(revisi)BAB 2 : KENANGAN DALAM CUP

96 22 5
                                    

Aku harap kamu tahu, Kistain. Bahwa sampai saat ini sekali pun, aku akan senang jika mendengar ocehanmu lagi. Dan andai kamu tahu, sekarang aku sedang memegang cup yang kamu berikan dulu, mencoba menyesap rasa teh yang sama di tempat yang sama. Meskipun rasanya tak akan pernah sama.

***

Posted by Penasunyi

Setelah pertemuan di naungan langit senja saat itu, aku mengerti akan sebuah rasa teh sesungguhnya. Tidak manis karena belum tercampur gula, juga tidak pahit karena aku suka. Sama seperti pertemuan demi pertemuan kita yang belum terasa manis namun aku sudah menyukainya. Membuatku ingin terus menerus membuatnya meskipun tanpa pemanis sama sekali.

"Suka tidak?" tanyanya saat itu.

Aku mengerutkan dahi heran. Menurutku tidak ada yang spesial dari sebuah rasa teh manis hangat. Hanya ada dua rasa ; rasa teh itu sendiri dan manis dari gula. Tapi aku memilih untuk mengangguk.

"Syukur kalau suka. Tapi lain kali aku mau kasih kamu yang pahit saja." ucapnya lalu menyandarkan punggung pada kursi taman. Aku pun bertanya kenapa tanpa suara.

Dia terkekeh sebelum menjawabnya, "Supaya aman kalau sering diminum. Terlalu sering minum minuman manis tidak baik untuk kesehatan. " jawabnya. Lalu aku pun ikut menyandarkan punggung ke kursi taman.

Yah begitulah pertemuan kedua kita setelah beberapa waktu tidak bertemu, hanya diisi obrolan-obrolan ringan. Dan setelah langit menjadi gelap, kami pun berpisah di ujung taman. Entah kenapa saat itu aku tidak ingat untuk bertanya padanya. "Sedang apa kamu di sini?" misalnya.

Hari itu bibirku rasanya pegal karena tak henti-hentinya tersenyum. Dan itu karena kejadian dua hari yang lalu. Masih membekas ternyata. Aku membuka kulkas untuk mengambil botol air dingin karena haus, setelah sebelumnya menuangkannya ke dalam gelas. Setelah berhasil minum dalam tiga kali teguk aku lantas menyimpan botol itu kembali, namun saat akan berlalu mataku menangkap benda kecil menyerupai gelas plastik sedang diam manis di rak piring dekat kulkas.

Aku mengambilnya, mengamatinya sesaat lalu menyimpannya lagi.

Ibu sempat akan membuangnya jika aku tidak mencegah. "Buat apa kamu simpan cup bekas?" tanya Ibu saat itu. Tapi aku hanya tersenyum penuh arti. Aku rasa belum saatnya memberi tahu Ibu sekarang, nanti saja, kalau dia memang akan menjadi temanku.

Waktu itu aku merasakan kebahagiaan yang berkesan. Karena tidak hanya dalam hati, melainkan juga dalam satu buah cup plastik. Aku berguling-guling sampai kasur menjadi berantakkan karena ulahku. Dan saat aku berdiri untuk membereskannya, tiba-tiba daya tarik kasur semakin kuat dan akhirnya niatan untuk membereskan kasur batal total.

Aku lelah, aku juga merasa gila sendiri melihat tingkahku. Tapi ternyata bukan aku saja saat itu yang berpikir demikian, karena seseorang yang masuk ke kamarku tanpa ijin pun berpikiran sama. Yah, tentu saja dia bisa bebas keluar masuk kamarku akibat restu Ibu. Namanya Rita.

"Kamu kenapa? Guling-guling seperti ikan loncat ke darat." kata Rita seraya duduk di pinggir kasur.

Aku memberi sedikit jeda waktu sebelum menjawab karena aku tidak berniat menjawabnya. Hal yang sama terjadi pada ibu saat dirinya bertanya, aku hanya menjawab dengan senyuman penuh arti.

"Oh gitu... tidak mau cerita? Yakin? Hm... yakin?" tanya Rita sambil terus menggelitiki pinggangku.

Aku berusaha menghindar, tapi dengan gesitnya Rita menangkap pinggangku lagi. Terus saja begitu sampai kita sama-sama merasa lelah.

"Kamu tahu? kemarin aku ikut Ayah ke rumah Pak Danu, terus tidak sengaja bertemu dengan orang baru." Rita memulai ceritanya.

"Kamu tahu kan Pak Danu yang rumahnya ada di seberang rumah Bu Susi?" tanya Rita.

Aku mengangguk. Mana mungkin aku tidak tahu kalau setiap akan pergi ke taman aku selalu melewatinya.

"Nah iya yang itu rumahnya. Orang barunya ramah, kemarin saja dia sampai repot-repot belikan kami makanan. Dan saat aku cari tahu ternyata itu cucunya Pak Danu yang sedang liburan. Sayang, dia pamit pergi sebelum Ayah ngajak dia ngobrol lebih jauh. Anehnya dia bawa-bawa minuman gitu ditangannya." Rita memberi jeda pada ceritanya sebelum kembali bertanya padaku.

"Kamu mendengarkan kan?" jelas aku dengarkan. Juga aku bayangkan jika orang yang di ceritakan Rita itu adalah Kistain.

Aku bertanya pada Rita siapa namanya, tapi dia bilang sudah lupa. Tapi aku yakin yang sebenarnya terjadi adalah dia yang tidak pernah bertanya siapa namanya. Tentu saja aku sudah hapal tabiat temanku yang satu itu. Alih-alih mengingat-ingat dirinya justru menarik tanganku dan menyeretku keluar kamar.

"Sudah... ikut saja. Aku punya firasat kamu pasti cocok sama dia. Dia orangnya baik. Aku kan ingin mengenalkan kamu ke orang-orang yang baik saja." ucap Rita saat aku berusaha untuk melepaskan pegangannya.

Jujur saja setelah Rita mengatakan itu aku merasa sedih. Karena secara tidak langsung ia ingin mencarikan pengganti dirinya. Rita anak yang pintar dan terampil, dirinya memiliki semua yang ingin perempuan miliki. Cantik, pintar, populer dan berkecukupan. Dan saat dirinya mengatakan akan memilih universitas pilihannya yang berada di luar pulau, aku yakin dia pasti bisa. Meskipun pada saat itu ingin sekali aku mencegahnya pergi dengan alasan yang tentu saja terdengar egois.

Siang itu jika tidak salah Ibu sedang pergi ke pasar. Aku ingat sekali saat itu Ibu bersikeras ingin membuat batagor sendiri. Maka dari itu ibu bergegas ke pasar setelah di jemput ibu-ibu yang lain. Tidak seperti sekarang, dulu dengan tetangga seperti dengan saudara.

"Nah itu rumahnya."

Rita menunjuk rumah berwarna kuning. Dan setelah tiba di depan rumah, tepatnya di halaman sambil menunggu Rita yang akan membuka gerbang, aku bergeming. Dan kamu tahu apa yang aku pikirkan saat itu dengan jantung berdetak kencang? Aku berpikir untuk pulang secepat mungkin lalu kembali dengan membawa cup dekat kulkas. Terima kasih Rita, karenamu hari itu aku bisa bertatap muka dengannya. Lagi.

Share : || IG || Twitter ||Fb ||

Enter your comment...

PUBLISH PREVIEW

AMORPHOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang