beristirahat.

Bugh!

Tendangan bergilir didapat tepat di perut ketiga lawannya. Begitu mereka tumbang, Naufal langsung berteriak lantang. "Lanjut atau berhenti? Gue kasi kesempatan lo buat kabur."

"Harga diri terlalu mahal, bro!" salah satunya membela.

Naufal terkekeh. "Wess... Masih punya harga diri ternyata. Ya udah, lanjut kuy!"

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Maya hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat. Satu lawan tiga, tapi yang satu lebih unggul dan keluar sebagai pemenang.

Naufal benar-benar tak memberi celah bagi mereka pergi sebelum wajah para lelaki kurang ajar itu babak belur. Naufal hanya bermandikan keringat tanpa lecet. Seolah perkelahian ini hanyalah adegan bermain-main.

"Cuih!" Naufal meludah melihat lawannya kabur. "Bangke lo pada!"

Sadar telah mengabaikan Maya dari tadi, Naufal berjongkok di depan gadis itu. "Maya, lo gapapa kan? Belom dicocol, kan?"

"Jangan liat... Gue malu." desis Maya menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan dengan kaki sebagai tumpuan.

"Bhah!" Naufal malah cengar-cengir. "Udah, biasa aja. Gue gak nafsu sama badan lo yang mirip ikan teri kejepit pintu."

Maya merasakan tubuhnya bagian atasnya tertutupi kain tipis, sementara bagian bawah terasa lebih tebal. Membuka mata perlahan, melihat baju seragam serta jaket denim milik Naufal sudah beralih fungsi menjadi pakaian untuk Maya.

"Lo kalo malu, pake baju gue dulu." nampak Naufal hanya mengenakan singlet putih.

Mata gadis ini sembab serta bibirnya masih bergetar. Trauma pasti dirasakan, membuat inisiatif memeluk itu datang. Naufal mendekap erat tubuh ringkih Maya. "Lo udah aman, kok. Janji deh, gak bakal ada yang nyakitin lagi."

Tolong berikan Maya peringatan, bahwa adanya perhatian bukan berarti tandanya ada perasaan. Air mata Maya meluncur deras, membasahi wajah putih beningnya.

Pelukan itu mengendur, Naufal menatap lekat wajah Maya. Mengusap air mata seperti menyalurkan seluruh kehangatan di muka bumi. "Udah, ayam... Beler lo tuh pada meletup-letup. Pake baju gue dulu."

Maya mengangguk. "Lo jangan liat, gue mau pake."

Naufal memutar bola mata malas, tapi tetap berbalik demi menghargai. Dalam kondisi Maya yang sedang mengancingkan baju, Naufal meledeknya. "Mulus juga lo, kek cucunya kakek Sugiono."

"Ih, apa sih?! Lo sering ngintip cucunya si kakek Sugiono itu ya. Jangan liat!" Maya memekik kencang memancing tawa Naufal.

"Iya, sering. Tapi gak tepos kek lu." ejek Naufal lagi.

Abstract CoupleWhere stories live. Discover now