❄️ BAB 15 - Sultanisme

Start from the beginning
                                    

"Maksudnya kalau bakda zuhur aku bisa antar sampai ke flatmu."

"Kamu capek abis UTS. Nggak perlu wara-wiri."

"Lusa aku prei. Tidak ada UTS. Bisa aku pakai untuk istirahat. Jadi nggak masalah kalau besok aku sempatin antar Astrid ke Ankara."

"Beneran nggak apa-apa?"

Aku mengangguk.

"Kalau nggak apa-apa ya aku seneng."

"Jadi besok mau nungguin di flat sampai aku selesai. Atau kalau mau ikut ke kampus juga tidak apa-apa. Biar kalau sudah kelar bisa langsung berangkat."

"Mm, aku ikut ke kampus aja deh."

"Ya udah. Kemarin nggak bawa banyak salin, kan?"

"Enggak, cuma empat setel baju."

"Jaket nggak bawa?" tanyaku.

"Cuma satu ini saja yang lagi dipakai."

"Aku ada satu jaket wol di lemari. Besok bawa Astrid, ya?"

"Kenapa harus aku bawa? Kan aku juga punya."

"Ya bawa aja. Buat ganti-ganti. Keren loh sepertinya kalau Astrid yang pakai. Sekarang lagi sering dingin kalau malam. Nggak tahu karena cuaca. Atau cuma karena kita yang jauhan."

Astrid terdiam sesaat. Bayangan lampu-lampu kota menerpa dari luar. Menyoroti kami berdua yang sedang duduk rapat tanpa sekat.

"Perjalanan ini akan sampai ke mana ya, Mas?" tanya Astrid. Ini bukan tentang bus yang sedang kami tumpangi.

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung sopirnya dan penumpangnya."

"Aku cuma penumpang di kehidupanmu?"

"Iya. Tapi penumpang yang duduknya di sebelah sopir."

Astrid seperti tersenyum, "Maaf semalam aku cuma bercanda. Nggak hamil kok."

"Ya jangan dulu, lah."

"Tapi kamu sudah pengin punya baby?"

Aku tidak langsung menjawab, "Kalau ditanya pengin ya pasti pengin. Tapi sekarang dalam keadaan yang tidak memungkinkan. Kita sedang dalam rute yang menuju destinasi kehidupan mendatang."

"Iya."

"Aku harus merencanakan banyak hal. Segalanya harus well prepared sebelum kita benar-benar niat punya anak. Ini masih panjang. Bukan berarti aku sedang panjang angan-angan. Tapi ini sebagai doa saja semoga yang seperti ini, kita berdua, bisa sampai lebih lama dari napas kehidupan. Jalani saja yang sekarang. Pacaran. LDR-an. Kangen-kangenan. Seru juga menurutku." Aku tertawa kecil.

"Kalau aku sudah selesai S2 deh."

"Sesiapnya Astrid saja. Yang penting jaga kesehatan."

"Kamu suka kangen rumah, Mas?"

"Selalu. Abi, Bu Farah, Mas Mahfuz, santri-santri. Terutama nuansa pesantren yang kadang masih suka terbawa mimpi. Belum lagi majelis sholawat yang dulu suka aku kunjungi kalau lagi ada yang dekat. Semuanya terlalu membekas. Aku besar di sana. Seperti sarang burung dan sekarang aku harus belajar terbang dan cari makan sendiri. Bedanya sekarang udah ada kamu."

"Aku masih suka mikir belum bisa jadi lebih pantas untuk punya kamu."

"Kenapa?"

"Kamu tahu, kan. Tapi sekarang aku sudah banyak belajar. Aku memulainya dari tempat yang benar. Kamu yang mengarahkan. Oh, iya. Nazam-nazam kitab Aqidatul Awam sudah aku hafal."

RENTAN: Semusim di Praha [OPEN PO]Where stories live. Discover now