Kening Ryno berkerut, menyembunyikan kecemasannya. Dia ingin menyuruh orang itu memeriksakan diri. Tapi keadaan sekarang sedang genting. Luka tusuk dan sayatan di tubuh orang itu akan menjadi tanda tanya dan mengorek rasa curiga jika ada yang tahu.

Akhirnya tidak ada yang bisa Ryno lakukan selain mengangguk lalu mulai membantu mengobati luka parah di lengan dan bahu orang itu.

"Setelahnya kau nekat naik ke atas mobil David yang sedang melaju, menghancurkan kaca samping pengemudi dengan batu lalu berhasil menarik David keluar. Apa ada yang kulewatkan?"

Orang itu menggeleng. "Tidak. Sisanya kau sudah tahu. Kami sempat bergumul. Namun posisi David tidak siap dan dia memang sama sekali tidak bisa berkelahi. Jadi setelah berhasil membuat luka-luka ini, aku memiliki kesempatan membunuhnya."

Ryno mendengarkan dengan serius, dan tidak bisa menahan rasa kehilangan di hatinya. Bagaimanapun dia pernah berteman dekat dengan David. Kematian David, apalagi dengan dirinya tahu betul kejadiannya namun terpaksa bungkam, tentu mengusik rasa bersalah Ryno. Namun dia menekannya kuat-kuat. Salah David yang memilih ikut campur.

"Aku sudah berusaha memastikan tidak ada jejak yang mengarah padamu. Tapi aku akan menyelidikinya lagi, memastikan tidak ada yang terlewat."

Orang itu mengangguk, tampak lega dan mulai merasa tenang karena Ryno menjanjikannya rasa aman.

***

Tiba di rumah, Ellen langsung masuk ke kamarnya. Dia bergegas memilih beberapa baju lalu memasukkan barang-barang yang paling penting ke dalam tas besar. Beberapa saat kemudian, baru saja dia menutup ritsleting tas, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar, menampakkan sang Ibu yang menatap Ellen garang.

"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Ellen. Kau masih saja membela sampah pembunuh itu. Ayahmu pasti gelisah dalam kuburannya!"

Kesabaran Ellen habis sudah. Dia berbalik menatap ibunya dengan sorot yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Amarah bercampur rasa kecewa.

"Tidak perlu membawa-bawa ayah lagi. Apa Ibu tidak malu masih bersembunyi dibalik nama ayah sementara ibu dengan nyamannya berselingkuh di belakangnya?"

Mata Rennie tampak melebar, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas ucapan Ellen. "Siapa yang menjejali otakmu dengan omong kosong itu? Apakah pejantanmu? Atau Henry dan istrinya, si tukang cari perhatian?"

Wajah Ellen tampak menegang marah. "Kenapa masih pura-pura? Toh sudah tidak ada Ayah di sini." Ellen maju selangkah dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh. "Berhentilah bertingkah seperti wanita terhormat. Semua orang di kota kecil ini tahu bahwa Ibu sebenarnya adalah wanita jalang."

Wajah Rennie sudah semerah kepiting rebus. Refleks tangannya melayang mengincar pipi Ellen. Namun sebelum tangan itu berhasil menyentuh pipinya, Ellen berhasil mencekal pergelangan tangan sang Ibu.

"Tidak akan kubiarkan Ibu memukulku lagi," desis Ellen. "Sebelumnya aku diam karena aku menghormati Ibu sebagai wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku. Ibu bisa ingat-ingat sendiri apa pernah aku melawan Ibu. Tapi kali ini Ibu sudah kelewatan. Ibu menghancurkan rasa hormat dan kepercayaanku. Ibu bukan lagi wanita penuh perhatian yang kukenal."

Setelah menumpahkan ganjalan di hatinya, Ellen menghempas tangan sang Ibu lalu berbalik menuju ranjang tempat tasnya berada. Tapi baru saja sekali melangkah, Rennie berkata dengan nada getir.

"Ya, dari dulu kau memang tidak pernah berubah. Kau selalu lebih memilih ayahmu, tanpa memedulikan perasaanku."

Gigi Ellen bergemeletuk menahan amarah saat dia berbalik kembali menghadap sang ibu. "Ayah yang menjadi korban di sini. Jangan bertingkah seolah ibu lah korbannya dan seharusnya aku lebih mendukung Ibu."

Rennie tertawa sumbang. "Kau tidak pernah tahu bagaimana sosok James sebenarnya. Mungkin dia memang ayah yang baik bagimu. Tapi dia suami yang buruk. Sangat buruk. Dia membuatku terjebak bersamanya di kota kecil ini dan selalu membatasi gerakku. Dan apakah kau tahu bahwa James memiliki banyak kekasih di luar sana?"

Ellen tertegun, namun ada rasa tak percaya di hatinya. Benarkah ayahnya seperti itu?

"Bahkan perselingkuhan pertamanya yang kuketahui saat kau masih berusia dua tahun!" seru Rennie, kali ini dengan air mata menetes. "Aku berusaha bersikap tegar. Tetap tersenyum karena sikapnya tidak pernah berubah. Cara memperlakukanku dan menyayangimu, dia tidak pernah berubah. Jadi aku pura-pura tidak tahu. Tapi diamku malah membuatnya berselingkuh lagi dan lagi dengan wanita-wanita berbeda. Saat aku tidak tahan dan berniat meminta cerai, dia mengurungku selama dalam kamar dan mengungkit-ungkit bahwa keluargaku pasti sudah menjadi gelandangan jika bukan karenanya. Seolah aku menikah dengannya sebagai bentuk balas budi. Coba kau bayangkan bagaimana perasaanku!" lagi-lagi Rennie berseru, kali ini sambil menepuk dadanya sendiri.

Ellen ternganga, dengan air mata yang juga mengalir. Tak pernah menyangka bahwa hubungan orang tuanya yang di mata Ellen sangat harmonis dengan hanya beberapa perdebatan kecil ternyata menyimpan banyak luka.

"Jadi itukah sebabnya Ibu memutuskan membunuh Ayah? Demi kebebasan?" tanya Ellen getir, mulai limbung karena seolah hilang pegangan.

Kembali Rennie tertawa sumbang. "Sudah lama aku memang ingin melakukannya. Sudah lama aku membayangkan membunuhnya. Tapi aku tidak pernah berani. Jadi kalau kau pikir akulah pelakunya, kau salah besar, Ellen. Bukan aku yang membunuh James."

Dengan tangan gemetar, Ellen menghapus air mata di wajahnya. "Tapi Ibu memang selingkuh, kan?"

"Ya," Rennie menjawab tegas dan tanpa ditutup-tutupi lagi.

"Apa Ayah tahu?"

"Dia tahu. Tapi pura-pura tidak tahu. Karena aku memang tidak pernah berharga bagi James. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Dan putri kesayangannya." Ada nada mengejek saat Rennie mengatakan kalimat terakhirnya.

Ellen menatap Rennie penuh kesedihan. Sorot matanya tampak terluka. "Tapi aku anak kandung Ibu, kan? Kenapa Ibu memperlakukanku seolah aku anak Ayah dengan selingkuhannya? Apa Ibu tidak menyayangiku?"

Rennie memalingkan wajah dari Ellen, seolah menatap wanita itu begitu menyakitkan baginya. "Dulu aku menyayangimu apa adanya. Tapi setahun terakhir, James berhasil membuatku menumbuhkan rasa benci padamu."

"Apa yang dilakukan Ayah?" tanya Ellen penasaran. Dia bahkan bingung mengapa Ayahnya malah membuat sang Ibu membenci dirinya.

"Sudah tidak penting lagi. Yang jelas dia berhasil," sahut Rennie dingin lalu melirik tas di atas ranjang. "Kalau kau ingin pergi, maka pergilah. Aku tidak akan mencegahmu." Kemudian dia berbalik keluar kamar Ellen tanpa mengatakan apapun lagi.

---------------------------

♥♥♥ 

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now