"Kenapa sih kau terus bertanya?" Felix melayangkan tatapan dingin pada Hyunjin.

Lelaki itu berdehem singkat, "tentu saja karena aku ingin tahu." ujarnya defensif. Felix tak menyahut apapun lagi setelah itu. Jenuh.

Hyunjin balik mengadah hanya untuk menikmati keindahan yang disuguhkan alam gulita kepadanya. Pria itu terpesona pada keramaian rasi bintang yang berjejer di langit malam, berpendar lemah namun tetap indah terlihat. Di bawah koridor itu terdapat satu kolam berisi beberapa bunga teratai dan ikan hias, hingga titik-titik bercahaya itu terpantul pada permukaan air yang tenang. Karena letak istana ini di ketinggian, memungkinkan untuk melihat bintang lebih jelas dari tempat ia biasa melihat di balkon kamarnya dulu. Tapi saat ini ia sedang tidak sendiri. Bersisian dengannya, terdapat seorang gadis yang terpaut jarak selangkah. Jujur, bagi Hyunjin, entah itu pantulan kilau bintang ataupun rona dari bunga musim panas di kebun-kebun istana, maka segala keelokannya akan terpatahkan jika berdampingan dengan Felix.

Keduanya berdiam diri cukup lama. Angin dari ketinggian merayu anak-anak rambut mereka dalam kesejukan. Hyunjin adalah yang pertama melirik ke arah Felix sedangkan gadis itu tak terusik sama sekali.

"Aku selalu ingin melihatmu dari dekat. Seperti ini." ucap Hyunjin tiba-tiba. Alis Felix terangkat, agak kaget mendengarnya.

Itu adalah pengakuan jujur Hyunjin. Mungkin malam hari memiliki magis tersendiri yang bisa membuat perasaan lebih nyaman untuk mengutarakan sesuatu namun juga sedikit misterius. Hyunjin sendiri tidak mengerti kenapa ia secara gamblang mengucapkan potongan kalimat barusan. Hanya, ia merasa jika Felix pantas tahu. Itu saja. Tentang Hyunjin yang selama ini gelisah memikirkan tumbuh kembang adiknya yang ia tinggalkan belasan tahun.

Tapi Felix masih bisu. Raganya membatu dalam keheningan malam. Deheman ringan yang ia keluarkan bahkan lebih lembut dari sapuan pawana.

"Kau bahkan sudah menatapku lebih dekat dari ini," Felix memeluk sebelah lengannya yang polos, merasakan tenggorokannya hampa dan kering, "kita pernah... berdansa."

Hyunjin tersenyum ringan. "Maaf telah membuatmu berdansa denganku malam itu,"

Felix menangkas cepat. "Yang ingin kuketahui adalah kenapa kau melakukannya,"

Hyunjin ikut menghadap lurus gadis itu setelah Felix lebih dulu melakukan hal serupa. Kali ini Felix menatap matanya tanpa ada getaran canggung yang berarti. Semua fokus yang menghalangi telah gadis itu singkirkan secara sempurna. Ia telah memikirkan banyak hal, dan ia pun butuh kepastian. Kini, di matanya hanya ada penampakan Hyunjin yang terefleksi.

"Aku... juga tidak tahu." Hyunjin menelan ludahnya berat. Mungkin ia sudah sakit mata lantaran melihat ada secuil raut kecewa menyambangi paras elok gadis itu. Hyunjin berdetak liar, jemarinya mengepal kuat.

"Aku sudah menduganya. Meski begitu, kenapa aku tetap merasa sedih?" Felix menghela napas gusar, "apa... apa karena aku sudah terlanjur merasa jadi istimewa," kemudian gadis itu menyentuh pelipisnya dan menekannya kuat. "Dan lagi, kenapa aku sangat senang ketika bersamamu?"

Felix sangat kentara, raut wajahnya begitu menuntut Hyunjin. Dia baru saja mencurahkan isi hatinya tapi itu terkesan memojokkan Hyunjin. Tatapan terluka Felix malah berimbas balik menyakiti hati pemuda itu. Hyunjin terpekur sejenak, dia membalas tatapan gadis itu. Pandangannya benar-benar menyerap seluruh atensi Hyunjin. Bagi lelaki itu, segala pengakuan Felix tadi terasa amat berat dan membebani pundaknya.

Hyunjin mengambil satu langkah ke depan, memangkas jarak di antara mereka. Akibatnya kini wajah Felix nyaris membentur dada atas lelaki itu. Tapi gadis itu tetap bergeming. Tak mengelak barang selangkah mundur. Felix baru tergemap ketika tangan Hyunjin melingkari pinggangnya, mendekapnya. Belum lagi keterkejutannya hilang, sebelah tangan Hyunjin yang bebas menangkup rahangnya lembut.

LIMERENCE; hyunjin ft. felix || hyunlixWhere stories live. Discover now