❄️ BAB 16 - Segan Beranjak

En başından başla
                                    

"Aku takut dengan komentar dan penilaian."

"Maksudnya?"

"Ya. Karena terkadang di media sosial orang yang tidak benar-benar mengenal kita bisa berkomentar atau menilai seenaknya. Penilaian mereka cuma ada dua sisi, yaitu baik atau buruk. Suka atau tidak suka. Perspektif mereka atau bukan perspektif mereka. Dan aku lebih baik berhati-hati. Buktinya sekarang tentram. Tidak dipusingkan memikirkan aku harus unggah apa, atau ini, atau itu. Atau mengunggah sesuatu yang bisa mendulang likes atau komentar atau berapa banyak share yang bisa didapat. Iya, nggak, sih?"

"Iya. Padahal ada peluang dapat endorse, yah?"

"Pikiranmu itu loh." Aku mengambil satu kukis lagi. Tram sedang cukup lega. Tidak penuh.

"Bukan gitu, ih. Maksud aku, kita punya kesempatan yang sama untuk bisa menghasilkan sesuatu dari 'jualan nikah muda yang syari' di era sekarang kalau kita mau. Orang mudah tertarik kan dengan influencer yang seperti itu."

"Memangnya kamu mau kolom komentar unggahanku diisi oleh cewek-cewek pengagum yang lupa diri?" aku bertanya menguji.

"Ya nggak lah! Aku bilang kamu itu udah pas. Nggak usah unggah-unggah."

Asli. Kukis almon ini enak. Harus beli sendiri nanti buat di kamar.

"Tapi di sana letak kehati-hatian kita diuji. Kalau boleh berpendapat, begini, Trid. Sekarang umat Islam mana sih yang tidak akan kagum dengan saudara seimannya yang unggul? Misalnya ada seorang pemuda tampan, masih lajang, yang punya banyak kelebihan dalam urusan agamanya. Di era sekarang yang sudah melek teknologi dan segala informasi sudah cepat. Ibaratnya bom meledak di Suriah tapi kabar mencekamnya sampai ke telinga mereka yang ada di tanah air. Dan pemuda itu lengah. Akun medsosnya mulai ramai dikerubuti kaum yang tertarik. Kontennya mendulang banyak likes, viral. Lalu dia membuat konten serupa yang kemudian meskipun ada niat ingin berbagi konten kebaikan. Tapi masih ada keinginan untuk merasakan betapa senangnya saat notifikasi jebol. Dari sana ujian keagamaannya akan mulai diuji.

Orang itu kemudian ketagihan. Kesalehannya terasa punya harga atau nilai ketika dikerubuti banyak orang. Apalagi cewek-cewek yang mudah sekali terjatuh pada daya tarik pemuda seperti itu. Yang awalnya hanya sekadar berbagi, perlahan menjadi sebuah kebiasaan duniawi yang tanpa orang itu sadari sudah menjadi riya akan keagamaannya sendiri.

Aku sih sudah nggak heran untuk zaman sekarang. Aku malah kadang yang merasa malu kalau lihat akun-akun seperti itu mulai membisniskan apa yang menjadi identitas keagamaannya. Aku berani bilang ini tentang endorse."

"Tapi kan itu rezeki mereka, Mas?"

"Kamu benar."

"Lalu?"

"Tapi kamu perlu mencatat, bahwa ujian iman terberat seseorang itu ketika orang lain mulai memuji dan mengagumi keimanannya. Beruntunglah orang-orang yang keimanan dan peribadahannya menjadi rahasia antara dirinya dengan Allah saja. Beruntunglah orang saleh yang tidak diakui kesalehannya oleh manusia tapi kedudukannya tak ternilah di hadapan Tuhannya. Beruntunglah orang saleh yang tidak menjadi selebriti di mata manusia, tapi malaikat-malaikat di langit membicaraknnya dengan penuh kekaguman. Beruntunglah orang saleh yang tidak dirindukan sutradara, agen bisnis, produser, tapi jauh di alam sana surga sedang menangis karena rindunya pada orang itu. Eksposur keagamaan seseorang itu tidak sedap sama sekali. Media sosial, Trid, itu tantangan besar bagi mereka yang ingin berhijrah di era sekarang."

Tram terus melaju. Aku dan Astrid masih membicarakan bagaimana media sosial berpengaruh pada kehidupan manusia era kini. Apalagi seperti yang aku bilang tadi, eksposur hijrah. Astrid sudah aku kasih sedikit pemahama soal ini. Dulu aku menantangnya untuk tidak mengunggah sesuatu tentang perjalanan hijrahnya di media sosial. Riya sangat dekat dengan sifat ingin dipuji. Dan pujian paling dekat dengan ujub, rasa bangga terhadap diri sendiri. Lalu ujub merupakan parasit hati yang keberadaannya harus cepat-cepat ditaubati.

"Mas."

"Hm?"

"Maaf ya," suaranya melayang di antara deru mesin dan suara-suara lain, "Kadang aku suka nggak ngertiin kamu. Tapi beneran, aku cuma ingin kamu nyaman."

"Aku ya paham."

"Paham apa?"

"Nggak. Jangan berhenti menjadi kamu yang seperti itu saja."

"Kamu nggak marah?"

"Marah ya nggak. Kesel aja kadang. Tapi aku suka. Itu ujian yang seru. Laki-laki harus sabar sama istrinya. Harus kan artinya bisa nggak bisa, mau nggak mau. Jadi kamu yang adanya seperti itu ya aku syukuri saja. Toh sejak aku niat sama kamu, aku sudah siap buat menghadapi yang seperti ini. Ego kita. Keinginan kita. Dan ... ya, yang semacam itu. Asalkan, kamu lebih bisa mengerti aku juga."

Astrid diam-diam meremas lenganku.

"Kita jarak jauhan. Sama-sama sedang menempuh belajar. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan aku bagaimana. Aku masih ada dan nggak berubah. Nikmati saja prosesnya. Jalan bareng."

"Itung-itung nabung kangen, ya?"

Aku mengecup belakang kepalanya.

"Kamu di sana hati-hati. Kalau ada apa-apa jangan ragu kalau mau ngadu. Perlu bantuan coba bilang. Kalau aku bisa, kamu nggak perlu minta juga aku kasih. Jangan rese sama temen. Jangan gigit."

"Ih! Emange aku maung."

"Hehe. Yang boleh digigit cuma aku aja."

"Apasih!"

"Apasih, apasih." Aku tergelak kecil. Astrid juga.

"Eh tahu nggak?" katanya sambil mengutip kukis yang jatuh di pangkuanya.

"Jangan ghibah."

"Nggak ih! Aku punya temen seangkatan. Dia bilang adeknya mau jadi maba di kampusku gitu, Mas. Dan katanya kalau dia udah di sini mau dibarengin sama aku. Dia nitip gitu."

"Cewek?"

"Temenku cowok. Adeknya yang cewek."

"Ya nggak apa-apa. Itung-itung kamu punya temen ngobrol lagi. Orang mana?"

"Orang Indonesia juga."

"Nah, apalagi orang serumpun."

"Iya."

Kami beralih menaiki kapal feri untuk menyeberang. Lalu diteruskan dengan bus. Kami tiba di sana saat hari sudah menggelap. Aku tidak bisa berlama-lama. Setelah sholat magrib langsung harus pergi mengejar jam operasi feri agar tidak kemalaman pulangnya.

Astrid selalunya seperti yang nggak mau ditinggal. Tapi kali ini dia seperti lebih tegar untuk tidak menunjukkan reaksi seperti itu. Kami cuma salaman. Bertukar kecup sebentar. Lalu aku melambai pergi menuruni tangga flatnya tanpa menoleh lagi.

Saat aku sedang di trotoar depan flat Astrid. Dia menelepon. Aku mengangkatnya dan mendongak ke atas. Astrid sedang berdiri di balik jendela. Ketika itulah aku kadang juga sulit meninggalkan. Jujur ada rasa haru yang hanya bisa ditahan dan desakannya membuat aku tanpa ragu lagi untuk sekadar meninggalkan kata-kata manis untuk menjaganya.

"Ada yang ketinggalan," katanya.

Aku terdiam masih mendongak ke atas.

"Apa?" tanyaku kemudian.

"Nggak. Aku sayang."

"Itu aja?"

"Ada lagi."

"Apa?"

"Kamu lupa nggak jelasin kitab Aqidatul Awam."

Aku memejam sesaat, "Astaghfirullah, lupa."

"Ya udah. Lain kali. Ini ditutup jangan teleponnya?"

Biasanya aku akan menjawab memangnya kamu punya banyak pulsa, sebelum dia mengiyakan dengan cepat. Tapi kali ini aku boleh lah, ya, sedikit meminta. "Jangan," jawabku.

"Sampai kapan?"

"Selama-lama-lama-lamanya," aku tersenyum. Lanjut berjalan tanpa mendongak lagi. Rindu ini jangan dituruti. Biar terus menggerogoti. Tidak apa-apa. Untuk dia tidak apa-apa.

***

Sebentar lagi kita kembali ke Praha. Ada yang sedang bertengkar hebat di sana. Semoga tidak melebar kemana-mana.

RENTAN: Semusim di Praha [OPEN PO]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin