✖ Delaga, 2013

77 18 17
                                    

"Ge ... Ghea ..." panggil bunda seraya mengetuk pintu kamarku dari luar.

"Ada andri tuh di bawah, buruan gih." ujar bunda.

"Iya Bun," balasku sambil buru-buru merapikan rambut.

Aku tahu semua orang di halaman depan sedang menatapku, mengamatiku yang tiba-tiba muncul dengan penampilan baru.

"Kamu kapan potong poni?" tanya ayah yang sedang duduk di kursi santai bersama Andri yang masih melongo menatapku.

"Kemarin, Yah." jawabku.

"Kamu potong sendiri?" sahut bunda, dan aku pun mengangguk lalu memegang poniku. "Jelek ya?" 

"Enggak," kata Andri. "Enggak salah lagi maksudnya." Dia memang masih ahli membuatku jadi kesal.

"Udah sana buruan berangkat. Nanti telat acara reuninya." Bunda mengingatkan, kami pun bergegas pamit untuk berangkat.

Di dalam mobil aku menyempatkan diri menatap cermin sebentar, memastikan apakah perlu menjepit poni ini ke atas atau ku biarkan saja.

"Ngaca mulu lo?" komentar Andri.

"Aneh banget ya gue pake poni?" tanyaku.

"Nggak, udah nggak usah di apa-apain tuh poni." jawabnya entah jujur atau tidak.

"Gue jepit aja deh. Kalo lihat dari reaksi lo aneh banget kayaknya," balasku seraya merogoh tas untuk mencari bobby pin.

"Jangan!" balas Andri seraya memukul telapak tanganku pelan.

"Udah biarin aja poninya, imut kok." katanya.

"Nggak usah bohong lo." balasku cepat.

"Dibilangin jangan dijepit ke atas." kekuhnya mencoba meraih bobby pin dari tanganku.

"Ya udah, iya iya. Nggak gue jepit, gue biarin nih." balasku kemudian memasukkan jepit hitam itu ke dalam tas.

Andri hari ini sengaja meluangkan waktunya untuk datang dan ikut menghadiri acara kumpul bersama teman-teman semasa duduk di bangku SMA, berbeda denganku yang sempat menolak hadir karena enggan bertemu dengan Rara.

Semenjak kejadian aku memergoki Rara dan Dela di belakang sekolah satu tahun lalu, hubungan kami merenggang. Dari yang biasanya selalu menghabiskan waktu bersama untuk sekedar makan siang atau mengerjakan tugas dan hangout, jadi memilih memisahkan diri setiap melihat satu sama lain.

Pada saat itu, hanya Andri yang tahu dan menyadarinya. Bahwa aku dan Rara jadi tiba-tiba menjaga jarak aman.

"Nanti ada Rara juga." ucap pemuda di sampingku.

"Dia bukannya di Singapur?" Andri hanya mengangkat bahu, dia juga tidak tahu.

"Kirain lo sama sekali nggak mau tahu soal Rara, ternyata lo tahu kalau dia kuliah di Singapur?" imbuhnya.

"Dari omongan lo seolah-olah gue tuh benci banget sama Rara." balasku sewot.

"Emangnya nggak?" tanyanya.

"Kan dia udah udah macarin si Dela, padahal tahu lo suka sama tuh cowok." imbuhnya mengungkit masa lalu.

"Udah lah, nggak usah bahas yang dulu-dulu, males." balasku tanpa minat.

"Nanti kalo beneran ketemu si Rara, gimana?" tanyanya kepo.

"Ya biasa aja, Ndri. Gue kan udah nggak apa-apa." jawabku, dia terlihat mengangguk paham kemudian kembali fokus melajukan mobil, sampai pada akhirnya pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.

"Kalo nanti ketemu Dela, gimana?"



"Kalo nanti ketemu Dela, gimana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Andri selalu tahu arti diamku. Itu lah mengapa ia tak menyinggung perihal Delaga lagi sejak pertanyaan terakhirnya di dalam mobil tadi. Ia tahu aku enggan membahas luka lama.

"Eh, itu bukannya si Rio?" tanyanya sembari memicingkan mata, membuatku yang kesusahan melepas sabuk pengaman jadi ikut-ikutan mengikuti arah pandangnya.

"Iya kayaknya," balasku masih dengan kedua tangan yang sibuk melepaskan sabuk pengaman.

"Lama lo," sahut Andri sembari membantuku melepas seat belt dengan mudahnya.

"Thanks."

Kami bergegas turun dan menghampiri Mario yang nampak jalan berdua dengan seorang perempuan.

"Yo," panggilku. Mario dan gadis di sampingnya itu pun menoleh.

"Inka?" Tanyaku yang terkejut mendapati sosok itu kini berdiri di hadapanku.

"Oh! Ha ... i" sapa Inka dengan terbata.

Aku baru sadar kalau sedari tadi, Inka ternyata mengapit lengan Mario, "Kalian pacaran?" 

Inka menggeleng, sementara Mario berkata dengan tegas, "Iya."

Kalimat yang terlontar barusan membuatnya harus menerima cubitan dari sang kekasih yang tak mau diakui. Tingkah mereka ini membuat Andri terkekeh.

"Ternyata nggak sia-sia usaha Mario buat deketin lo dari kelas sebelas." komentar Andri, aku pun mengangguk setuju. Kami tahu betul segala bentuk upaya yang Mario lakukan untuk mendapatkan perhatian seorang Marinka.

Kami berempat berjalan bersama menyusuri gedung, menyapa teman-teman lama kami yang sebagian dari mereka menyempatkan diri untuk datang di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa.

"Si Rara tuh." Mario memberi tahu sembari menatap ke arah pintu masuk. Ada Rara yang datang bersama Delaga.

Andri melirikku sekilas, "Mau balik sekarang?"

"Apa'an sih. Nggak, baru juga dateng." jawabku yang berusaha tegar dan mengesampingkan nyeri dari luka lama yang kembali terasa menghujam jantung.

Andri melingkarkan lengannya di bahuku, membuatku menatapnya penuh tanya. "Kalau udah nggak kuat, lambaiin tangan ke kamera." godanya.

Aku hanya melirik tajam sampai ia menarik tangganya dari bahuku.



Aku hanya melirik tajam sampai ia menarik tangganya dari bahuku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Omong-omong, ini Ghea dengan poni depan nggak niatnya 😂

Omong-omong, ini Ghea dengan poni depan nggak niatnya 😂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Untuk Delaga | 1997Where stories live. Discover now