Bukan Raisa

864 81 11
                                    

Haikal menyeret langkah menuju peron arah Jakarta. Stasiun Citayam dipenuhi lelaki dan perempuan yang sudah siap menghadapi hari. Seorang perempuan berlari tergesa di sepanjang underpass begitu terdengar pemberitahuan bahwa kereta menuju Tanah Abang akan memasuki stasiun.

Dimasukkannya earpiece ke celah telinga. Dia berniat melanjutkan mendengar audio journal yang terputus ketika harus memarkir mobil. Setelah dua hari tak ada kejadian berarti, rekaman tentang hari ketiga sebelum hari ini menarik perhatian.

"Akhirnya aku ketemu sama dia. Anna yang kamu ceritakan hari Senin yang lalu. Gila! Dia benar-benar mirip Raisa. Kamu benar, cincinnya itu, benar-benar bikin penasaran. Aku ingin menanyakannya tapi dia bilang, dia ngga suka ngomongin hal-hal pribadi dengan orang asing. Gimana? Apa kita perlu mendekatinya supaya bisa menanyakan perihal cincin itu dengan lebih santai?"

Sebaris napas dihela perlahan. Haikal menaiki tangga satu demi satu. Mendekati seorang gadis? Apa itu perlu? Hanya demi memuaskan penasaran akan sebuah cincin. 

Diusapnya cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan. Ujung jempolnya mengeja grafir bertuliskan Raisa. Memang seperti apa cincin yang dikenakan gadis itu?

"Tapi, kalau dipikir-pikir, kenapa penasaran sekali dengan cincinnya. Model cincin seperti itu, kan bukan model yang terlalu aneh. Model cincin kawin yang sangat biasa malah. Hanya satu lingkaran platina dengan sebuah berlian di tengah. Siapa pun mungkin saja memilikinya. Seperti pernah kamu bilang, dekat-dekat dengannya sungguh membuat khawatir. Khawatir menumbuhkan cinta. Padahal yang kita lihat adalah Raisa, bukan Anna. Itu tidak akan adil buatnya."

Kereta jurusan Tanah Abang sedang berhenti menunggu seluruh penumpang masuk. Haikal menjejakkan kaki di peron kemudian mencari satu tempat yang cukup terlindung dari sengatan cahaya matahari pagi ini.

"Ah, sebelah hatiku masih berharap Raisa masih hidup. Aku tak bisa menyangkalnya. Andai saja gadis itu benar-benar Raisa. Aku akan memeluknya erat biar dia tak bisa pergi lagi. Aku merindukannya."

Dipijatnya dua mata yang terasa agak menghangat. Video tadi pagi menyebutkan, sudah lebih 1000 hari berlalu sejak kepergian Raisa. Tapi bagi Haikal, dia baru saja kehilangan istri tercintanya pagi ini.

"Kuputuskan untuk mengenakan cincin lagi. Bukan karena tak mau move on, tapi aku mengambil risiko buat kita. Jika dia melihat cincin ini, dia pasti akan melihat kemiripan dengan yang dipakainya. Jadi aku tak perlu bertanya lagi. Kamu boleh melepasnya besok. Tapi apakah kamu yakin tidak mau mencari jawaban? Siapa tahu saja, gadis ini adalah Raisa, bukan? Meski kemungkinannya tak sampai satu persen, aku lebih bahagia jika kita berhasil menemukan jawabannya."

Haikal kembali mengusap cincin di jari manisnya. Ternyata ia sudah pernah melepaskan cincin ini dan baru mengenakannya lagi tiga hari yang lalu.

Dikecupnya samar cincin di jari manis itu. Kenangan tentang hari pertama pernikahan mereka berkelebat cepat.  

"Nanti kalo kamu liat ada cowok ganteng tidur di tempat tidurmu, periksa jarinya. Apa dia pake cincin yang sama denganmu?"

Cincin yang sama. Bisakah ini menjadi penanda?

Pemberitahuan dari petugas stasiun mengalihkan perhatian. Haikal menekan tombol pause kemudian bersiap menanti kedatangan kereta. Angin yang disemburkan badan kereta membuatnya sedikit terpejam. Tak perlu waktu lama, orang-orang langsung berdesakan merangsek masuk ke celah apa pun yang bisa dimasuki.

Dipindahkannya posisi sling bag ke bagian depan tubuh. Lalu ikut menghantam kerumunan, membuat celah untuk dimasuki. Di saat seperti ini, bukan tempat duduk yang dicari. Selama ada ruang yang cukup untuk berdiri dua kaki, maka seluruh tubuh pasti dapat dimuat gerbong kereta.

Beruntung sekali, tangannya berhasil menggapai satu ring untuk bergantung. Lumayan untuk menahan keseimbangan tubuh meski tak dapat disebut mengurangi kelelahan kaki. 

Dinyalakannya lagi audio journal yang tadi terjeda. Tak ada yang terlalu istimewa empat hari yang lalu. Hanya acara makan-makan akikahan salah seorang staf Resource Centre yang sedang cuti melahirkan.

"Kalau Raisa masih ada, kita mungkin juga sudah menggelar acara akikahan, ya."

Haikal tersenyum mendengar suara tawanya sendiri. Mungkin, bisa jadi. Bayangan Raisa kembali bermain di benaknya. Kerinduan meliputi setiap inci pori-pori.

"Pak Haikal?" suara itu seketika membuatnya terbelalak. Sebentuk wajah tersenyum padanya.

Raisa? Tidak! Tak mungkin Raisa!

"Bener, kan? Pak Haikal?" gadis di sampingnya kembali bersuara. Suaranya, Haikal merasa sedang mendengar Raisa. Wajahnya, seolah Raisa hidup kembali. Bahkan matanya yang menyipit saat tertawa persis sama dengan Raisa.

Haikal mengangguk, berusaha tersenyum.

"Saya hampir ngga ngenalin, loh. Soalnya Bapak ngga pake baju kantor."

Dia pegawai kantor juga? "Bu Anna, ya?" Haikal berusaha menebak.

Gadis itu tertawa. "Kan saya udah bilang, ngga usah pake Bu. Saya kan bukan ibu-ibu. Anna aja, Pak. Lagian kayanya saya jauh lebih muda dari Bapak." Dia tersenyum. 

Senyumnya menyihir Haikal. "Anna." Lelaki itu mengangguk antara bergumam atau menyapa. Dia benar-benar seperti Raisa yang hidup kembali. 

Haikal membenamkan wajah dalam lekuk lengan yang menggantung. "Kamu benar. Ini gawat. Gawat sekali. Kita bisa benar-benar jatuh cinta padanya."

Di stasiun Depok, jumlah orang yang masuk bertambah banyak. Haikal terdorong-dorong hingga hampir saja tangannya terlepas dari ring gantungan.

Tangan Anna terlepas dari tempat berpegang. Tubuhnya oleng. Saat kaki sudah menapak lagi, ring gantungan itu sudah diisi tangan yang lain. Hmmpfft! Nasib!

"Pegangan di tanganku," bisik Haikal tepat di ceruk telinga Anna.

"He?"

Diraihnya tangan kanan Anna untuk diletakkan di lengannya yang masih menggenggam ring gantungan.

"Makasih," lirih suara Anna nyaris tertelan deru kereta.

"Sama-sama." Haikal melirik jemari yang melingkar di lengan. Jari manisnya mengenakan cincin yang dibicarakan dalam audio journal. Benar-benar mirip sekali. Pantas saja menerbitkan rasa penasaran.

Dirasakannya tubuh Anna makin lama makin menempel di dada. Haikal merasa jantungnya hampir copot tapi gadis itu tampak sangat tenang. 

Dia melirik Anna dan terkejut bukan kepalang. Gadis itu memejamkan mata, tertidur seraya bersandar di dadanya.

Haikal merasa de ja vu. Dasar Putri Tidur! Dia bergumam dalam hati.

Tidak! Sebentar!

Diliriknya lagi Anna yang masih tenang dalam tidur. Dadanya naik turun samar menandakan napas yang lembut teratur.

Otaknya berpikir keras. Tidur di mana saja dengan cepat adalah kebiasaan Raisa yang pertama kali ia kenali. Bagaimana mungkin gadis ini juga punya kebiasaan yang sama? Kalau begini, kemiripan mereka jadi terlalu sulit untuk diabaikan.

Kereta sedikit berdecit sebelum berhenti. Kelopak mata Anna terbuka sedikit namun segera mengatup lagi. Badannya agak terhuyung hingga Haikal refleks menahan pinggang gadis itu.

Pegangan tangan Anna telah lepas sepenuhnya. Sekali lagi Haikal membenamkan wajahnya pada lingkar lengan yang tergantung. Benaknya sulit menolak tubuh gadis ini. Segalanya terlalu mirip dengan Raisa. Bahkan lingkar pinggang mereka pun tak berbeda.

Di Manggarai, Anna baru benar-benar membuka mata. Mukanya merah menahan malu karena tertidur sambil bersandar pada seorang lelaki yang bukan siapa-siapa. "Maaf, Pak. Saya ketiduran," ucapnya menyelipkan helaian rambut ke balik daun telinga.

"Ngga masalah," Haikal menjawab santai. Di dalam, otaknya tak bisa santai. Bagaimana mungkin ada dua orang memiliki kemiripan sebegini banyak. Andai gadis ini tidak memperkenalkan diri sebagai Anna, dia pasti akan langsung memanggilnya Raisa. 

Harus ada penjelasan logis untuk ini! Benaknya menjerit. Apakah mereka saudara kembar yang terpisah atau bagaimana?


Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang