Sembari mengangguk pelan, Sungwoon tersenyum tipis, "Bapak tidak perlu khawatir. Tidak ada lagi yang mengungkit masalah kematian Hyunwoo karena kami sekelas sudah sepakat untuk tidak membahasnya lagi."

"Syukurlah." Jungkook mengangguk pelan sembari mengetuk-ngetuk jemarinya di meja. "Lalu, bagaimana dengan Solbin?"

"Solbin?"

"Apakah dia masih suka mengganggu Yoojung?"

Sungwoo  berpikir sejenak sebelum akhirnya menggeleng cepat. "Tidak, Pak."

"Begitukah? Baiklah. Terimakasih." Sungwoon tersenyum dan mengangguk sebelum akhirnya membungkukkan tubuhnya hormat kemudian keluar dari kantor guru.

Begitu menutup pintu kantor guru, Sungwoon berdiri dan terdiam selama beberapa saat di depan pintu. Tangan kanannya bergerak mendekati mulutnya, lantas ia mulai mengigiti kuku-kuku tangannya seokah risau.

Menghela nafas panjang serta menggelengkan kepalanya cepat mengusir segala kegelisahan dalam benaknya, lantas ia segera berlari untuk pulang ke rumah. Ia tidak mau memikirkan hal yang mungkin akan merugikannya.

Benar. Lebih baik tidak perlu ia pikirkan. Diam lebih baik.

Di dalam kantor, Jungkook kembali duduk termenung. Ia sudah berkali-kali menghela nafas panjang. Ada begitu banyak masalah yang ia hadapi, entah di rumah maupun di tempat kerjanya.

Memutuskan untuk segera mengemas barangnya dan beranjak pulang, Yoongi baru saja mengirimkan pesan padanya bahwa ia harus segera kembali karena Namoo mencarinya.

Jungkook berjalan cepat menuju mobilnya, dan disaat itulah ia melihat Yoojung berjalan pelan melewatinya.

"Hagsaeng!"

Yoojung menoleh, lantas dengan sigap membungkuk hormat. "Ya, Ssaem?"

"Kau akan pulang?"

Ah, tentu saja pulang. Pertanyaan bodoh macam apa yang ia lontarkan itu? Nyatanya Jungkook hanya ingin berbasa-basi dan menawarkan tumpangan untuk Yoojung.

Semenjak kasus Lee Hyunwoo, ia hampir melupakan fakta bahwa gadis itu beberapa hari yang lalu baru saja diserang di gudang entah oleh siapa. Ia lupa untuk mencari tahu.

"Ah, ya."

"Kau dijemput?"

Yoojung mengerjap, memeriksa ponselnya dan menggeleng. Taehyung biasanya akan memberitahunya jika akan menjemput. Sejujurnya biasanya pun ia akan dijemput oleh supir pribadinya, namun hari ini Yoojung sedang ingin pulang naik bus. Terkadang, ia akan meminta supirnya untuk tidak menjemputnya jika dirasa ia ingin pulang terlambat.

Ia baru saja mendapat kabar bahwa ayah ada di rumah. Tentu saja itu menahannya untuk pulang segera ke rumah di saat Taehyung pun memang masih berada di kantor untuk bekerja. Ia tak akan berada di rumah jika ayah ada dan Taehyung tidak ada.

Menatap Jungkook menunggu jawabannya, Yoojung pun menggeleng. Sembari merekatkan cardigan biru yang ia kenakan, ia menjawab, "aku akan naik bis, Pak. Kalau begitu aku pergi dulu."

Jungkook menggigit bibir bagian bawahnya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku sembari menatap Yoojung yang telah berjalan menjauh darinya. Mengerang kecil, ia lantas mengangkat tangan kanannya dan berteriak memanggil Yoojung.

"Yoojung-a! Kau ingat Nenek Choi?"

Langkah Yoojung terhenti, membalikkan badannya dan menatap Jungkook bingung, tentu Yoojung masih mengingat perempuan tua itu. Jungkook pernah mengajaknya ke panti jompo dan memperkenalkannya pada Nenek Choi. Tempat dimana saat itu Nenek Choi mengira bahwa dirinya adalah cucu perempuannya yang telah meninggal.

Siapa namanya? Yoojung berusaha mengingat. Ah, benar! Soojin!

"Ya, Pak, aku mengingatnya. Kenapa?"

"Emh, dia mencarimu. Maukah kau mengunjungi sekali lagi?"

Jungkook sedikit ragu untuk mengajak Yoojung. Nyatanya Nenek Choi bahkan tidak mencari Yoojung lagi. Itu hanya sebuah alasan agar ia bisa berdua bersama gadis itu dan mengajaknya mengobrol dengan banyak. Ada banyak hal yang ingin ia ketahui tentang gadis itu.

Luka di sekujur tubuhnya, perisakan solbin, dan juga apa yang telah terjadi sore itu di gudang sekolah hingga membuat gadis itu terlihat kacau dan menangis.

Mengunjungi panti jompo hanyalah alasan, dan ia ragu Yoojung akan menyetujuinya. Namun, rupanya gadis itu mengangguk dengan cepat sembari tersenyum kecil.

Menghela nafas lega, Jungkook segera membukakan pintu mobil dan mempersilakan Yoojung masuk. Padahal dibalik itu semua, Jungkook tidak tahu betapa senangnya gadis itu.

Yoojung nyaris pupus harapan beberapa saat yang lalu karena ia berharap Jungkook akan menawarinya tumpangan. Ia tidak tahu mengapa perasaannya tumbuh begitu cepat selepas malam itu. Bayang-bayang Jungkook memeluknya meski saat itu gurunya itu hanya mengigau tetap menjadi kenangan manis baginya.

Ia mengakui bahwa dirinya kini jatuh cinta pada gurunya sendiri. Sudah lama sejak terakhir kali ia bisa merasakan dada yang berdesir dan perasaan bahagia oleh hal sesederhana ini. Setidaknya ia ingin menyimpan perasaan ini hanya untuk dirinya dan menikmatinya.

Terlepas dari semua penderitaan yang ia alami hingga saat ini, ia ingin menjadikan Jungkook sebagai harapan hidupnya. Gurunya itu selalu datang untuk menolongnya. Selalu ada di momen dimana ia merasa putus asa. Setidaknya dari segala penderitaan, ia ingin menyimpan satu kenangan indah sebelum entah kapan ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri lagi atau bahkan memang maut sudah datang menjemputnya sebelum ia yang mengakhiri dirinya sendiri.

Di dalam mobil, Yoojung mati-matian untuk menyembunyikan senyumnya. Bahkan aroma parfum Jungkook yang telah familiar baginya sudah cukup untuk membuatnya berdebar. Ah, ia ingat rasa debaran yang ia rasakan kini sama persis saat pertama kali ia bertemu dengan Jungkook di kuil Miryang dimana Jungkook memeluknya untuk menghangatkan diri.

Ah, ia mendadak merindukan momen itu. Merindukan bagaimana ia tak memikirkan apapun selain terperangkap di dalam kuil miryang bersama lelaki asing, tampan, yang rupanya kini menjadi gurunya.

Yoojung terhanyut dalam kenangan lamanya bersama Jungkook di kuil Miryang. Hal ini membuatnya tak fokus pada masa sekarang dimana ia sedang di dalam mobil perjalanan menuju panti Jompo bersama Jungkook.

Sehingga ketika Jungkook bertanya, "Apakah kau merindukan Nenek Choi?"

Dan dengan bodohnya Yoojung menjawab, "Ya, aku merindukan bapak."

Ia menjawab begitu polos dan spontan hingga sontak membuat Jungkook mengerjap kaget. Ia seperti, aku tidak salah dengar, kan?

Begitu Yoojung menyadari kebodohannya, wajahnya langsung berubah bak tomat merah yang direbus. Ia langsung membuang wajahnya kembali keluar jendela.

Bodoh!

Sementara itu, Jungkook hanya mendeham pelan dengan telinga yang juga ikut memerah.







[]

Btw sampe chapter ini, aku cuma ceritain sisi yoojung kek yoojung ni kenapa dsb, hampir jelas kan? Tapi kenapa Jungkooknya kehidupanny masih samar? Disini g ada yg kepo kenapa dulu Jungkook pen bunuh diri juga?

Wkwkwk..

Save MeWhere stories live. Discover now