"Ah, Saehee. Kau perlu berhati-hati dengan tingkah Jungkook yang seperti ini, ya. Dia kadang-kadang sangat menyusahkan." ujar Jungsuk.

Apa hubungannya dengan Saehee? Tolonglah.

"Baiklah Appanim, saya akan memperhatikannya." jawab Saehee mwnunduk tanpa menatap Jungsuk sama sekali.

"Dan satu lagi, Saehee. Kau tidak perlu memanggil kami Eommanim atau Appanim, kau boleh memanggil kami sama seperti yang Jungkook sebutkan." tutur Jihye lembut.

Jujur saja otak Saehee rasanya tidak sanggup berpikir keras. Perihal panggilan, baiklah. Tetapi ini urusan lain seperti urusan sekolahnya. Hei! Saehee ini masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah atas, dan bisa-bisanya seorang Jungkook yang notabenenya adalah seorang CEO mengajaknya menikah. Tetapi Saehee mungkin lupa akan satu hal, remeh temeh soal menikah kan hanya sebuah sandiwara belaka.

Pun rapian gigi Saehee baik anggota keluarga Jungkook telah selesai mengunyah suapan demi suapan makan malam. Menggiring rasa engah ketika Jihye malah menyandarkan tubuh dengan amat kesusahan. Biasa, tubuh gembil ibu hamil cukup sensitif. Apalagi Jihye. Rasanya sewaktu mengandung Jimin 30 tahun yang lalu tidak sesensitif yang ia rasakan sekarang. Boleh jadi ini karena faktor usia, kan?

Netra Saehee tampak berpendar karena cahaya lampu ketika dirinya melihat Jihye yang bersandar dengan jengah di dudukan meja makan tepat di seberang ia duduk. Membuat atensinya teralihkan pada perut buncit sang calon ibu mertua.

"Maaf Eom-, maksduku Mama. Apakah mengandung anak itu sakit?" tanya Saehee pelan dengan akhiran sedikit berdeham.

Sukses membuat atensi Jungkook menganga melihat pada Saehee. Bahkan Jimin juga ikut menoleh sembari terlihat ingin berkomentar.

"Hei bocah, kau memangnya tidak belajar, ya?" tanya Jimin spontan membuat atensi keluarganya lagi-lagi beralih pada Jimin. Membuat pria 31 tahun itu terbungkam sendiri.

Sedangkan perhatian Jungsuk juga tak sengaja menyantai pada gadis yang ia tahu akan menjadi calon menantunya, sambil menenggak habis air putih miliknya yang kira-kira baru ia minum separuh.

Namun, tiba-tiba Jihye menyambar dengan antusias, "Sakit sih tidak, nak. Tapi ketika Mama mengandung Jimin dulu, rasanya sangat kesusahan karena baru pertama kali, tetapi lebih sensitif yang kali ini."

"Mama kalau yang susah-susah saja nembaknya padaku." celetuk Jimin melepas beberapa kancing kemejanya bagian atas. Gerah katanya.

Jihye terkekeh, "Itu karena kau anak pertamaku,"

Bersenyum-senyum sendiri melihat keluarga berceletuk ria sepertinya menyenangkan bagi Jungkook. Belum lagi Saehee sepertinya juga tidak terlalu canggung lagi setelah terjadinya makan malam ini. Tatapannya juga sulit beralih dari menatap gadis berumur 19 tahun itu. Bahkan ia belum pernah membawa seseorang yang seharusnya ia bawa ke rumahnya.

"Jeon, Papa sarankan agar besok kau ke desa, ke rumah Nenek." ucap Jungsuk.

Jungkook menatap malas, "Ke Gamcheon? Untuk apa, Pa?"

"Meminta doa dan restu dari Nenekmu dan Neneknya Jimin." jawab Jungsuk singkat.

Lantas Jungkook terlihat merotasi bola matanya malas, "Tidak mau ah, Pa."

Ada alasan kok, mengapa Jungkook berlagak malas ingin mengunjungi rumah neneknya di desa warna-warni Gamcheon. Bukan hal yang begitu besar juga, hanya saja hal tersebut berpengaruh sekali pada mood Jungkook yang sering labil.

"Kepalaku pusing karena harus melihat warna yang berbeda setiap melihat rumah-rumah di sana. Belum lagi Nenek pasti menyuruhku melakukan hal yang tidak-tidak." terang Jungkook.

Y A D O N Gحيث تعيش القصص. اكتشف الآن