❄️BAB 07: I H S A N (1)

En başından başla
                                    

Kemarin aku tidak pulang ke apartemen Wisnu. Menghabiskan waktu bersma keluarga kecilku sudah tidak bisa ditawar lagi dengan urusan apa pun. Taruhannya pekerjaan yang sudah kuatur dalam jadwal harus aku tunda sampai keesokan harinya. Tepatnya hari ini.

"Aku harus menemui beberapa orang yang sudah membuat janji denganku," kataku saat sudah di depan pintu hendak pergi. Astrid mengantarku sampai ke depan. Sementara Fathan sedang bersama Dalilah di atas.

"Aku nggak harus ikut, kan?"

"Kalau kamu ikut Fathan sama siapa?"

Mata Astrid berisyarat tentang Dalilah.

"Jangan. Sama kamu saja."

"Iya. Jadi sekarang kamu mau ke apartemen Wisnu buat ambil mobil sama keperluan lainnya? Sebelum pergi?"

"Iya."

"Pakai mantelnya. Kata ponselku masih ada salju turun siang ini."

Aku mengangguk. "Kamu jangan ke mana-mana deh, ya? Kalau pengin pergi nanti bisa sama aku saja. Bisa kita atur."

"Lagian aku ke sini buat kamu bukan untuk tamasya."

"Tapi kurang lengkap kalau nggak sekalian jalan-jalan ke luar."

"Dengan cuaca seperti ini?"

"Lho, dingin-dingin begini pegangan tanganmu makin erat. Aku suka."

Astrid menyimpan senyumnya. "Gembel deh."

"Yang kamu perlu sudah dikirim ke WA semua, kan? Cek lagi takut ada yang kurang atau kelupaan. Biar aku nggak perlu dua kali belanjanya."

"Udah."

"Aku nggak janji yang di daftar bisa kebeli semua. Tapi coba aku usahain siapa tahu nemu toko yang lengkap."

"Iya, senemunya aja. Dan jangan lupa telepon Abi. Mungkin kamu juga perlu mastiin ke mereka kalau aku dan Fathan baik-baik saja."

"Insya Allah."

Aku pergi kemudian. Tidak ingin menoleh ke belakang atau aku tidak jadi pergi hanya karena ditagih bayangan kalau Astrid sudah tidak ada lagi ketika aku kembali.

Sampai di apartemen Wisnu aku langsung menyiapkan semua yang kuperlukan untuk sesi wawancara dengan narasumber pertamaku. Janjiannya di sebuah kafe. Beliau adalah seorang akuntan. Ekspatriat yang berasal dari Amerika, konon. Aku belum bisa memastikan karena hari ini perjumpaan pertama kami. Penelitian ini kuusahakan sebaik mungkin agar tidak terkesan seperi aku sedang meneliti seseorang. Melainkan kukonsep seperti ngobrol saja agar segala informasi yang aku perlukan bisa aku dapat dengan cermat.

Sejurus kemudian mobil yang kukemudikan sudah sampai di lot parkir sebuah kafe. Aku datang setengah jam lebih awal. Ini kebiasaanku jika sedang membuat janji temu dengan orang yang kuanggap penting. Lagi pula kalau aku menguasai suasana interview itu akan membuatku lebih santai.

Angin dingin kembali mencekam. Aku mengambil tasku untuk bergegas keluar dari mobil. Berjalan pelan sambil memasukkan tangan ke dalam mantel.

Saat hendak masuk, aku terhenti sebentar. Di depan pintu ada seorang kakek yang memakai mantel tebal dengan sebuah tongkat. Napasnya beruap. Dia juga memakai cindung sama sepertiku. Aku membungkuk memberi salam. Sementara dia hanya mengangkat sebelah tangannya dengan senyum ragu-ragu. Lalu aku masuk dan memilih kursi. Suhu terasa sangat kontras begitu masuk ke dalam. Hangatnya pas. Ini pasti mesin penghangat ruangannya bekerja dengan baik. Kadang ada juga penghangat ruangan yang justru terasa sumpek.

Lima belas menit duduk di sana aku tetap penasaran kenapa kakek itu masih saja setia di luar. Jujur aku tidak tega melihat tubuh ringkihnya harus dipaksakan seperti itu. Dia hanya berdiri. Seperti sedang menunggu seseorang. Karena orang yang berjanji denganku tak kunjung datang, aku putuskan untuk menghampiri kakek itu. Serius, aku tidak bisa menahan diri.

RENTAN: Semusim di Praha [OPEN PO]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin