v. are ghosts real?

5.7K 1.8K 288
                                    

Sudah berjam-jam lamanya Felix berdiam diri di ruang tamu. Matanya tak dapat lepas dari layar laptop, mengetik sesuatu di search engine untuk mencari pembenaran.


Are ghosts real?


Sudah puluhan artikel ditelusuri, namun Felix masih belum mendapat jawaban yang memuaskan.


Ada yang percaya, ada juga yang tidak.


Belum lagi beberapa artikel mengatakan bahwa beberapa paranormal experience sudah dapat dijelaskan dengan teori sains. Ada juga yang bilang bahwa saat kita melihat hantu, itu hanya hasil rekayasa otak karena kelelahan.


"Jadi yang bener yang mana?" gumamnya, frustasi.


Pemuda itu mengusap kedua mata dengan telapak, lalu jemarinya bergerak menyisir kebelakang helaian rambut yang turun menutup pandangan. Netranya beralih ke arah ponsel yang diletakan di atas meja.


Tak ada satupun notifikasi dari teman-temannya.


Lucu sekali.


Di saat orang-orang menilai hidupnya yang serba enak dan berkecukupan, jauh di lubuk hatinya Felix merasa kesepian.


Menjadi anggota inti tim kebanggaan sekolah tidak cukup membuat orang-orang mau berteman dengannya tanpa pamrih.


Kini pandangannya berpusat pada seluruh penjuru ruang. Pemuda itu tertawa kecil, "tau apa mereka?"


Sebetulnya Felix tidak suka berpikir menyedihkan seperti ini, namun harus diakui hanya Jeno-lah yang benar-benar menganggapnya sebagai teman. Felix jadi merasa sedikit bersalah harus mengambil posisi kapten disaan Jeno sedang kesusahan.


Tapi mau bagaimana lagi? Felix harus ada di posisi teratas rantai makanan agar diakui oleh semua orang.





































Kalau dia menjadi ketua tim, orang-orang pasti mau bertema dengannya kan?


























Lalu diteguknya air didalam gelas hingga habis, dalam hati Felix bertanya-tanya.


Apakah Chaewon itu nyata, atau hanya sekedar ilusi yang sengaja diciptakan karena dia kesepian?



















































































Siang berganti malam. Hari ini kakak pulang lebih cepat daripada biasanya, maka dari itu makan malam tiba lebih awal.


"Mual ya?" tanya kakak seraya memotong daging di piring.


Felix menggeleng pelan, "enggak kok kak, udah mendingan."


Kontras dengan ucapannya, Felix menusuk daging itu dengan tidak nafsu. Berpikir soal kondisi Jeno membuat rasa laparnya hilang seketika.


"Kok gak dimakan?"


"Kenyang."


Kakak menghela nafas, lelaki itu memasukan seluruh daging kedalam mulut sebelum akhirnya menumpuk piring menjadi satu.


"Yaudah kalo kenyang, kamu istirahat sana. Minum obat dulu kalo mau tidur." ujarnya sebelum pergi ke arah wastafel.


Bukannya beranjak, Felix tetap berdiam di tempat. Ada sesuatu yang perlu ia tanyakan pada kakak, kalau tidak nanti Felix tidak bisa tidur.


"Kak."


"Hm?"


"Do you believe in ghosts?"


Kakak tersenyum tipis, tangannya masih betah menggosok piring dengan spons. "Ghosts terlalu kekanakan, i prefer call it demon."



"Jadi?" tanya Felix, memastikan.


Kakak menatap Felix sekilas. "Yes, i do."


Pandangan Felix terpusat pada kalung perak berbandul pentagram yang sedang kakak pakai. "That's why you wear that necklace? To attract 'em?"


"No, peanut."


Kakak terkekeh pelan. Senyuman penuh makna diulas ketika jemarinya menyentuh bandul itu, memasukannya kedalam kaus. "Ini hadiah."


Kakak mengeringkan telapak tangannya dengan lap sebelum menepuk puncak kepala sang adik. "Go get some sleep, buddy. Besok harus sekolah, kan?"


"Okay."


Felix bangkit, bergerak membawa tubuhnya menuju kamar.


























"Good night, peanut."


"Good night, kak Chan."

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang