"Lalu kamu sendiri? Kamu kan sudah dewasa, sudah punya anak. Tidak kasihan apa dengan anak super lucu ini?"

Ingin rasanya Selly mengumpati wanita yang justru membali ucapannya. Menusuk sekali tapi juga memang ada benarnya. Ia tak memiliki tempat untuk menanyakan soal pernikahan sedangkan dirinya sendiri adalah single mother.

"Aku serius, Haru. Memangnya kekasihmu tidak memiliki niatan untuk menikah? Kalian kan sudah sama-sama dewasa, tidak mungkin kan hanya pacaran main-main saja" ujar Selly akhirnya.

Haruka meletakkan mangkuk kecil dan sendoknya di meja. Menghembuskan nafas panjangnya seraya berpikir.

"Aku... tidak tahu" jawabnya.

"Onciii!"

Dan pemikirannya langsung pecah sedetik setelah tangan kecil mencengkram mangkuknya. Abel. Si bayi yang tak terima jika acara makannya terhenti padahal sedang asyik-asyiknya.

"Ah, maaf. Salahkan Mamanya Abel karena mengajak Aunty mengobrol"

Haruka kembali meraih mangkuk Abel san menyuapi si bayi yang nampak akan mengamuk jika didiamkan lebih lama lagi.

"Papanya Abel memangnya tidak berniat untuk sekedar mengunjungi Abel yang lucu ini?" tanya Haruka lagi.

Selly mencicipi makanannya dan tersenyum setelah ia rasa sudah pas. Dimatikannya kompor dua tungku itu dan berbalik.

"Abel tidak memiliki Papa" ujarnya dengan senyuman.

"Lalu kenapa masih ada marga di belakang namanya?"

Selly berjalan mendekat dan duduk di sebelah si bayi, menatapnya sayang sambil membersihkan noda di sekitar mulut dan pipi tembamnya.

"Yah, daripada tidak ada marganya kan kasihan. Iseng saja" jawab Selly asal.

Haruka hanya mengangguk-angguk saja. Lebih baik ia tak melanjutkan topik ini daripada nanti terlalu panjang dan menyebabkan Selly tak nyaman. Ia tahu jika topik ini cukup tabu bagi Selly.

"Sudah matang?"

"Ya, camilan dan kuenya sudah siap. Besok tinggal memasak makanan utamanya"

"Ya sudah, besok aku kesini lagi untuk membantu"

-*123*-

"Mamih yakin jika wanita itu masih hidup kan?!"

Roman Radika Clauhaz. Anak pertama dari dua bersaudara Clauhaz yang dilimpahi dengan harta yang tak akan habis satu dekade. Pewaris utama keluarga yang memiliki bisnis dimana-mana dengan berbagai bidang.

Di usianya yang menginjak ke 27 tahun, Roman masih dinyatakan belum menikah di kartu tanda pengenalnya. Bukan tanpa alasan ia belum mengganti statusnya itu, ia memiliki alasan.

"Mamih tidak boleh mengatakan hal itu pada orang yang masih hidup" balas Roman pada sang Ibu.

"Padahal Mamih ingin wanita itu tidak pernah ada"

"Cukup Mih! Jangan menyumpahi hal yang tidak tidak!"

Romanpun akhirnya mengangkat kedua tangannya dan beranjak dari tempat itu. Tempat dimana ia selalu mendengar ucapan tak menyenangkan dari sang Ibu di telinganya.

"Aku pergi saja" gumamnya dan keluar dari rumah megah itu.

"Mas Roman kemana, Mih?"

Muncullah satu orang lain di tempat dimana Roman berdiri tadi. Menatap bingung ke arah wanita paruh baya yang nampak menggertakkan giginya kesal.

"Mamih heran dengan Kakakmu itu, Mansa. Sudah tahu kekasihnya sekarat sekarang, masih saja ditunggu" sungut si Ibu.

Claudia Fiandra, wanita paruh baya yang berstatus sebagai Nyonya Besar di rumah megah itu mencebikkan bibirnya berulang kali. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, beliau memiliki wajah yang masih awet muda. Bahkan sikapnya juga semakin mirip dengan anak-anak, suka marah-marah sendiri. Terutama pada putera sulungnya.

"Sudahlah, Mih. Mansa memang juga tidak suka dengan wanita jalang itu, tapi Mansa yakin jika Mas Roman akan segera sadar nantinya"

Amansa Nadine Clauhaz. Puteri dari keluarga Clauhaz yang merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Masih muda dan dekat dengan sang Ibu.

"Tapi Mamih yakin jika wanita itu sadar nanti, Roman akan berpihak padanya. Mamih tahu jika dia hanya memanfaatkan Roman saja"

Mansa memeluk lembut sang Ibu, berusaha memberi ketenangan dari nada khawatirnya. Meski sebenarnya ia juga mengkhawatirkan keadaan kakaknya sekarang.

"Mamih ingin Roman segera lepas dari bayang-bayang wanita itu"

-*123*-

Selly menyimpan masakannya ke dalam wadah dan memasukkan ke lemari pendingin di dapur.

Ia melirik ke arah jarum jam di dapurnya, kemudian mulai membereskan sisa-sisa dari hasil kerjanya.

Hanya sepuluh menit waktu yang Selly butuhkan agar semuanya siap. Iapun segera kembali ke kamarnya. Selly butuh mandi sebelum tidur.

"Maafkan Mama ya, Baby. Tidak bermain dengan Abel hari ini" gumam Selly saat tak sengaja matanya tertuju pada bayi gemuk yang tengah tidur di kasurnya.

Hanya ada satu kasur di kamar kecil itu. Selly dan Abel berbagi tempat tidur yang sama, dengan batasan guling agar Selly tidak menindih sang bayi.

"Mama mandi dulu" gumamnya lagi seraya bergegas ke kamar mandi, melakukan aktivitas pentingnya agar dirinya tidak bau keringat. Ia tak bisa tidur nyenyak jika masih kotor dan berkeringat begini.

Cukup dengan sepuluh menit di kamar mandi, akhirnya Selly kini sudah siap dengan piyama dan berbaring di sebelah bayinya.

Ia memiringkan tubuhnya dan mengelus pelan pipi gembul sang bayi yang memerah.

"Pasti dingin ya" gumamnya seraya menaikkan selimut agar bayinya tidak kedinginan.

Yang Selly lakukan hanya diam sambil menatap sayang ke arah bayinya. Bayi yang ia pertahankan dengan keterbatasan materi yang ia miliki. Bayi yang membuat semangat hidupnya kembali. Bayi yang merupakan penerang dan pelengkap untuk kehidupannya yang kosong ini.

"Nanti Mama belikan baju baru kalau sudah dapat uangnya. Bajunya Baby mulai tidak muat ya?"

Selly terkikik kecil sambil menutup mulutnya agar sang Bayi tidak terbangun. Ia hanya merasa gemas saja akan kecepatan pertumbuhan bayinya ini. Seingatnya dulu bayi ini masih berada di perutnya, menendang-nendang dan berputar.

Bayi yang dulu dengan susah payah ia keluarkan dari dalam perutnya kini sudah tumbuh begitu besar. Ia tak menyangka jika setahun yang lalu ia masih terbaring dan merintih sendirian di ruang bersalin. Tanpa siapapun selain beberapa perawat yang bergantian mengeceknya.

"Baby hanya punya Mama, tidak butuh yang lain" gumamnya lagi.

Seiring dengan pikiran nostalgia yang menghantam memorinya, Sellypun perlahan mulai memejamkan matanya. Tentu saja ia mengantuk karena kelelahan memasak seharian. Tapi ia menikmati pekerjaannya. Demi Abel. Demi anaknya.

"Mama sayang Abel"

Ucapan itu bagaikan pengantar tidur yang membuahkan mimpi indah bagi kedua perempuan beda generasi yang tidur di satu kasur itu.

-*123*-

TBC/END?

Remarried Because of Baby [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang