❄️ BAB 14 - Fenomena

Start from the beginning
                                    

"Kenapa? Bukannya menikah di usia muda itu keren?"

"Aku tidak pernah merasa keren sama sekali hanya karena sudah menikah," jawabku tegas, "Yang diinginkan Paman Fikar bukan supaya kamu lekas menikah. Bukan, Yaz. Aku justru melihat kalau dia cuma ingin anaknya bisa lebih mendewasai cara bersikapnya. Kamu tidak melihat kemauan itu?"

"Soal itu aku tahu. Tetapi ini keinginanku."

"Kamu punya apa?" kali ini aku berani bertanya lebih terus terang, "Kamu sudah siap menafkahi istrimu? Kamu sudah siap diributi istrimu? Atau diteriaki karena cemburu? Dan lain-lain? Banyak sekali. Ini bukan perkara sederhana. Nikah muda memang terlihat sangat dreamy, tapi kenyataannya tidak begitu. Kamu mau percaya pada siapa? Aku yang sudah mengalaminya, atau keinginanmu sendiri yang hanya sebuah ... keinginan semata?"

Ayaz kembali terdiam.

"Kamu tahu tidak fenomena ini pernah terjadi di negaraku? Dan aku salah satu dari bagian fenomena itu. Tetapi dengan perspektif yang lebih masuk akal."

Dia menggeleng. Menegakkan punggungnya dan menatap lurus ke depan dengan tanpa fokus.

"Aku bukan sedang mencibir, tapi aku akan membicarakan satu fenomena. Agak sensitif. Tapi ini untuk kita berdua saja," kataku mengawali, "Aku punya beberapa teman dari tempat bimbingan belajarku dulu. Ada yang laki-laki dan ada yang perempuan. Sekarang mereka juga sama sepertiku. Berkuliah. Lama tidak ketemu atau menyapa lewat media sosial. Di antara mereka ada yang berubah. Dari yang dulunya tidak berkerudung, jadi berkerudung. Dari yang kehidupannya terkesan cukup sekuler sampai sekarang berubah jadi terlihat agamis. Mereka hijrah. Konon."

"Aku senang mereka berubah," kataku lagi, "Tapi aku kurang setuju dengan cara mereka memulai dan menjalaninya."

Ayaz menoleh padaku, "Kenapa kamu kurang setuju dengan jalan hidup seseorang yang mereka pilih sendiri?"

"Aku tidak punya hak, kan?"

"Ya."

"Itu kenapa aku menyimpan ketidaksetujuanku untuk diriku sendiri. Aku tidak mengatakannya ke mereka atau siapa pun. Dan barangkali kamu jadi salah satu yang pertama kali mendengar komentar ini dari diriku sendiri."

Ayaz seperti bersiap untuk menyimak.

"Sekali lagi aku tegas turut senang dengan jalan hidup yang mereka ambil setelah itu. Setidaknya ada fase baru yang mengantar mereka pada satu kesadaran akan hidup berdampingan dengan agama. Tapi, Yaz. Ada bagian yang membuatku sedih. Kadang ingin menangis juga kalau boleh jujur."

"Kenapa?"

"Mereka seolah melompati banyak halaman."

Ayaz terdiam.

"Mereka tidak memulai dari awal. Tapi seolah langsung memulai pada bab-bab yang menurut mereka menarik saja. Dari sekian banyak kitab-kitab fiqih yang pernah aku pelajari, nyaris semuanya dimulai dengan bab thaharah atau bersuci."

"Lalu apa yang keliru?"

"Aku tidak bisa menghakimi bahwa mereka keliru atau apa. Tapi kenyataannya setelah aku berbicara dengan mereka, aku menemukan satu selek yang jelas sekali ada. Mereka melompati bab-bab itu. Seolah dalam fiqih dan urusan agama yang terpenting menurut mereka hanya di bab munakahat saja. Bab tentang pernikahan. Mereka seolah mendadak ngelotok sekali dengan materi pernikahan. Tapi nol besar ketika ditanya fiqih-fiqih dasar. Di mana-mana, di media sosial apa saja, yang mereka bicarakan hanya perihal pernikahan.

Mereka mulai mencela orang yang berpacaran. Kalau niatnya mengingatkan dan meluruskan, bukan seperti itu caranya. Goals hidup mereka seolah langsung ingin menikah. Seakan takut sekali kalau belum menikah. Apa yang mereka takuti? Hawa nafsunya sendiri atau pandangan sosial?

RENTAN: Semusim di Praha [OPEN PO]Where stories live. Discover now