Tak sanggup menolak Adam di depan David, akhirnya dengan ragu-ragu Alanis menerima helm itu. Hatinya sakit menyadari kenyataan bahwa dia mengharapkan David tapi kini dia lebih berpeluang untuk dekat dengan Adam.

“Langsung pulang, Al?” tanya Adam di tengah perjalanan. Suara bising kendaraan bermotor membuat Adam sedikit mengeraskan suaranya. “Atau ada perlu sesuatu?”

“Pulang aja, Dam,” jawab Alanis pendek. Sejak dia duduk di atas motor Adam, dia menjadi malas untuk mengobrol. Pertanyaan Adam hanya dijawab sekenanya. Dia ingin segera sampai di rumah dan meringkuk menangisi nasibnya yang tak seberuntung harapannya.

Motor Adam memasuki area perumahan sederhana dan berhenti di depan pagar rumah mungil minimalis yang tak jauh dari pintu masuk perumahan. Ini rumah Alanis yang diketahuinya sejak cowok itu naksir Alanis setahun yang lalu.

Di depan rumah Alanis, ada sebuah pohon mangga yang lebat daunnya. Adam menghentikan motornya di bawahnya. Dia tidak berharap Alanis akan mempersilakan mampir. Itu mustahil. Tapi dia butuh bicara. Jadi sebelum Alanis mengucap terima kasih saat menyerahkan helm, Adam segera membuka bibir.

“Al, lo suka David?”

Tidak ada guntur di siang yang terik ini. Tapi Alanis terkejut dengan pertanyaan Adam. Ini benar-benar di luar dugaannya. Selama ini dia berhasil menyembunyikan rasa sukanya serapat mungkin. Jadi mana mungkin Adam bisa merasakannya. Apakah karena perbedaan tanggapan yang diberikan Alanis kepada kedua cowok itu yang membuat Adam menyadarinya? Kalau memang begitu jawabannya, Alanis betul-betul merasa bodoh.

Tak ingin terlihat resah apalagi gelagapan, Alanis berusaha tersenyum. “Suka sebagai temen, Dam. Udah ya, gue masuk dulu. Atau lo mau masuk sebentar?”

“Itu tawaran tulus atau cuma basa-basi, Al?”

Sekali lagi, Alanis terkejut dengan pertanyaan Adam yang langsung pada pokoknya. Tidak menggunakan kalimat terselubung sedikit pun.

Melihat perubahan wajah Alanis, Adam menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. “Gue becanda. Ya udah gue pulang dulu. Entar malem gue telepon. Jangan di-reject.”

“Kapan gue pernah nge-reject telepon dari lo sih, Dam?”

“Nggak pernah sih. Cuma gue khawatir aja lo bakal nolak telepon dari gue kalau ada orang lain yang lebih menarik hati lo.”

Entah ini perasaannya saja atau bukan, tapi Alanis merasa tersindir dengan kalimat Adam. Seperti pertanyaan Adam yang langsung menohok tadi tentang perasaannya kepada David. Untuk sesuatu hal yang belum dia mengerti, dia tidak suka Adam ikut campur terlalu jauh tentang dirinya.

***

“Jadi lo pulang dianterin Adam?” Evelyn mengunyah kacang goreng yang disiapkan oleh Bu Endah, asisten rumah tangga Alanis. “Wah, saingan kita bakal berkurang satu, Yon.”

“Berkurang apa maksud lo?” Alanis berkerut curiga.

“Kalau lo jadian sama Adam, berarti yang akan ngejar David tinggal dua orang. Gue dan Kayonna. Iya nggak, Yon?”

“Betul.” Kayonna yang sedang duduk setengah berbaring di ranjang sambil memainkan ponselnya menyahut menyetujui. “Jadi gue pikir, lebih baik lo terima aja perhatian Adam, si ganteng yang jago karate. Kagak usah ikutan kita-kita yang mau ngegaet si David.”

“Enak aja kalian mau nyingkirin gue.” Alanis melemparkan sebuah novel berukuran mungil ke arah Kayonna. Dia sendiri sedang duduk di kursi belajar, pusing sendiri mengerjakan soal statistika. Sejak pukul enam sore, kedua sahabatnya sudah datang ke rumahnya. Bukan untuk belajar, karena pelajaran di sekolah belum dimulai seratus persen. Tapi untuk ngerumpi dan membahas cowok. Kecuali Alanis yang tergila-gila dengan matematika. Dia mempelajari terlebih dahulu pelajaran tersebut sebelum keesokan harinya guru menjelaskan bab tersebut. “Rasa gue masih belum berubah. Gue masih naksir David.”

Evelyn mencebikkan bibir. “Jangan rakus lo! Kalau udah dapet perhatian dari Adam ngapain juga lo masih ngarepin David?”

“Pokoknya gue nggak mau ngalah. Titik.”

Kayonna bangkit untuk duduk di tepi ranjang. “Oke, kalau gitu kita taruhan aja, gimana?” ucapnya santai. Berbeda dengan dua sahabatnya yang langsung menoleh karena terkejut. Evelyn bahkan tak berhasil menelan kacang gorengnya. Seringkali Kayonna heran bagaimana mungkin Evelyn bisa makan sembarangan tanpa mempedulikan nasib berat badannya yang bisa saja naik tanpa diduga. Itu jelas merugikan dirinya sendiri sebagai bintang iklan.

“Taruhan gimana maksud lo?” tanya Alanis tidak mengerti. Meskipun ada sedikit kecurigaan dengan kalimat Kayonna tadi. Mungkinkah taruhan yang dimaksud adalah taruhan mendapatkan David?

“Taruhan dapetin David sebagai pacar.”

Tepat sasaran. Kecurigaan Alanis terbukti. Berteman selama dua tahun dengan Kayonna, Alanis memang sudah hafal dengan gaya bicara gadis tomboy itu. Dia bahkan bisa menebak apa yang akan Kayonna ucapkan. Bukan berarti dia punya indera ke enam, hanya saja dia sudah hafal karakter dan pemikiran Kayonna.

“Gila lo! Taruhan dapetin David? Kuno!” Evelyn mendelik dan berhenti mengunyah. Dia  meletakkan stoples kacang goreng di atas nakas, kemudian duduk di samping Kayonna. Sedangkan Alanis memutar kursinya supaya bisa berhadapan dengan mereka berdua. “Jangan keterlaluan lah, Yon. Itu sama aja mainin cowok.”

“Nggak usah lebay deh, Ev. Dia nggak bakalan tahu juga.”

“Tapi kalau taruhan, kesannya kita kayak nggak betul-betul suka sama dia. Itu sama aja kayak kita cuma mau nunjukin siapa diantara kita yang paling hebat bisa dapetin dia.”

“Lo sok berperasaan!” Kayonna mendorong wajah Evelyn dengan lima jari tangan kirinya.

Mereka bertiga memang beda. Sikap, gaya bicara, dan selera terhadap suatu hal yang ada pada diri mereka selalu saja berbeda. Baru kali ini saja mereka menyukai sesuatu yang sama. Dan sesuatu itu adalah cowok. Tapi sekalipun mereka berbeda dalam berbagai hal, mereka bisa bersahabat akrab hingga sekarang. Tak ada kata tidak cocok. Semua saling mendukung, hingga mereka bertahan sampai tahun ketiga persahabatan itu.

“Gue setuju.” Tanpa diduga, Alanis mengucapkannya. Kayonna dan Evelyn sampai melongo heran. Mereka heran karena Alanis adalah orang pertama yang menyetujui usul gila Kayonna. Jadi kalau kali ini Alanis setuju, kedua sahabatnya tidak langsung mempercayai pendengarannya.

“Gue serius. Gue setuju,” ulang Alanis seperti memahami ketidakpercayaan Evelyn dan Kayonna.

Terlihat Kayonna melebarkan senyum. “Oke, deal!” ucap gadis paling tinggi diantara mereka itu.

“Eh, tunggu, jangan asal deal dong. Gue kan belum menyatakan persetujuan.” Evelyn memprotes ucapan Kayonna.

Sorry, Baby, lo nggak ada pilihan lain. Lo harus ngikut taruhan ini karena gue dan Alanis udah setuju,” ucap Kayonna sambil mengangkat kedua alisnya dan tersenyum jail.

“Jadi, apa taruhannya?” Alanis mengabaikan Evelyn yang masih bingung dengan taruhan konyol ini.

“Dua orang yang kalah, harus bayar denda satu juta sama si pemenang taruhan.”

“Gila! Itu sama aja nguras tabungan gue.”

“Alaah, lo kan bintang iklan. Masa satu juta aja lo kagak punya.”

“Bukan nggak punya. Tapi satu juta itu banyak banget. Dan gue udah tahu gimana rasanya cari duit sendiri untuk dapat sesuap nasi,” ucap Evelyn serius tapi di mata kedua sahabatnya, ucapan Evelyn justru seperti anak kecil.

Tanpa memedulikan Evelyn, Kayonna melanjutkan, “Kita sepakatin, salah satu diantara kita harus jadian sebelum tanggal sebelas Juli tahun depan. Jadi satu tahun dari sekarang.”

***

The EleventhWhere stories live. Discover now