11. Bisa Menerima Apa Adanya

Start from the beginning
                                    

Ferinda

[what? Masih aja lo percaya sama dia. Gue nggak yakin dia juga suka sama lo. Menurut gue, dia dulu deket sama lo tuh karena anak SMADA Surakarta. Jadi lo kesannya keren meski penampilan lo nerd. Lo tahu sendiri kan dia sekolah di SMA swasta yang nggak terlalu terkenal. Gue saranin nggak usah berhubungan dan ngarepin dia lagi]

Haya ingin menyangkal pesan terakhir yang didapatkannya dari Ferinda itu. Namun urung, Haya memilih tidur saja. Dia merasa percuma berdebat dengan temannya itu.

*****

Minggu Sore nanti Haya akan bertemu sang pujaan hati. Dia merasa senang sekali dan juga sudah meminta izin pada Prem sebelumnya. Siang ini dia tidak bisa menahan kegembiraannya dan sempat senyum-senyum sendiri saat mengambil air minum di dapur.

Bik Marni yang sedang memasak menu terakhir untuk nanti malam merasa heran dengan sikap aneh gadis itu. Saat Haya berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, Bik Marni bertanya, "Neng Haya ini ndak apa-apa kan?"

"Nggak apa-apa Bik," jawab Haya

"Kok mesam-mesem dewe? (Kok senyum-senyum sendiri?) tanya Bik Marni lagi sambil menyentuh dahi Haya.

"Saya lagi senang, Bik. Nanti mau ketemuan sama teman," sahut Haya jujur.

"Sudah dapet izin dari majikan, belum?" tanya Sulastri menyela setelah muncul begitu saja dari luar dapur. Sulastri mengelap keringat di dahi dan leher karena selesai membersihkan halaman dan mengepel teras.

"Sudahlah. Aku nggak akan ngulangin kesalahan yang sama," sahut Haya sedikit geram dengan Sulastri setelah kejadian kemarin.

"Semoga, itu benar dan kamu nggak dalam masalah lagi. Atau lebih parahnya dipecat," ujar Sulastri kemudian langsung pergi meninggalkan Bik Marni dan Haya begitu saja setelah dipelototi Bik Marni.

"Memangnya mau ketemuan sama siapa?" tanya Bik Marni ketika Sulastri sudah tidak terlihat lagi.

"Teman, Bik."

"Maksudku, laki-laki apa perempuan?"

Dengan senyum malu Haya menjawab, "Laki-laki, Bik."

"Hati-hati kamu dengan laki-laki Jakarta. Apalagi yang baru kamu kenal. Mereka berbahaya."

"Temanku ini sudah lama kenal kok, Bik." Kemudian Haya menceritakan semuanya pada Bik Marni. Dia meyakinkan bahwa temannya itu tidak berbahaya karena sudah lama kenal.

"Nduk, kalau menurut Bibik kamu juga harus menguji dia. Kira-kira dia bisa nerima kamu apa adanya atau ndak. Dari situ kamu bisa tahu dia beneran suka kamu atau ndak. Kamu juga bisa nilai dia pantes buat kamu atau ndak."

Haya menerawang langit-langit sejenak. Dalam benaknya membenarkan penuturan dari Bik Marni.

***** 

Haya mencuci tangannya di wastafel toilet mall. Dia sempat grogi dan bingung harus berbuat apa untuk mengetes Irfan. Peringatan Bik Marni terus membayangi pikirannya. Dengan sadar dia membenarkan perkataan pembantu Prem itu.

Haya ingat meninggalkan Irfan di food court sendiri dan memutuskan untuk segera kembali. Berharap sesampainya di food court dia mendapatkan ide untuk menguji gebetannya itu.

"Hai kamu. Kurcaci," panggil seorang wanita yang familiar pada Haya.

"Kenapa? Kamu masih ingat aku, kan?" Haya ingat, wanita dengan tunik berwarna merah itu dia temui di kantor Prem. Namun, dia lupa siapa nama wanita bar-bar yang mencium Prem dan mengancam dirinya.

"Kamu pastinya sudah lupa dengan peringatanku bebebrapa bulan lalu. Sampai kamu mulai dekatin Zeeshan," kata wanita berbaju merah itu. Haya menelan ludahnya sendiri. Dalam hati dia tidak berniat mendekati Zeeshan sepupu Prem. Yang ada malah pria itu datang sendiri padanya.

"Maaf, Mbak. Saya nggak deketin Pak Zeeshan. Lagian kami baru ketemu kemarin dan cuman kenalan aja. Nggak lebih," sahut Haya setelah ingat nama wanita itu adalah Silvia.

"Alasan aja kamu. Kalau kamu suka Prem yaudah itu aja. Nggak usah deketin cowok lainnya. Lha ini kamu nggak cuman deketin Zeeshan, tapi kamu juga kecan sama cowok lainnya di sini," cecar wanita yang baru diingat namanya oleh Haya.

"Jujur, Mbak. Saya nggak ada hubungan khusus dengan Pak Prem maupun sepupunya itu." Silvi malah tertawa sarkas sehingga membuat Haya bingung dan gemetar.

"Apa kamu pikir aku percaya?" Silvi berhenti tertawa dan menunjukkan tatapan serius yang membuat Haya semakin bingung dan tidak mengerti.

"Stop deh, Mbak! Ini bukan sinetron. Ini kenyataan, saya sudah berkata jujur, hubungan saya dan Pak Prem hanya sebatas hubungan atasan dan bawahan. Apalagi Pak Zeeshan yang baru saya kenal. Sepertinya kemarin hanya menyapa saya saja. Lha Mbak sendiri nggak jelas. Ngejar-ngejar Pak Prem tapi sekarang katanya cuman suka Pak Zeeshan."

"Kamu yang stop kebanyakan nyerocos!" seru Silvia dengan nada lebih tinggi.

"Terserah Mbak Silvie mau percaya saya atau nggak. Pak Prem dan Pak Zeeshan memang lebih tampan dari pria yang kencan sama saya hari ini. Tapi cuman dia yang saya suka, Mbak." Wajah Silvi tampak melunak.

"Tapi dia nggak suka sama kamu. Aku bisa ngeliat dan nebak dia itu nggak nganggep kamu siapa-siapa," kata Silvia dengan nada pelan dan hampir berbisik yang kontras dengan sebelumnya. Haya merasa wajahnya seperti ditampar. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Sedangkan Silvia meninggalkannya begitu saja.

"Emang kamu kerja bagian apa? Admin atau customer service? Sampai gaji kamu lebih dari cukup untuk bayar kos dan biaya hidup di Jakarta." Haya memang tidak berterus terang kalau dia tinggal dengan bos-nya. Dia juga belum menceritakan maupun menjelaskan detil tentang pekerjaannya. Itu karena awalnya Irfan yang selalu memasang sikap sok cool tidak menanyakannya.

"Pekerjaanku, eh maksudku bagianku lebih rendah dari yang kamu sebutin." Perkataan Bik Marni dan Silvia saling tumpang tindih di benak Haya. Pertanyaan siapa yang sebenarnya disukai Silvia juga mengusiknya.

"Maksudnya kamu jadi office girl atau cleaning service? Nggak kaget sih aku, itu posisi yang pas buat lulusan SMA kayak kamu." Haya berpikir bahwa mungkin ini saatnya menguji Irfan. 

"Bukan, di sini aku cuman pembantu," sahut Haya sambil nyengir lebar. Dalam hatinya terasa sakit mengingat perkataan terakhir dari Silvia.

Bersambung.

Truthfully Love (On Going)Where stories live. Discover now