"Namanya juga nggak sengaja."

"Jadi gara-gara itu lo naksir sama David?" lanjut Alanis. "Nggak bisa!"

Evelyn dan Kayonna menyipitkan mata memandangi Alanis. Mencoba menebak apa maksud Alanis mengatakan 'nggak bisa'. "Maksud lo?" tanya mereka berbarengan.

"Gue..." Alanis bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaannya.

"Jangan bilang lo suka juga sama David?" serang Evelyn menampilkan wajah cemas.

"Sayangnya, iya. Gue naksir David sejak pertama kenal di kelas sepuluh," jawab Alanis jujur. Kejujurannya meluncur begitu saja saat mendengar keberanian Kayonna mengungkapkan ketertarikan pada David. Dia tidak mau kalah dari Kayonna.

"Ini benar-benar bencana!" Evelyn yang memiliki mata sebening kristal, menangkup kedua pipinya sendiri. Sedari tadi hanya kecemasan yang bersarang di wajahnya yang seringkali muncul di layar televisi. "Gue yang lebih dulu suka David. Sejak SMP!"

Mereka bertiga melotot bersamaan. Tidak menyangka bahwa mereka akan naksir cowok yang sama setelah lama menjomlo. Takdir seperti sedang mempermainkan mereka.

Dimulai dari perkenalan mereka sebagai siswa baru tanggal sebelas bulan Juli dua tahun lalu. Mereka menjadi akrab ketika mengetahui mereka lahir di tanggal dan bulan yang sama, sebelas Juli. Pada tanggal yang sama sekarang, mereka mengumumkan menyukai cowok yang sama. Ini seperti bukan lagi sebuah kebetulan. Seperti ada ketentuan yang tak disadari menyertai setiap langkah mereka.

"Girls, kenapa gue jadi merinding?" Evelyn mengusap rambut halus di lengannya yang meremang. "Gue ngerasa kalau ada yang ngatur hidup kita."

"Dasar blo'on!" Kayonna mendorong lengan Evelyn karena gemas. "Teranglah ada yang ngatur hidup kita. Tuhan."

Mereka berjalan perlahan di balkon sekolah untuk menuju kelas setelah kenyang melahap makan siang. Kelas mereka ada di lantai dua. Sekilas mereka bisa melihat David sedang mendribel bola basket di bawah sana. Gayanya keren banget. Apalagi saat David mengibaskan rambut bagian depan yang basah oleh keringat, membuat mereka meleleh.

"Terus gimana bisa kita suka cowok yang sama? Kita nggak mungkin ngerebutin dia, kan? Bisa hancur persahabatan kita." Evelyn bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri. Sedangkan pandangannya tertaut pada David yang semakin dipandang semakin terlihat ganteng.

"Segitunya lo takut persahabatan hancur." Kayonna mengibaskan sebelah tangannya. "Gue kira kita baru sekedar tertarik, bukan jatuh cinta. Jadi kalau ada salah seorang dari kita berhasil jadi pacar si David, dua yang lain nggak akan segitunya patah hati."

"Pendapat lo bener juga. Di umur kita yang sekarang bukan waktunya cinta mati sama seorang cowok. Kita nikmati aja masa remaja dan masa kebebasan kita untuk hal yang lebih menarik. Dan punya cowok cakep adalah bonus. Jadi kalau satu diantara kita bisa bikin David tertarik, yang lain jangan tiba-tiba jadi benci atau berusaha ngerebut. Masih banyak cowok di luar sana yang lebih keren dari David. Lagian juga perjalanan kita masih panjang. Tahun depan di kampus, kita pasti sadar bahwa dunia ini nggak sesempit halaman SMA." Alanis mengungkapkan pendapatnya panjang lebar.

"Gue setuju sama lo, sob." Kayonna menepuk bahu Alanis sambil memasuki kelas dan mencari tempat duduk mereka. "Tapi tetep aja ya, kalau dilihat-lihat, David tuh oke banget."

Pandangan Alanis tertumbuk pada David yang muncul di ambang pintu. Dia tidak akan memungkiri bahwa apa yang dikatakan Kayonna adalah benar. David tidak mudah digebah dalam ingatan. Apalagi mereka satu kelas. Dia bisa melihat wajah David kapan pun dia mau. Melihat senyumnya yang menggemparkan hati para cewek. Hm, terkadang satu kelas dengan cowok cakep tidaklah selalu menguntungkan. Perasaan dan khalayan asing bisa saja muncul mengganggu otaknya. Seperti saat pelajaran kembali dimulai.

Mereka bertiga memandangi David tanpa kedip. Kebetulan David duduk di bangku paling depan. Jadi mereka bisa memandangi cowok itu dengan mudah tanpa ketahuan. Kalau kebetulan David menoleh ke belakang, mereka akan cepat-cepat menundukkan wajah, pura-pura sibuk menulis atau membaca.

"Ngelamun, Al?" sebuah suara mengagetkan Alanis. Bukan suara Bu Denok yang sedang menjelaskan materi sejarah yang membuat ngantuk seisi kelas. Tapi suara Adam yang duduk di sampingnya.

"Eh, nggak, Dam. Cuma ngantuk aja." Alanis menoleh sebentar untuk menyunggingkan senyum pada Adam kemudian dia menunduk untuk mencatat sesuatu yang penting dari penjelasan Bu Denok. Ujung-ujungnya yang ditulis hanya judul-judul novel romance koleksinya.

"Al, entar malam ada acara? Jalan yuk!"

Entah sudah keberapa kali Adam mengajaknya jalan, yang diartikannya sebagai kencan. Dia tahu cowok itu masih memendam rasa padanya. Sayangnya, Alanis sudah lebih dulu menyukai David. Adam yang datang belakangan, belum bisa menembus sampai ke hatinya.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, ini adalah kesempatan untuk memiliki cowok di tahun terakhir masa SMAnya. Dari pada berebut perhatian David dengan kedua sahabatnya. Belum lagi cewek-cewek lain yang pastinya juga ada yang tertarik pada David. Lagi pula Adam tidak kalah keren dari David. Adam juga ganteng. Bedanya dengan David adalah wajah Adam lebih keras, khas cowok. Kulitnya juga kecoklatan, bukan putih seperti David. Kalau diukur dari penampilan, sebenarnya Adam lebih macho.

"Al?" Adam melambaikan tangan di depan wajah Alanis. Seketika Alanis sadar dari lamunannya. "Al, lo melamun terus." Kening Adam berkerut khawatir.

"Eh, sori, Dam. Gue nggak bisa. Gue ada acara..." untuk kesekian kali Alanis menolaknya. Dia tidak ingin membuat kedua temannya curiga kalau dia sudah tidak tertarik lagi pada David. Lagi pula dia tidak ingin memberi harapan pada Adam. Dia tidak ingin menyakiti cowok sebaik Adam.

"Oke, nggak apa-apa. Mungkin lain kali," jawab Adam tenang kemudian memusatkan perhatiannya pada penjelasan guru. Sebenarnya pikirannya ke mana-mana. Mencari tahu alasan Alanis selalu menolak ajakannya.

Di sampingnya, Alanis merasa bersalah. Dia tahu dia sudah mengecewakan Adam. Ini yang tidak disukainya ketika pagi tadi mengetahui kalau dia harus duduk dengan Adam. Memang bukan suatu rencana. Evelyn dan Kayonna datang lebih pagi dan mencari tempat duduk di deret kedua dari belakang. Mereka menyiapkan tempat duduk dibelakangnya untuk Alanis.

Alanis tiba lima menit sebelum kegiatan upacara dimulai. Dia terkejut ketika Adam datang paling terakhir di kelas. Kebetulan kursi kosong hanya ada di sebelahnya. Dalam hati dia mendesah, Astaga, ini bukan pilihan terbaik, satu bangku dengan cowok yang naksir aku?

Atau ini bukan kebetulan? Pikiran Alanis kembali melayang. Seperti yang pernah Papa bilang, di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Semua sudah diatur oleh sang pencipta. Jadi sebangku dengan Adam adalah sebuah rencana Tuhan.

Ya Tuhan, bukan cowok ini yang aku suka. Tapi itu... yang di depan sana.

Untuk sesuatu yang konyol, setelah Adam mengajaknya jalan baru saja, Alanis mengomel di grup whatsapp yang anggotanya hanya mereka bertiga.

Omelan Alanis hanya ditanggapi dengan kalimat ejekan dan tawa yang semakin menjengkelkan. Kedua sahabatnya itu justru mengusulkan Alanis untuk menerima saja cinta Adam. Alanis meremas rambutnya sendiri membaca pesan itu. Tak sadar, tingkahnya diperhatikan oleh Adam.

***

The EleventhWhere stories live. Discover now