Fine

6 0 0
                                    

Irene meletakkan teh jahe panasnya di meja dekat jendela, menarik sebuah kursi cafe mendekat. Hujan diluar masih saja turun tanpa mengurangi volume airnya sejak 10 menit yang lalu. Suasana tepat. Kebetulan sekali. Begitu pikirannya bergumam. Ia meraih sebuah pena dan buku tulis kosong. Membuka halaman pertama lalu menuliskan beberapa kata. Hanya sebuah kalimat. Lalu pikirannya melayang jauh pada kejadian yang lalu tanpa perintah.

Apa indikator dari keberhasilan melupakan sosok seseorang? Tak ingat namanya? Tak ingat alamat rumahnya? Tak ingat info pribadinya? Tak ingat lagi barang barang kesukaannya? Bukan kurasa. Semua tak seperti itu. Aku memiliki indikator sendiri dalam sebuah keberhasilan melupakan seseorang. Namaku Irene. Kisah ku tak serumit drama korea yang sering kalian ikuti setiap episodenya. Dia seseorang yang berhasil masuk ke dalam tiap sektor kehidupanku. Pikiranku terkunci seluruhnya padanya. Sampai tahap itu semuanya baik baik saja. Kurasa pun memang seperti itu. Kami akan baik baik saja dengan sesuatu yang seperti ini sehingga akan sampai pada tahap serius. Aku padanya, dia padaku.

Tapi peribahasa roda selalu berputar ternyata benar – benar terjadi. Dia meninggalkan ku dengan segala jilidan tebal kenangan yang ada. Dia memilih teman se kampusnya yang lalu. Lalu aku? Jangan tanyakan keadaanku. Aku melalui masa kelam hampir cukup lama. 3 tahun. Segala tentang dirinya cukup membuatku bergetar ketakutan. Aku seperti mengidap penyakit trauma akut. Namanya, dan tentangnya tak bisa kuhadapi dengan mudah. Aku benar – benar menghindari berinteraksi dengannya dan apapun tentangnya. Setahun yang terparah. Berbagai macam cara yang disarankan oleh kawan – kawan ku tak mempan. Aku tak sanggup lagi.

Seiring dengan berjalannya tiga tahun tersebut aku berhasil melupakannya sedikit demi sedikit. Trauma itu perlahan pudar. Sosok itu terhapus dalam melodi waktu. Pikiran kosong akan dirinya kini terpenuhi dengan aktivitas aktivitas padat yang selalu kuusahakan tiap harinya. Aku sibuk. Tentu saja. Itu sangat membantu usahaku. Aku tahu aku berhasil melupakannya. Kusadari dalam hatiku tak ada lagi getar aneh, tak ada lagi degup cepat tak beraturan ketika berpikir tentangnya, bahkan berinteraksi dengannya. Aku tahu. Itu indikator keberhasilanku. Lalu, apakah kini tak ada lagi yang mempunyai tempat special di sudut hati ini? Tak ada kurasa, aku belum menemukannya. Aku tak secepat itu untuk mempercayakan tempat itu lagi pada sembarang orang. Tapi aku yakin, pada saatnya aku akan menemukan seseorang itu, yang dapat menjadi pusat putaran dunia ku. Matahariku mungkin? Aku menertawakan hatiku yang tiba – tiba menjadi mellow. Suasana ini, aku tak seberapa suka.

Irene segera menghabiskan teh jahenya yang sudah dingin. Melarikan pandangan pada jendela café lalu menyunggingkan senyum kecil. Hujan telah berhenti. Ia berkemas, memasukkan handphone dan powerbank ke dalam tas dengan cepat lalu barang – barang lainnya. Tangannya berhenti. Memandangi kertas yang urung dimasukkan, sebuah kalimat sederhana tercipta disana. Irene menghela nafas panjang, kemudian berdiri keluar dari café.

"aduh"

"ah maafkan aku"

Laki laki didepannya yang menabrak bahunya menunduk, memungut kertas dan pena yang jatuh dari tas Irene. Menyerahkan kembali dengan senyum.

"maaf ya.. eh, apakah kau Irene? Penulis buku Reminiscence itu?"

Irene mengangguk. Laki – laki dihadapannya mengulurkan tangan sambil tersenyum.

"aku Dean, aku menyukai tulisanmu"

Irene menyambut uluran tangan itu lambat, sedikit tercekat pada senyumnya, lalu ia nyengir kecil.

'oh, apalagi ini?'

Kau, hujan, dan teh jahe; aku berhasil menghapusmu...

MemoryWhere stories live. Discover now