The Atmodjo's - Pembuka dan Penutup

Start from the beginning
                                    

"Emang kenapa? Bisa main basket gak kamu?" Rama mengoper bola basket itu pada adiknya yang dengan sigap menangkap. "Nice catch."

"Abang kali yang harusnya ditanya," Iqbal mencibir, ia bangkit berdiri lalu balas mengoper bola, "abang kan jarang olahraga."

"Eh? Kata siapa?" Rama memantul-mantulkan bola sambil menghindari tangan Iqbal yang berusaha merebut.

Sore itu disaksikan matahari yang sinarnya meredup di antara ranting-ranting pohon, kakak beradik itu bermain basket tanpa aturan yang jelas, tanpa menghitung skor setiap mereka berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Mereka menikmati saat-saat itu tanpa peduli hal-hal lainnya, diselipi tawa Rama dan rengekan Iqbal setiap abangnya sengaja mengecohnya.

Hingga matahari terbenam ibarat peluit tanda akhir pertandingan kecil mereka, mereka duduk meluruskan kaki di pinggir lapangan, di dekat pohon paling rindang dengan napas terengah dan dahi keringatan.

Iqbal mengipas-ngipas menggunakan ujung kerah kausnya, "Abang bawa bola basket, kenapa gak bawa minumnya juga?"

"Abang lupa." Rama menyibak rambut bagian depannya yang basah lalu merogoh saku celananya, "Tapi abang bawa ini."

Cokelat. Khas Bang Rama dan Kak Rani yang sering mengenalkan Iqbal pada konsep makanan adalah comfort.

"Abang bagi dua ya." Rama membagi cokelat itu menjadi dua bagian, mengukurnya terlebih dulu dengan jari lalu menyerahkan bagian yang lebih panjang pada Iqbal. Iqbal tertawa.

"Tambah aus tau, Bang, abis ini."

"Gak apa-apa abis ini kita langsung lari ke rumah."

"Yang duluan sampe, pijitin ya?"

Rama menggeleng-geleng tapi sambil terkekeh mengiyakan.

Di antara kunyahan cokelat, diam-diam Iqbal memperhatikan abangnya. Abang yang mengambil rapornya waktu ia naik ke kelas 6, abang yang mau menggendongnya di punggung meskipun ia sudah besar dan sudah berat waktu itu, abang yang mengatakan padanya kalau ia tidak akan bertumbuh sendirian, karena saat ia beranjak dewasa dan tidak lagi bisa abangnya gendong, sebenarnya abangnya pun sedang beranjak dewasa, ia tidak pernah growing up sendirian.

"Kamu jago juga tau, Dek, main basketnya." Rama menoleh lalu menepuk-nepuk kepala adiknya. "Kalo abang udah balik ke Jakarta lagi terus kamu bosen, daripada bengong di lapangan sendirian, main basket aja."

Iqbal terdiam, tapi ia membiarkan abangnya tetap menepuk-nepuk kepalanya sambil mendengarkan.

"Main basket sendirian juga bisa, gak perlu banyak orang." Lanjut Rama, membuat Iqbal seketika paham maksud abangnya.

Iqbal menghabiskan potongan terakhir cokelatnya, lalu berkata mantap, "Aku nanti mau SMA di Jakarta."

Rama menoleh lagi, kali ini matanya benar-benar melebar.

"Aku mau SMA di Jakarta, satu kosan bareng abang. Terus nanti mau jadi anak basket. Yang paling jago."

Rama masih kelihatan terkejut, tapi perlahan bibirnya membentuk senyum, "Iya. Abang tunggu ya."

Itu saja sudah cukup menjelaskan kenapa Iqbal sangat dekat dengan abangnya, orang yang membuat Iqbal tahu bahwa sebenarnya ia tidak pernah benar-benar sendirian, dan Iqbal tidak butuh sekotak roti isi telur untuk membuat Rama berada di sampingnya. Sejak awal Rama tidak pernah meninggalkannya sendiri.

*

"Abang lo nikah??" Kania, manajer klub basket Iqbal di SMA melotot memandangi kartu undangan di tangannya yang baru saja dibagikan Iqbal kepada semua anggota tim sore itu, seusai mereka latihan. Bisa dibilang, keterkejutan Kania adalah momen langka mengingat default wajahnya yang sedatar meja café.

Komet 101Where stories live. Discover now