🍂 Prolog 🍂

152 16 1
                                        

Aira memberikan sebuah buku bersampulkan plastik berwarna coklat kepada salah satu seseorang yang datang di hari keempat puluh mengenang mendiang adiknya.

"Saya ingin kamu meneruskan langkahnya," Ucapnya. "Seperti apa yang ia katakan dibuku, tak ada kata yang membuatku patah semangat,"

"I––iya.."

"Saya tak meminta banyak darimu, kecuali menjaga buku ini dengan baik." Ucapnya. "Saya rasa kamu telah berbeda dari waktu-waktu sebelumnya. Dia hanya ingin kamu tersenyum."

"Baik.. Saya mengerti.."

Aira menangis memeluk laki-laki didepannya sambil memegang buku yang sama. Sedangkan, laki-laki itu tetap mematung dengan air mata yang terus mengalir deras dari sana.

Aira terus mengeluarkan air matanya keras. "Berhentilah bersedih, berhentilah menangis, berhenti.."

***

Sudah satu bulan kepergianmu, aku sendiri tak bisa egois menahanmu disini. Mungkin kamu akan tersiksa akan hal itu.

Mungkin sekarang kamu sudah bisa makan, mungkin sudah bisa berjalan, mungkin sudah bisa berbicara sebanyak yang kamu mau, mungkin kamu masih main biola disana? Dan, mungkin kamu sedang tersenyum bebas disana. Aku tidak tahu, tapi aku bahagia ketika apa yang ku katakan itu adalah hal yang benar.

Semenjak kepergianmu, satu hal yang paling mengubah hidupku adalah, aku tak bisa memotret seluruh momen-momen yang pernah kita lalui.

Semenjak kesehatanmu memburuk, aku mengerti apa artinya hidup, dan mengerti betapa besarnya perjuanganmu agar tetap hidup. Jujur aku bangga.

Semenjak kamu ada, aku rasanya ingin tersenyum sepertimu. Manis, bebas, dan tulus.

***

Ano mengambil buku diari diatas meja belajar di kamar Ina lalu membukanya.

“I'm not Flawless..
Aku seorang perempuan yang cacat.”

Begitulah isi tulisan yang ia baca.


______________________________________















-monmaap aing ga pinter bikin prolog:')

A Slice of Memory.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang