Kay

33.1K 2.4K 47
                                    

Hanya butuh sembilan belas detik bagiku untuk jatuh hati kepada anak perempuan yang ternyata sudah aku kenal selama empat belas tahun sejak kami sama-sama duduk di bangku taman kanak-kanak.

Kata-kata yang dilontarkannya saat pelajaran sejarah empat jam yang lalu membuat aku diam di tempat dan menyadari betapa indah segala hal tentangnya. Suaranya, pemikirannya, intonasinya saat bicara, rambutnya yang kecokelatan dan pipinya yang memerah setiap upacara. Bibirnya tipis kemerah-merahan tanpa perlu dipoles oleh apapun itu yang sering digunakan oleh anak perempuan lainnya. Kulitnya bersih, terlihat halus dan hangat. Kegemarannya melukiskan senyum di wajah setiap orang, dan dia seperti hasil karya seni.

Ia Mikayla. Anak-anak sering memanggilnya Kay.

Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Jika bersebelahan denganku, puncak kepalanya hanya sebatas dagu. Telapak tangannya kecil, pergelangan tangan kirinya selalu dililit oleh jam warna-warni. Mikayla begitu indah, lebih indah setelah aku sadar kalau aku suka padanya.

'Kenapa orang harus repot-repot mengurusi hidup orang lain? Kalau kamu lihat saya pakai eyeliner berlebihan atau baju saya yang terlalu mecolok, apa itu menganggu kehidupan kamu? You don't know the reason why i wore that. Kamu nggak tahu hidup saya. Kamu nggak tahu saya. Kamu nggak tahu kan alasan kenapa saya pakai eyeliner tebal dan baju yang mencolok? Mungkin saya lebih bahagia jika terlihat seperti itu. Kalau kamu tidak suka, itu urusan kamu. Kenapa saya harus berpakaian untuk menyenangkan kamu? Kita juga hanya bertemu sebentar, kan? Sabar saja sedikit. Jangan rusak kebahagian orang lain hanya karena hal sepele. Kamu tidak adil.'

Seperti itu. Seisi kelas langsung diam seribu bahasa. Mikayla bukan orang yang selalu ber-saya-kamu saat bicara. Aku baru sadar ia menggunakannya jika sudah merasa sangat terusik. Sebenarnya ia pun sedang tidak membela dirinya sendiri. Ia membela Ava, anak perempuan yang duduk dua meja di depanku. Penampilannya biasa saja, Kay menggunakan appearance sebagai perumpamaan dan itu berhasil membuatku bungkam.

Setelah lima menit berakhir, guru mata pelajaran kemudian melanjutkan materi.

Aku dibuat pusing dalam waktu kurang dari setengah hari memikirkan bagaimana caraya agar Kay mau memaafkanku, menerimaku untuk jadi temannya dan bicara padaku dalam keseharian. Aku ingin dekat dengannya, tahu tentang hidupnya, tentang apa saja yang ada di dalam kepalanya.

Kay terasa seperti memiliki aura vanilla yang lembut, membuat orang-orang –aku ingin berada selalu di dekatnya. Aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin menyimak setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya. Aku ingin mendengar suara tawanya. Aku ingin membuat kedua ujung bibirnya tertarik keatas sampai deret giginya terlihat.

Aku ingin membuatnya bahagia.

Ah, terlalu jauh.

***

"Mbak Kay, ada temennya tuh di luar!"

Aku berdiri di depan pagar, menunggu Kay keluar dari pintu setelah mendengar pembantu rumahnya memanggil dengan suara yang tidak pelan. Aku pernah bertemu dengan wanita berusia lima puluhan itu, kalau tidak salah. Tapi dulu kerutan di ujung matanya tidak ada. saat itu pula Kay masih mengalungi botol minumnya di leher.

Aku memasukkan kedua tanganku ke saku celana, menggerak-gerakkan kakiku dan menunduk. Aku resah. Jantungku berdetak cepat sekali sampai aku agak khawatir kalau sewaktu-waktu jantungku akan berhenti.

Sebenarnya waktu hanya berjalan selama tiga menit, tapi rasanya seperti seharian sampai Kay keluar dari pintu dengan pakaian rumahannya yang entah kenapa membuat ia terlihat lebih menarik di mataku. Tatapannya sekilas terlihat bingung saat melihat aku berdiri di sini, namun ia tetap berjalan mendekat ke arah pagar rumah dengan sendal jepit berwarna biru muda yang memperindah kakinya.

"Daffa?"

"Kay."

Tangannya membuka pintu pagar, menyuruhku masuk dengan bahasa tubuhnya tapi aku diam saja.

"Kenapa Mbak Ade nggak nyuruh masuk?"

Aku tidak menjawab apa-apa. Padahal aku yang tidak ingin dibukakan pintu agar Kay berjalan ke luar dan menggeser selop pagarnya, kemudian mempersilakan aku masuk. Padahal aku terlalu gugup.

"Daf?"

"Gue mau minta maaf, Kay." Kataku. Akhirnya. Setelah semalaman berpikir apa aku harus meminta maaf dengan mendatangi rumahnya karena hari ini hari Minggu lalu mengajaknya keluar dan jalan-jalan dan mengobrol dan menghabiskan waktu –sudahlah, berhenti.

Kay menaikkan alisnya, bertanya kenapa tanpa suara. Tangannya menggaruk dahinya sebentar kemudian ia berpegangan pada pintu pagar yang terbuka. Bajunya berwarna hitam dan celananya pendek sepaha. Tidak terlalu minim. Tidak terlihat seperti telanjang.

"Kemarin, gue mau minta maaf soal yang kemarin."

Mulut Kay langsung membulat membentuk huruf O dan pegangan tangannya pada pagar terlepas. Aku sampai berpikir kalau ia sudah melupakan tentang masalah itu, tapi kenapa aku malah memikirkannya semalaman?

"Seharusnya lo minta maaf ke Ava." Ujarnya. Ia tidak tersenyum, tapi aku tidak merasa kalau ia mengatakannya dengan niat untuk merendahkanku. Ia begitu netral. Menenangkan seperti air.

"I did."

Mata Kay membulat. Ia pasti kaget mendengar pernyataan singkatku barusan.

Aku tidak pernah meminta maaf pada siapapun. Kecuali jika situasi sudah mendesak, contohnya saat aku harus berhadapan dengan guru BK bersama kakak kelas yang berkelahi denganku atau saat kepala sekolah mengancam akan memanggil ayah ke sekolah karena aku berulah lagi.

Aku bukan anak manja. Hanya saja waktu ayah begitu mahal untuk sekedar datang ke sekolah karena anak semata wayangnya lagi-lagi membuat kekacauan, dan aku tidak mau Geofani –utusannya yang datang untuk menjadi wali. Aku masih punya orangtua.

"Yaudah, ayo masuk Daf! Lo mau berdiri di situ seharian?" Kay membukakan pintu pagar lebih lebar agar aku melangkah masuk ke area halaman rumahnya.

"Sebenarnya gue mau ngajak lo makan siang. Mau kan?"

Telingaku terasa pengang. Seketika tidak ada suara di sekitarku. Tidak sekalipun mesin pemotong rumput yang sebenarnya menyala sejak awal aku tiba di depan rumah Kay. Fokus pendengaranku hanya terarah kepada suara Mikayla dan mataku melihat lurus bergantian ke arah matanya dan kedua bibirnya yang tertutup. Aku menunggu jawabannya.

"Boleh, tapi gue ganti baju dulu ya?"

Aku reflek menghela nafas.

###

Media: Burning House - Cam

drafحيث تعيش القصص. اكتشف الآن