4. Night Club

Beginne am Anfang
                                    

Alanis dan Evelyn mengikuti Kayonna dan melakukan hal yang sama. Di sana sudah ada Alex, Jito, Cindy, dan beberapa teman yang lain. Prissa dan David tak terlihat batang hidungnya.

“Di mana David?” tanya Evelyn tanpa malu-malu.

“Tuh, lagi ngelantai sama perek,” jawab Alex santai.

“Heh, parah mulut lo. Bisa ditebas mulut lo kalau sampai David denger.” Jito menimpali. Sedangkan yang lain hanya tertawa. Memang bukan rahasia lagi bahwa Prissa dikenal sebagai gadis malam. Selama ini mereka belum punya bukti apa-apa. Tapi dari gosip mulut ke mulut, semua orang jadi tahu.

“Eh, Al, lo nggak sapa si Adam tuh? Dari tadi ngeliatin lo udah kayak mau makan lo aja,” kata Kayonna dengan berani.

Alanis yang tidak menyadari kehadiran Adam, mengikuti arah pandang Kayonna. Dia menyatukan alis saat melihat Adam duduk di pojok dengan teman-teman yang lain.

Alanis hanya memandang sekilas dengan senyum tipis. Sedangkan Adam berwajah datar dengan sorot mata tajam menguasai. Kenapa dia datang juga?

Saat itu terlihat Prissa dan David menghampiri mereka dengan gerak-gerik lelah. Beberapa dari mereka menyambar bir dan meneguknya dengan santai. Kayonna dan Evelyn juga. Hanya Alanis yang enggan.

Beberapa dari mereka ada yang memilih turun ke dance floor. Ada pula yang lebih memilih untuk mengobrol. Alanis memilih yang paling aman. Duduk saja ikut berceloteh dengan teman-teman yang tidak bergoyang. Dia baru merasa resah ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih lima belas menit. Dia ingin sampai rumah sebelum pukul sebelas.

“Al, lo manis banget jadi cewek sampai nggak mau nyobain ini,” Alex mengangkat kaleng birnya, “ini cuma minuman kaleng, anggep aja coca cola,” lanjutnya kemudian disambut tawa teman-teman yang lain.

“Eh, lo kudu sopan ya, Lex. Temen gue yang satu ini alim, asal lo tau. No alcohol. No drugs. No free sex.” Kayonna menimpali setengah mabuk.

Kayonna Brengsek! Alanis mengumpat dalam hati. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian dari teman-temannya. Apalagi di depan David dan Adam. Terbukti kedua cowok itu memandangnya sekarang. Ini bukan keinginannya untuk dinilai sebagai cewek seperti apa.

“Jadi lo masih virgin dong, Al?” Si kurang ajar Jito menambah keresahannya. Alanis tak sanggup menjawab apa pun. Kalau tahu akan begini jadinya, lebih baik dia di rumah saja. “Lo jaga baek-baek deh, Al. Jangan ngeblong kayak cewek-cewek ini,” lanjutnya sambil menunjuk semua teman gadisnya.

“Sialan lo, To! Siapa bilang gue udah ngeblong?” Evelyn tak terima.

“Lo sih meski belum ngeblong udah digrepe sana-sini.”

Evelyn memberengut dan ingin melemparkan kaleng minumannya. Tapi dibatalkannya karena Prissa membuka mulutnya.

“Masih virgin dibanggain?” gadis itu mencibir. “Itu namanya nggak laku!”

Sudah cukup! Alanis tak sanggup lagi mendengar obrolan mereka tentang dirinya. Tanpa sadar dia sudah berdiri.

“Eh, mau ke mana?” tanya evelyn.

“Toilet.”

“Cieee, ngambek ya,” ledek Alex dengan tampang menyebalkan.

Alanis tak menghiraukan lagi. Dia segera berlalu untuk menenangkan diri. Tak seharusnya teman-temannya itu membahas masalah pribadinya sebagai perempuan. Keperawanan itu tidak perlu dibicarakan secara gamblang seperti tadi. Itu memalukan!

Alanis menatap wajahnya di depan kaca wastafel. Dia bertanya pada diri sendiri, apakah dirinya memang tertinggal jauh dengan teman-temannya dalam hal pergaulan? Apakah dia tidak cocok berkumpul dengan teman-temannya yang tergolong bebas pergaulannya? Mengapa dia tidak bisa menikmati obrolan mereka dengan nyaman? Tak sabar Alanis mengambil ponsel dari tasnya kemudian mengetikkan pesan.

Alanis : Gue pulang duluan.

Alanis kini sudah berada di depan klub. Suasana di luar klub tidak ramai seperti dugaannya. Sepi membuatnya begidik ngeri. Dia bingung harus pulang naik apa. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas. Sudah dipastikan dia akan terlambat pulang. Dia tidak ingin terlalu lama berada di sini. Ragu-ragu dia membuka aplikasi taksi online. Tapi sebelum dia memesannya, sebuah mobil berhenti di depannya. Otomatis dia mundur beberapa langkah.

Adam keluar dari balik kemudi kemudian berjalan ke arahnya. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku mau pulang?

“Gue anter lo pulang,” ucap cowok itu tenang sambil membuka pintu mobil. Alanis diam tak berkutik melihat Adam dengan raut bingung. “Ini hampir tengah malam. Lebih baik pulang bareng gue,” lanjutnya melihat keraguan di mata Alanis.

“Gue...”

“Yakin lo mau pulang naik taksi malem-malem begini?”

Emang apa salahnya naik taksi malam-malam? Tanyanya pada diri sendiri. Selama ini dia aman-aman saja naik taksi. Justru yang dia pernah dengar berita, sopir taksi-lah yang beberapa kali dirampok.

“Gimana lo bisa tahu kalau gue mau balik sekarang?” Alanis tak bisa menyembunyikan keheranannya.

“Evelyn bilang kalau lo mau balik duluan.”

Alanis teringat pesan singkat yang dikirimkannya kepada Evelyn saat masih di toilet.

“Mereka nggak berniat nganter gue pulang, gitu?” tanya Alanis kecewa karena kedua sahabatnya tega membiarkannya pulang sendiri.

“Gimana mau nganterin? Kayonna teler. Makanya Evelyn bingung lo mau pulang bareng siapa. Akhirnya gue yang bilang akan anter lo.”

“Gue nggak mau ngerepotin lo.” Alanis mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

“Lo nggak mau ngerepotin gue atau lo nggak mau pulang bareng gue?”

Alanis menoleh lagi dengan wajah menekuk muram. Jawaban yang pasti adalah dia tidak ingin pulang bersama Adam. Tidak nyaman rasanya pulang dengan cowok yang sudah ditolaknya dua kali itu.

“Gue mau pulang naik taksi aja,” ucap Alanis tidak mau menjawab pertanyaan Adam.

“Oke, lo pesan taksi aja. Entar gue ikuti lo di belakang.” Adam berucap santai.

“Gak perlu. Ngapain lo ngikutin gue. Gue jamin gue aman.”

“Nggak ada yang bisa ngelarang gue buat ngikutin lo.” Adam berusaha tersenyum miring.

Alanis berdecak kesal. Lalu bukannya memesan taksi seperti yang dikatakannya tadi, dia justru masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka oleh Adam.

***

The EleventhWo Geschichten leben. Entdecke jetzt