1

676 134 36
                                    



Pikiran Opik sudah tidak lagi ada diruang rapat sejak satu jam yang lalu. Sejak sebaris pesan sang istri membuat ponselnya berkedip.

'Aa, masih lama ya meeting nya? Obat keramnya ternyata udah abis 😔'

Enam bulan hidup bersama sebagai suami istri membuat Opik paham kalau Farah tidak akan mengirim pesan seperti itu sebelum berusaha sendiri mencari solusi masalah apapun itu yang sedang ia hadapi. Istrinya yang punya prinsip selagi masih bisa sendiri kenapa harus repotin orang lain itu kadang membuat Opik gemas sekaligus salut. Farah itu mandiri dan cenderung introvert. Susah payah Opik membuat Farah keluar dari sifat introvert yang membuatnya cenderung insecure. Dan saat ini, Opik yakin Farah benar - benar butuh bantuan. Apalagi ini menyangkut keram perut yang selalu mendera sang istri setiap bulan. Opik masih ingat dengan jelas bagaimana Farah pingsan karena menahan nyeri keram perut di bulan ke dua pernikahan mereka. Pain killer yang diyakini masih ada di kotak obat ternyata tidak ada. Farah memilih menahan nyeri di perutnya alih - alih membangunkan Opik dengan alasan saat itu sudah jam 1 dini hari. Jika bukan karena suara gelas pecah, saat itu mungkin Opik tidak tahu kalau Farah jatuh pingsan.

"Sekian meeting hari ini. Mohon kerjasama..."

Kalimat Pak Deni selanjutnya tidak lagi terdengar ditelinga Opik. Begitu kata - kata sekian tadi terdengar, ia segera menyambar ponsel yang sejak tadi terletak di meja lalu memghubungi Farah. Sudah dering ke tiga namun masih belum ada jawaban. Opik sampai mengetuk ngetuk meja didepannya dengan pulpen. Suara ketukan itu kini terdengar jelas karena meeting sudah bubar, menyisakan Opik yang wajahnya tampak tegang dan Fajar yang memilih untuk keluar bareng Opik saja. Wajah tegang Opik membuatnya sedikit ingin tahu.

"Waalakumsalam. Neng punten Aa baru siap meetingnya. Intan udah pulang belum?" Kecemasan Opik belum reda meskipun ia sudah mendengar suara Farah.

"Tunggu bentar ya Neng. Iya Aa jalan sekarang. Dikompres dulu aja ya. Baring dulu aja jangan kemana - mana nya." Dengan langkah cepat nyaris berlari Opik segera menuju parkiran.

"Aya naon Aa?" Fajar rupanya ikut dibelakang Opik.

"Ieu Jar si Neng teh keram perutna kumat. Obatna teu aya." Jawab Opik tanpa menghentikan langkahnya.

"Urang nyusul nya Aa." Sahut Fajar kemudian juga segera menuju Scoopynya yang terparkir tak jauh dari mobil Opik.

.
.
.
.
.
.
.

Opik tergesa - gesa menutup pintu mobilnya lalu berlari masuk ke rumah tanpa ingat mengucap salam. Yang dipikirannya cuma satu, ia tidak ingin lagi kejadian malam itu terulang lagi. Ia baru bisa bernapas lega saat dilihatnya Farah tertidur dikamar mereka dengan kompresan air hangat diperutnya. Wajah istrinya itu terihat pucat.

"Neng." Panggil Opik lembut. Setengah hatinya tidak ingin membangunkan Farah, namun ia tahu istrinya itu pasti butuh obatnya. Farah terbangun.

"Minum dulu obatnya ya." Lanjut Opik sambil mengusap peluh di kening istrinya. Entah sudah berapa lama Farah menahannya hingga ia berkeringat dingin begitu.

Farah lalu duduk dibantu Opik. Masih dengan wajah khawatirnya, Opik menyodorkan tablet bewarna krem itu ke mulut Farah lalu membantunya minum.

"Udah dari jam berapa nyerinya?" Tanya Opik lalu mengusap - usap perut istrinya itu.

"Sebelum ashar kayaknya. Sekarang kan baru tanggal 18 makanya aku teh nggak liat stok obatnya juga. Eh taunya bulan ini dapetnya kecepetan seminggu. Maaf ya Aa. Bikin kamunya cemas gini." Jawab Farah lalu menaruh tangannya di atas telapak tangan Opik.

"Naon ah kamu teh maaf - maaf sagala. Kalo istrinya sakit ya suaminya cemas atuh Neng." Raut khawatir Opik akhirnya hilang juga demi senyum lemah dihadapannya itu. Senyum cantik yang belum pernah gagal membuat jantung Opik berdetak tak karuan. Jemari keduanya bertaut.

Serotonin [YNWA AU]Where stories live. Discover now