Mei

8.9K 943 112
                                    

Aku duduk di tempat waktu pertama kali kita bertemu. Maksudnya, bukan yang benar-benar pertama kali. Karena yang pertama adalah ketika kamu kembalikan buku tulisku yang tertukar dengan punyamu.

Kamu pasti tidak ingat, atau mungkin sedikitnya hanya sadar di situ kamu pertama kali tau namaku. Susah disebutnya kamu bilang. "Ayisha, kayak Aisyah aja," jawabku.

"Beda, ini ada E nya dua."

"Iya itu jadinya I. Jadinya Ayisha."

"Tapi tulisannya—"

"Aduh udah, deh. Mana buku gue?"

Setelah itu komunikasi kita hanya lewat tatapan mata. Dua hari setelahnya aku lihat kamu main bola di lapangan sekolah. Seminggu berikutnya aku dengar kamu berhasil mendapatkan hati anak kelas sepuluh yang kamu incar. Aku dengar dari Syifa, sahabatku yang kamu bilang rewel. Messa namanya.

Hampir setengah tahun aku tidak pernah dengar lagi tentang kamu. Kemudian kenaikan kelas sebelas kita berada di satu kelas yang sama. Kamu ogah-ogahan jadi bendahara. Kemudian jabatan itu diambil alih Hasna dan aku tidak pernah lagi menaruh perhatian lebih dari sekadar mendengar namamu setiap kali guru mengabsen.

Hari Kamis bulan September dompetku hilang. Jadi aku tidak bisa pulang karena tidak ada ongkos sama sekali. Teman-temanku sudah duluan, aku sibuk mencari dompet di kelas dan di tempat-tempat yang pernah aku singgahi. Saat aku keluar dari toilet, kamu berdiri di dekat tiang seperti sedang menunggu seseorang. Aku jalan melewatimu, ternyata yang kamu tunggu adalah aku.

"Kenapa lo nangis?"

"Gak apa-apa."

"Serius kenapa? Ada yang bisa gue bantu nggak?"

"Dompet gue ilang jadi gue nggak bisa pulang."

Kamu menghela napas sembari menatapku kasihan. Lalu kamu bilang, "ayo gue anterin pulang."

"Tapi dompet gue ilang. Kalau gue pulang sekarang nanti diambil orang duluan gimana?"

"Udah diambil orang kali? Makanya ilang. Udah cari di mana aja?"

Di penjuru sekolah. Aku sudah mencarinya sampai kepalaku mulai sakit. Akhirnya menjelang magrib aku sampai di rumah berkat tumpangan darimu. Aku bilang terima kasih, dan kamu doakan semoga dompetku ketemu.

Tau tidak? Doamu manjur.

Dompetku ternyata jatuh di depan perumahan dan seorang satpam menyimpannya. Begitu aku sampai rumah ibu langsung kasih tau. Aku menangis-nangis karena sudah cari sampai sakit kepala. Besok paginya setiba di sekolah aku sadar kamu memperhatikan. Tapi aku tidak menyapa, hanya diam membalas tatapanmu yang tidak pernah lebih dari detik ketiga. Siangnya sebelum ke kantin untuk makan, kamu tanya dompetku sudah ketemu belum. Aku bilang sudah, berkat doamu.

Bulan Oktober kamu tiba-tiba minta temani pinjam kaset, di toko punya sepupumu yang suka koleksi lagu-lagu lama. Tentu saja kamu suka The Beatles, tapi aku tidak terlalu. Maaf ya, jadi aku hanya diam saja melihat-lihat. Di hari yang sama aku juga baru tau kamu suka Koes Plus. Sudah, cuma dua itu yang paling kamu suka dari yang bukan zamanmu. Kemudian kita makan bakso paling enak yang pernah aku makan selama hidupku. Kamu tertawa dengarnya, tapi itu sungguhan! Warung bakso itu sudah ada sejak ibuku SD! Kamu tetap tertawa.

Tapi di akhir bulan kamu jadi diam. Aku bingung bukan kepalang. Apa yang salah? Adakah ucapanku yang menyinggung? Adakah perilakuku yang menyebalkan? Tapi aku tidak tanya. Aku juga jadi diam menarik diri karena, ya, aku memang begitu. Sampai pada akhirnya aku dengar kabar, ternyata ayahmu sakit dan meninggal dunia.

Aku menangis malam itu. Air mata untuk kesedihan yang kamu rasa dan untuk keegoisanku. Air mata untuk penyesalan karena kamu tidak bisa cerita. Aku turut berduka cita, saat itu aku berdoa semoga ayahmu ditempatkan di tempat yang paling sempurna.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 09, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

drafWhere stories live. Discover now