2. Papi Mengomel

4.7K 301 23
                                    

Para siswa yang semula terlihat lemas bahkan nyaris pingsan langsung bugar saat mendengar bel pulang berbunyi nyaring. Belum genap hitungan ketiga kelas sudah nyaris kosong meninggalakan beberapa siswa yang malas berhimpit-himpitan di koridor.

Termasuk aku, bahkan perlengkapan belajar tadi belum juga aku simpan dalam tas. Oat terlihat mengutak atik ponselnya sejenak, mengirim pesan singkat entah pada siapa.

“Aku duluan, ya,” katanya dan kubalas anggukan kecil.

Aku melangkah malas, matahari terasa semakin terik padahal hari sudah beranjak sore. Pedagang camilan pinggir jalan mulai dibuka. Sesekali semerbak aroma foi thong menyeruak dalam penciuman. Aku mampir di salah satu stan, memesan sekitar lima tusuk yang rencananya sebagai teman perjalanan pulang.

Matahari tenggelam, bersamaan dengan kerlap-kerlip lampu jalan dan toko yang mulai menyala. Terkadang masih terlihat segerombol anak berseragam nongrong di cafe atau sekadar duduk di kursi panjang trotoar sembari bercanda ria.

“Aku pulang ...!” seruku lalu melepas sepatu dan kuletakan di rak sebelah pintu.

Daddy Singto duduk di sofa panjang, masih fokus dengan siaran bolanya. Kemudian ia melirik padaku, matanya bergerak-gerak membuat kode yang biasa kami gunakan kalau papi sedang mengamuk.

Aku menyipitkan mata, mengangkat kedua bahu tidak tahu. Seingatku, papi baik-baik saja tadi pagi, dia bahkan masih tersenyum saat menyiapkan sarapan lalu mengelus pucuk kepalaku sebelum berangkat sekolah.

Papi memang begitu, masih memperlakukanku layaknya bocah delapan tahun. Tidak pernah berubah.

Sekitar satu minggu yang lalu, papi mengomel karena daddy yang teledor menyimpan flashdisk berisi berkas untuk presentasi rapat penting kala itu. Alhasil, satu rumah heboh, seluruh orang dituntut membantu meneliti setiap sudut mencari benda kecil sialan itu. Aku bahkan harus melewatkan anime favoritku yang sudah kutunggu setiap minggu.

Rapat nyaris saja berantakan kalau papi tidak menemukan flashdisk-nya di kantong celana kantor daddy yang belum sempat dia cuci dua hari yang lalu. Masih terus mengomel, papi memberikan flashdisk itu dengan segudang wejangan yang aku yakin tidak daddy simak sungguhan lalu tiba-tiba diam saat sebuah ciuman lembut mengecup keningnya. Ew, hanya seperti itu papi langsung bungkam.

“Terimakasih,” bisik daddy yang masih bisa kudengar.

“Lain kali jangan ceroboh!” balasnya sedikit berseru karena daddy sudah masuk dalam mobil. Meskipun begitu, aku masih bisa melihat semburat merah dikedua pipinya yang chubby.

Naasnya, malam ini papi kembali mengomel bukan karena daddy. Melainkan aku.

“Mister Bot menelepon. Katanya kau kembali berulah di sekolah,” jelas papi besengut.

“Hanya masalah biasa, Pi. Mister Bot saja yang melebih-lebihkan,” kilahku.

“Kalau masalah biasa kenapa Mister Bot sampai menelepon. Sudah tiga kali ini mungkin lebih Papi mendapat aduan yang sama.”

“Itu hanya iseng anak muda, Krist,” daddy menyela. Dalam hati aku berterimakasih pada pria itu. Mata kami bersipandang sejenak, mengedip beberapa kali kembali membuat kode.

“Jangan ikut campur, Sing. Aku sedang menasehati Kit,” tukas papi. Oh, damn. Kalau sudah begini akan sangat panjang urusannya.

Makan malamku terasa hambar, hanya sedikit kulahap sebagian hanya kuaduk tanpa selera. Omelan papi masih terus berlanjut. Bahkan daddy juga sudah menyerah ketika kukode untuk memberikan alasan yang tepat agar papi lebih tenang.

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now