BAB I

21.9K 1K 64
                                    

1

Sebuah polsek di Cinere digemparkan oleh berita yang keluar dari mulut seorang gadis berusia 18 tahun. Alina. Bagaimana tidak, ia datang meminta bantuan petugas kepolisian sekaligus melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan ayahnya. Yang lebih mengejutkan lagi orang yang dilaporkan adalah seorang perwira TNI yang cukup terhormat di daerahnya – dan juga memiliki kekuasaan. Kolonel Godam Samputi.

Banyak kasus tentang ingatan yang pulih akibat trauma masa lalu berakhir samar – atau bahkan keliru. Demikian pula dengan kasus Alina, ia mengakui dirinya dilecehkan oleh ayahnya sendiri saat usianya masih anak-anak. Namun saat dewasa dia teringat kembali peristiwa itu dan memaknai sebagai suatu tindak kriminal. Pertanyaannya adalah: Seberapa akuratkah ingatannya?

Agar tidak terpeleset ke dalam pengakuan palsu, polisi mulai membuat langkah-langkah khusus untuk menindak laporan tersebut. Namun sayang, ketika proses itu sedang berlangsung, sebuah mobil jeep datang ke arah polsek, empat orang tentara turun kemudian meringsek masuk ke dalam kantor, mengganggu jalannya interogasi.

"Saya Inspektur Satu Johan pimpinan polsek. Ada masalah?"

"Kolonel memerintahkan kami untuk menjemputnya," kata salah satu dari mereka sambil menatap gadis itu.

Pimpinan polsek yang akrab dipanggil Komandan Jo hanya bisa melihat dan menakar reaksi gadis itu. 

"Anda tidak berhak membawaku," ia menyalak. 

"Atas perintah ayah anda, non Alina." 

Alina melihat mereka dengan geram, emosinya tertahan. Dari caranya menatap, jelas sekali bahwa gadis itu menolak ajakan persuasif anak buah ayahnya. Tidak lama kemudian sebuah mobil sedan datang. Siluet seorang pria bertubuh tegap turun dari mobil. Alina melihat bayang-bayang itu dengan teliti dan mengenalinya dengan jelas. 

Siapa yang datang? 

Dengan mulut setengah terbuka dan bergetar, gadis itu bergumam sesuatu yang tidak jelas, sepertinya bilang: "Ya, Tuhan!" berulang kali. 

Kolonel Godam datang dengan seragam dinasnya, lengkap dengan pangkat melati berderet tiga mengilap di kedua bahunya. Ia berjalan masuk ke dalam. Mengabaikan semua petugas kepolisian yang ada di teras depan. Seolah tahu ke mana arah tujuannya, kemudian melihat putrinya yang bersembunyi di balik punggung Komandan Jo.

"Alina sayang, kau di sini rupanya," katanya tanpa menyapa komandan Jo. "Ayah khawatir denganmu sepanjang hari. Mari kita selesaikan masalah ini... di rumah" Kata Kolonel tanpa melihat sekelilingnya selain gadis itu.

Alina diam membuat suasana hening sejenak.

"Ayah minta maaf kalau ayah telah mengecewakanmu... Kamu boleh marah sama ayah sesukamu kalau itu bisa melegakan hatimu, sayang. Ayah janji setelah kejadian ini tidak akan terjadi apa-apa... Sekarang kemarilah," – sambil menjulurkan tangannya – "ayah sudah minta maaf. Mari kita pulang. Jangan kau libatkan masalah ini kepada orang lain."

Gadis itu enggan menantap wajah ayahnya. Takut sekaligus bingung. Seperti terlalu banyak beban pikiran yang harus ditanggung oleh remaja sesusianya.

Kolonel hanya terpaku menatap gadis itu seolah di dunia ini tidak ada yang eksis baginya. Mendapati tidak ada jawaban yang keluar dari putrinya membuat ia sedikit gusar. Dengan suara kering dan pasti dia memerintahkan anak buahnya, "bawa dia pulang," semua anak buahnya langsung patuh dan berjalan mendekati gadis itu.

Awalnya Alina berjalan mundur teratur. Ketika tentara-tentara itu menyentuhnya, ia histeris: "Lepas...Lepas... Jangan paksa aku... Jangan paksa aku... Lepaskan." Tanpa ampun lagi keempat tentara itu membopong lengannya kuat-kuat, menyeret tubuhnya yang menolak. Suara teriakan itu membuat suasana menjadi kian tegang. Komandan Jo yang biasanya tenang harus terkecat, ia tidak pernah merasakan dirinya sebingung ini. Apa karena berhadapan dengan Perwira TNI?

Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam mobil jeep dan membawanya pergi.

Kolonel Godam tidak buru-buru meninggalkan ruangan, ia justru terlihat menunggu, seperti ingin mengutarakan sesuatu. Tetapi tidak. Ia berbalik badan seolah hendak pergi, kemudian menghirup udara panjang, "apa dia bicara sesuatu?" katanya sambil memunggungi.

"Sesuatu tentang apa, Pak?"

"Apa dia berbicara tentang seseorang yang mencoba memperkosanya? Tentang makhluk hitam yang menyergapnya ketika dia tidur? Jin? Hantu? Atau sesuatu yang tidak masuk akal lainnya?"

"Tidak demikian," gumamnya lirih, lantas meralat ucapannya, "maksud saya bukan makhluk hitam atau sesuatu yang tidak masuk akal."

"Lantas?" Kolonel membalikan badannya. Heran.

"Saya tidak bisa bicara," gumam komandan, "karena masih banyak hal yang kurang jelas."

Sekilas kolonel itu melihat keluar ruangan, pintu terbuka lebar, seolah memastikan banyak orang turut mendengar pembicaraan ini. 

"Apa dia bicara bahwa saya memperkosanya? Apa dia cerita bahwa saya telah melecehkannya? Membunuh ibunya?" katanya cepat, seolah bicara tentang sesuatu yang menjijikan.

Komandan diam, menelan ludahnya keras-keras. Ada jeda panjang yang membuat adrenalinnya semakin bergemuruh. "Ya," gumamnya telat.

Kolonel itu kelihatan meringis, seperti ada sesuatu yang membuat sakit di kepalanya, "sudah lama saya mencurigai bahwa Alina memiliki kelainan pada imajinasinya. Kau tahu semacam gangguan delusi, gangguan pada fantasinya... fantasinya yang menipu... tetapi saya tidak bisa menyebut dia menderita gangguan delusi, karena belum ada bukti medis jika saya berkata demikian... entahlah," katanya tersendat-sendat. Ia terlihat berusaha menenangkan diri kemudian berujar, "saya telah melindunginya, Jo... menjadi tameng baginya. Biarlah dia mengumumkan sesuatu yang jelek tentang saya. Lantas apa yang aku dapat darinya?" Katanya kasar. "Mungkin itu tidak cukup ... Anda tahu, suatu saat hal ini bisa saja terjadi tidak saja pada saya. Tetapi juga anda dan juga semua orang. Bayangkan jika tiba-tiba dia melukai dirinya sendiri dan langsung memfitnah anda sebagai biang keladi kekerasan yang telah dia buat sendiri. Saya sedang tidak menakut-nakuti anda. Tetapi akan terpaksa saya jelaskan kalau cuma ini satu-satunya cara agar anda mengerti."

Lagi-lagi Kolonel itu mengambil nafas panjang hingga dadanya membusung, "anda pasti mengerti, Jo. Saya tahu bahwa anda adalah orang yang piawai memahami jiwa-jiwa manusia."

"Saya tidak bisa berkata apa-apa tentang ini, pak." Katanya termangu-mangu, "sudah saya bilang sebelumnya, bahwa banyak hal yang masih kurang jelas."

"Saya pikir sudah jelas...  Maksud saya, ingatan tentang masa kecil itu sama sekali tidak bisa anda jadikan landasan dalam menindak proses hukum, bukan? Sekarang saya datang untuk menjelaskan kepada anda, bahwa apa yang sebenarnya terjadi menyangkut kewarasan Alina. Bagaimanapun juga. Sebagai seorang ayah sekaligus ibu baginya, saya harus melindungi putri saya sendiri," – Ia mengusap mulutnya – "sekalipun musibah itu datang dari dirinya sendiri. Dari imajinasinya. Ini saya lakukan bukan untuk saya. Tetapi demi dia... Demi masa depannya."

Sekali lagi dia melihat orang-orang di sekelilingnya. Ia memastikan lagi bahwa masih ada orang lain yang mendengar segala ucapannya.

"Saya harap anda tidak memprosesnya dalam bentuk laporan."

"Memang tidak. Kecuali anda mengizinkan saya untuk menemui Alina sekali lagi."

"Saya hormati jika anda bisa melupakan ini semua," katanya mengumumkan. Seolah pernyataan itu bukan saja untuk komandan Jo saja, tetapi untuk semua orang yang mendengar pembicaraan ini. "Selamat siang," tambahnya dingin tanpa mengharapkan ucapan itu berbalik kepadanya.

Komandan membiarkan perwira TNI itu berjalan keluar, tidak lama kemudian terdengar sebuah mobil distarter lalu pergi meninggalkan polsek bersama debu di udara. Begitu mobil Kolonel hilang dari pandangan, mereka yang ada di polsek kembali berisik, bertanya-tanya tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Kejadian itu setidaknya menjadi bahan gosip bagi orang-orang yang telah terlanjur mengetahui peristiwa tersebut. Pikiran mereka mengawang oleh sensasi ambigu: antara pengakuan Alina dan penjelasan Kolonel. Masing-masing memiliki argumen yang meyakinkan tanpa bukti yang jelas. Hal ini membuat orang-orang berspekulasi tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Hingga akhirnya polemik itu menjadi terjelaskan oleh kehadiran seorang polisi muda yang tersihir oleh kemolekan tubuh Alina. Ya.. itu dia. Widka.

>>>

Voyeurism: Riwayat Sang Pengintip [COMPLETED!]Where stories live. Discover now