PROLOG

31 6 3
                                    

Untuk Terrence, sahabat terbaikku dikala bersedih

.

.

.

Malam Natal, 24 Desember


Jika ada keajaiban di dunia ini, maka aku akan berharap menemukan alat pemutar waktu. Aku ingin kembali di hari sebelum aku di lahirkan. Jika aku di beri kesempatan untuk memilih tempat untuk di lahirkan, mungkin aku tidak akan memilih keluarga ini, atau jika boleh, mungkin akan lebih baik jika aku tidak perlu di lahirkan saja. Dengan begitu, aku tidak perlu merasa menjadi makhluk yang paling menyedihkan di dunia.

Di perlakukan dengan semena-mena, di anggap begitu kotor seperti tong sampah beraroma busuk yang di tinggali belatung. Siapa pun orangnya, aku yakin dia sudah memilih untuk bunuh diri. Tapi, Tuhan memberkatiku dengan sebuah kesabaran yang luar biasa, hingga aku masih bertahan di usiaku yang hampir 17 tahun ini. Aku bersyukur dengan itu.

Terkadang aku merasa sangat lelah dengan semua ini, sekeras apapun aku berdoa sepertinya tidak ada satu pun yang terwujud. Apakah Tuhan itu ada? Apakah Tuhan tidak mendengar suaraku? Atau benarkah jika aku hanyalah sebuah aib, yang seharusnya tidak di lahirkan hingga Tuhan pun enggan melihatku?

Aku sudah lelah berharap, lelah dengan luka ini, dan juga lelah untuk menangis. Hari demi hari aku lewati dengan sabar, namun bukannya lebih baik tapi aku hampir menjadi mayat hidup yang tidak dapat merasakan apa pun. Senang, sedih, kecewa, aku sudah lupa bagaimana rasanya.

Kehidupanku terlalu buruk untuk di ceritakan, bahkan menulis ini pun rasanya begitu memalukan dan sakit.

Setiap kali aku melihat diriku sendiri di kaca, rasanya sangat sedih. Semirip apa aku dengan Ayah, sampai Ibu membenciku seperti ini. Jujur saja, aku sama sekali tidak tahu seperti apa wajah Ayahku sendiri, kenapa dia tidak bersama dengan kami sekarang pun, aku juga tidak tahu. Yang aku tahu Ayah pergi meninggalkan kami saat aku berusia satu tahun. Ibu sudah membuat peraturan untuk membuatku tidak membicarakan atau pun mencari tahu soal Ayah.

Jujur saja meski begitu, jauh di lubuk hatiku, di saat yang tidak menyenangkan seperti ini aku selalu berharap Ayahku adalah seseorang yang jauh lebih baik dari Ibu, sehingga mungkin aku bisa kabur dan memilih hidup bersamanya.

Tapi tahukah engkau, aku tidak ingin dan tidak pernah sekalipun berharap untuk menjadi seseorang yang kau benci. Aku ingin kau tersenyum ketika berbicara padaku, dan menurunkan nada bicaramu seperti kau berbicara dengan Soo Jin.

Tapi, berharap kau akan menatapku saja sepertinya hanya doa yang mengawang-awang di atas awan, terombang ambing angin dan tak akan pernah sampai di pintu doa.

Untuk terakhir kalinya, di malam natal ini jika Tuhan benar-benar ada, aku mohon kepada-Nya agar bersedia memberiku seorang malaikat pelindung, yang akan melindungiku kapan pun dan dimana pun aku berada, yang akan menjauhkanku dari kesukaran.

Dan untuk Ayahku, yang aku tidak tahu seperti apa kau yang sebenarnya, aku harap kau baik-baik saja dan hiduplah dengan baik. Suatu hari nanti, aku harap kita bisa bertemu dan melihat seberapa miripnya kita berdua.



Yang mengharapkan keajaiban,

Di taman Seoul di temani lampu dan dentang lonceng gereja,



Mika.

RUNAWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang