"Tenang aja, aku bikin format yang paling gampang dan periodik, nanti aku ajarin Mas cara ngisinya. Oke?"

"Jadi, dari tadi kamu ngerjain itu?"

Karina mengangguk beberapa kali mirip seperti anak kecil yang sedang ditawari eskrim oleh neneknya yang tak suka melarang.

"Demi aku?"

Seketika Karina kehilangan kata-kata untuk menanggapi pertanyaan yang baru saja dilayangkan oleh Ilham. Apa jadinya kalau pemuda itu tahu perasaan Karina? Oh, tidak, maksudnya perasaan simpatinya. Bisa saja, simpati itu disalah gunakan Ilham untuk memanfaatkannya lagi.

Demi menghindari apa yang diasumsikan pikiran negatifnya, Karina menepis pertanyaan yang mirip pernyataan itu dengan senyum simpul.

"Lebih tepatnya demi pedagang-pedagang sepertimu. Rencananya, aku juga bakal buatin kayak gini buat pedagang lain yang kemarin juga udah bantuin aku buat ngisi kuesioner."

Karina tidak pernah menduga bahwa upaya untuk menghindari kekaguman, atau apa pun itu, tidak akan pernah berhasil sama sekali. Justru membuat Ilham semakin tertarik pada dirinya. Entah mengapa, jalan hidup keduanya seolah seperti dua buah tali yang terjalin. Karena pada hari-hari berikutnya, waktu mereka sering diwarnai kebersamaan.

Seperti kebersamaan mereka saat ini, ketika Karina menggenggam tangan Ilham di hadapan orang tuanya. Berusaha keras untuk mempertahankan keberadaan pemuda itu di sisinya.

"Dasar tidak tahu diri! Kampungan! Apa kamu tidak punya cermin? Orang sepertimu, berani-beraninya melamar anak saya! Apanya yang pengusaha? Tukang ayam aja sok berlagak intelek," hardik Nilam pada akhirnya meledakkan amarah yang sedari tadi ditahan-tahan.

Merasa direndahkan, sebagai seorang lelaki Ilham tak terima. Baginya, meski hanya sebagai pedagang ayam goreng, dirinya tak boleh diremehkan sedemikian rendahnya. Apalagi mengingat jasa-jasa almarhum kedua orang tua, yang telah mendidik dan membesarkannya dengan penuh perjuangan. Seketika itu hatinya meradang mendengar pernyataan mama Karina.

"Anda benar, memang sebutan pengusaha rasanya terlalu berlebihan mengingat usaha yang masih kecil," ungkap Ilham dengan penuh keyakinan.

Tak ada penekanan di setiap kata yang diucapkan. Namun, dari caranya bicara, serta pembawaannya yang tenang, sudah cukup menggambarkan betapa tinggi egonya sebagai seorang pemuda yang tak mau terus diinjak-injak.

Yoga bisa memahami hal itu. Terlebih saat mengingat, dirinya juga dulu memulai semua dari bawah. Penuh perjuangan yang berdarah-darah.

Namun tidak dengan Nilam. Dia menilai buruk pemuda yang baru kali pertama menginjakkan kaki di rumah mereka. Memangnya, siapa dia? Siapa Ilham? Sampai berani-beraninya menunjukkan sikap yang tinggi hati di hadapan keluarga Karina?

Demi langit yang menaungi bumi, Nilam tidak akan pernah mengizinkan lelaki itu menikahi Karina. Tidak! Jangankan untuk menikahi, untuk dekat saja mulai saat ini dia akan tegas melarang.

Sungguh mengherankan sekali, kenapa anak semata wayangnya mengenalkan seseorang yang tidak pernah dibayangkan oleh siapa pun. Terutama Nilam. Wanita itu bahkan berpikir sihir macam apa yang digunakan orang bernama Ilham, untuk memperdayai putrinya?

Padahal, banyak orang yang menggadang-gadang, bahwa calon pendamping Karina pastilah pengusaha muda sukses yang rupawan sekaligus bergelimang harta.

Walau bagaimana pun, bagi Nilam menjaga nama besar keluarga itu sangat penting. Termasuk menikahkan Karina dengan orang yang minimal sepadan dengan mereka.

Membayangkan putri kesayangannya menikah dengan pemuda kampungan sungguh menyesakkan dada. Rasanya, langit baru saja diruntuhkan di atas istana mereka, ketika tiba-tiba sang putri memintanya memberi restu.

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now