(revisi)BAB 3 : KEONG DAN MONYET

74 22 2
                                    

Setelah menyelesaikan semua rutinitas, kini otakku tidak membiarkanku istirahat. Tangan ini terus saja ingin menyelesaikan gambaran yang dulu belum tuntas. Gambar sebuah pohon yang selalu ingin aku lihat lagi kejayaannya.

Andai saja dia di sini, aku akan mengatakan padanya bahwa kini tempat itu tak lagi sama. Ayunan mulai rapuh dimakan usia. Tapi pohon semakin tumbuh kian lebat. Seakan berkata dalam sunyi, kenangan bersamanya akan selalu tersimpan bersamanya. Dan aku pun menuliskan kenangan saat bersamanya hari itu.

***

Posted by Penasunyi

Waktu itu hari Selasa pukul sembilan pagi. Pekerjaan rumah sedang banyak-banyaknya. Menumpuk, tercecer, dimana-mana ada, padahal ini bukan hari Minggu. Oh iya, apa aku pernah memberitahukan kalau hari Minggu itu hari bersih-bersih satu rumah? Ah, sepertinya aku baru saja memberitahunya.

"Nisti! jemur selimut ini dulu." Yah, padahal membereskan baju saja belum selesai.

Aku bergegas menghampiri Ibu setelah sedikit menyimpan kembali baju yang sudah ku lipat sebagian. Ibu menyerahkan selimut yang siap untuk dijemur dalam ember begitu aku sampai.

Aku mengangkat ember berisi selimut itu hati-hati, takut jika aku salah langkah sedikit saja semuanya akan jatuh. Dan tentu saja jika semua terjadi, itu akan menambah daftar pekerjaanku. Atau mungkin yang lebih parahnya lagi Ibu dan aku akan terpeleset, kita berdua jatuh dan kaki kita terkilir. Lalu Ibu tidak bisa masak dan aku tidak bisa hilir mudik di dapur untuk mengambil makanan lagi.

Matahari di pagi hari memang belum terasa panas, tapi tetap saja saat membenarkan selimut sambil mendongak, sinarnya sudah bisa membuatku menyipitkan mata. Selesai dengan tugas menjemur selimut, aku pun bergegas untuk melakukan tugas yang lain. Tapi tidak jadi karena rasa malas terlanjur menyerang.

Kepalaku melihat kiri, kanan, luar dan dalam rumah. Memastikan Ibu sibuk di dapur atau dimana saja. Aku ingin curi-curi kesempatan untuk tidur lebih lama lagi atau mungkin hanya sekedar bermalas-malasan. Ayolah, ini bukan hari Minggu!

Ayunan yang sengaja Ibu buat untukku menjadi pilihanku untuk bersantai. Aku mengayunkan kaki, mendorong tubuh agar ayunan itu bergerak. Sambil mendongak menatap ke arah daun yang subur, aku jadi teringat bagaimana Ibu waktu itu berjuang untuk naik ke atas pohon demi mengikatkan tambang ayunan ke batang pohon yang paling kuat. Waktu itu aku masih kelas empat SD.

Waktu itu aku sangat suka sekali bermain ayunan. Rasanya seperti terbang dan melayang. Hampir setiap hari aku pergi ke taman dekat rumah hanya untuk bermain ayunan di sana. Saking seringnya aku ke sana Ibu sampai harus menyusulku untuk menyuruh pulang.

Kalau sudah begitu, Ibu pasti memberiku ceramah tentang pentingnya mengingat waktu. Dan mungkin karena itu juga Ibu jadi memilih untuk membuatkanku ayunan di halaman belakang rumah. Agar aku betah di rumah dan Ibu tidak usah lagi setiap hari menjemputku yang lupa waktu di taman.

Lama-lama laju ayunan melambat, aku tidak lagi mendorong ayunan dengan kaki. Dalam hati aku takut, bajuku belum selesai aku bereskan. Tapi jika aku masuk dan bertemu dengan Ibu, pasti dia tidak akan membiarkanku bersantai. Jadi aku harus bersembunyi di suatu ruangan. Ah tidak, sepertinya aku akan tetap diam di sini.

Bosan. Aku butuh sesuatu untuk dimainkan. Aku merogoh saku celana, dan menemukan fakta bahwa aku lupa membawa ponsel. Aku menimang dalam hati antara masuk untuk mengambil ponsel atau tidak. Dan pilihanku adalah masuk dan mengambil ponsel, setelah itu aku akan berjalan tanpa suara dan kembali ke halaman dengan selamat.

Aku mengangkat kaki dengan hati-hati, setiap derajat langkahnya aku perhitungkan. Baru saja menginjakkan kaki di lantai, langkah kakiku terhenti lagi. Mataku awas memperhatikan sekitar. Ternyata Ibu sedang di dapur, tepatnya di depan kulkas sambil memilih-milih bahan makanan untuk menu hari ini. Aman, tidak ada tanda-tanda Ibu akan menoleh.

AMORPHOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang