Stamina Raka sudah di ambang batas, pandangannya pun sulit untuk fokus. Setiap gerakan yang Raka ambil untuk menjatuhkan Cyrus, pria itu dengan mudah menghindar. Satu langkah, tahu-tahu Cy sudah berad di belakangnya. Jika Cy membawa sebilah pisau, Raka pasti telah tertusuk mati.

"Sekarang kau mati," ucap Cyrus.

Mendecih, Raka melakukan hal yang sama dan dengan sama mudahnya, Cyrus menghindar. Alih-alih pria itu bergerak ke belakang, Cyrus mendaratkan tinjunya pada ulu hati Raka. Pemuda itu terbatuk, mengeluarkan asam-asam lambungnya. Mengecap mulutnya yang terasa pahit, ia terengah mengambil napas. Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin.

"Sekarang kau bisa menikmati setengah jammu," Cyrus berjalan menjauh.

Mengumpat, Raka telentang sembari mengatur napas. Di balik deru jantungnya sendiri, ia tidak menyadari Celene mendekat, meletakkan botol minum di samping Raka sambil duduk di sebelahnya.

"Capek?" tanya perempuan itu, menyelipkan rambut panjangnya di balik telinga.

Raka mengerling. Ia terbatuk lagi, menumpahkan sebagian isi botol di wajahnya baru kemudian meminum isinya. Kesegaran air mineral rupanya tidak berpengaruh banyak terhadap kerongkongan Raka. Pemuda itu mengerang.

"Aku penasaran, kenapa kau mati-matian berusaha seperti ini dan kenapa kau begitu peduli siapa yang membunuh Jun?" Celene memandang Raka, "Kenapa kau tidak percaya saja kalau Jun meninggal karena bunuh diri?"

"Karena aku tahu, Jun tidak akan bunuh diri!" pandangan Raka menerawang ke langit-langit yang gelap, "Aku tahu anak itu luar-dalam, dia enggak gampang menyerah, apalagi sampai mengakhiri hidupnya."

"Padahal lebih mudah mengaku kalau kau tidak bisa terima kalau sahabatmu meninggal 'kan?"

"Aku tahu," ujar Raka, sudah cukup bosan mendengar kata-kata bahwa setiap manusia pasti mati. Tanpa disadari air matanya menggenang. Jun baginya sudah seperti saudara kandung. Namun, melihat mayatnya dengan mata kepala sendiri... Raka takkan bisa memaafkan dirinya. Entah berapa lama rasa sakit, terutama amarahnya bisa redup.

"Katakanlah, Jun memang bunuh diri," ujar Raka, mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap air matanya hilang, "tapi aku sudah setengah jalan. Jun mungkin bukan lagi alasan pertamaku untuk melanjutkan perjalanan ini, melainkan untuk mencari kebenaran di bawah kebohongan yang baru kuketahui sekarang. Kontrakmu dan segala tetek-bengek lainnya. Pulang sekarang pun percuma 'kan? Tangan kosong, badan luka-luka, enggak tahu apa-apa pula.... Iyas bakal bilang apa? Indhi lalu bagaimana?"

Menarik napas panjang, Raka terkekeh pilu, "Memalukan," ucapnya.

Menopang dagu, Celene bertanya, "Sekarang apa maumu?"

Raka kembali duduk, menatap Celene penuh keyakinan. Hal-hal sinting yang ia alami ini mulai memuakkan bagi dirinya. Tiga hari meladeni Cyrus berbaku hantam membuatnya berpikir akan banyak hal.

Pemuda itu menjawab, "Mengungkap kebohongan."

"Oke," Cel mengangguk. Perempuan itu menepuk pundak Raka dan berkata, "Aku tahu hal-hal yang tidak kau ketahui. Tapi, bibirku terkunci rapat. Camkan saja ini: kau sudah di jalan yang tepat. Kau harus bisa berdiri dengan kaki-tanganmu sendiri dalam perjalanan ini. Untuk itulah, kau harus menjadi lebih kuat, Raka.

"Bukan hanya fisik, tapi juga di sini dan di sini," Celene menunjuk dada dan juga kepalanya, "Kapal yang kau naiki sekarang akan mengenai banyak guncangan. Jika pondasimu tidak kuat, kaupun akan goyah."

Perempuan itu membantu Raka untuk bangun dan mereka saling berhadapan. Cel menggenggam pergelangan tangan Raka. "Aku mengenalmu dari kau masih bocah, Raka. Aku pun mengenal orang tuamu; semua orang yang dekat denganmu. Kau bisa saja sedikit bodoh, tapi darah mereka ada padamu. Kau cuma bingung dan marah pada diri sendiri."

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now