✖ Delaga, 2016

66 14 3
                                    

Kalau-kalau kalian penasaran dengan apa yang terjadi ketika aku bertemu lagi dengan Rara dan Delaga tiga tahun lalu di acara reuni, tentang apakah kami saling bertegur sapa atau sekedar melempar senyuman, jawabannya adalah tidak.

Alih-alih menyapa atau sekedar melempar senyum ramah, baik aku dan Rara sama-sama saling menghindar. Bahkan karena hal itu, Andri, Mario, bahkan Inka sampai tak sempat menyapa Rara dan Dela demi menjaga perasaanku.

Semenjak acara reuni waktu itu, aku pun tak pernah lagi mendengar kabar Rara ataupun Dela, bahkan untuk bertemu Mario dan juga Andri pun sangat jarang. Kami semua sibuk dengan urusan masing-masing.

"Mbak, hari ini jam dua ada kelas?" Atensiku beralih menatap Mbak Mia yang barusan bertanya.

"Kayaknya ada Mbak. Kenapa ya?"

"Itu, ada calon tutor baru. Saya mau minta Mbak Ghea yang ngarahin microteaching supaya bisa tahu cara mengajarnya ok atau nggak." Jelasnya.

Selain kesibukan sebagai mahasiswa, aku memang disibukkan dengan mengajar di lembaga bimbingan belajar dan juga les privat dari senin sampai minggu. Singkatnya, tidak ada hari libur.

"Kayaknya bisa, Mbak." Balasku kemudian buru-buru membuka aplikasi kalender yang ada di ponsel.

"Bagus kalo gitu. Jadi nanti Mbak yang nemuin ya?" Aku mengangguk setuju lalu kembali menatap layar laptop, menyelesaikan tugasku menyusun soal ulangan tengah semester.

Namun lagi-lagi kegiatan itu harus terjeda sejenak oleh sebuah panggilan telepon.

"Andri?" Tanyaku dengan dahi berkerut ketika menemukan sederet nama itu terpampang di layar.

"Tumben," ujarku seraya mengangkat telepon. "Halo, Ndri."

"Halo, Ge." Balasnya antusias.

"Lo di mana?" Tanyanya kemudian.

"Di LBB. Kenapa?"

"Pulangnya jam berapa?" Tanyanya lagi.

"Ngapain nanya-nanya? Udah kayak mau jemput aja?" Balasku sambil terkekeh mengingat sudah beberapa bulan ini Andri sedang ditugaskan di luar kota, dan entah akan menetap di sana ataukah tidak.

"Ya emang mau jemput."

"Ha? Lo bukannya masih dinas?" Tanyaku bingung.

"Dapet libur seminggu. Gue udah di rumah dari kemarin." Aku mengangguk-anggukan kepala paham.

"Ya udah gue pulang jam lima sorean sih biasanya. Lo kalo mau jemput ya jam segituan aja. Tahu tempatnya, kan?" Ujarku, lalu memastikan dia masih ingat jalan ke mari atau tidak.

"Tahu lah. Masih di LBB yang dulu, kan?"

"Iya masih di situ."

"Ok. Nanti gue jemput. Udah dulu ya, gue lagi mancing sama si Rio. Bye ... "
Ujarnya lalu memutus panggilan telepon. Rio apa kabar ya?

Aku mengesampingkan rasa penasaran soal kabar Mario dan lebih memilih untuk menarik lengan ke atas, merenggangkan otot-otot yang kaku karena terlalu lama duduk di depan laptop.

Mbak Mia terlihat menghampiriku, membuatku melirik ke arah jam dinding, sudah pukul dua rupanya.

"Mbak Ge, orangnya udah datang."

"Ok mbak. Ini aku langsung aja?"

"Tunggu dia ngerjain soal tes dulu Mbak, baru nanti Mbaknya masuk." Aku mengangguk paham.

Tak lama kemudian Mbak Mia kembali ke mejaku, memintaku untuk  menemui si calon guru baru yang akan bergabung.

"Permisi." Ucapku seraya mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan. Di dalam sana ada seorang gadis mengenakan kemeja dan rok span rapi sedang tersenyum ramah.

Untuk Delaga | 1997Where stories live. Discover now