Mungkin karena ayahnya imigran dari luar Plate, mulut dan tingkah laku Dean sekasar penampilan fisiknya. Hampir semua siswa lain takut kepadanya. Namun sejak akrab dengan tiga sahabatnya, Dean menjadi lebih mudah dihadapi. Karena itulah Ketua Kelas itu yakin jika ada yang membuat Dean rela menerjang bahaya, pasti ada kaitannya dengan tiga orang yang lain.

Satu dentuman kembali terdengar. Lebih besar dan lebih kuat dari beberapa dentuman sebelumnya. Getaran akibat dentuman kali ini cukup kuat untuk membuat kaca jendela dan langit-langit bangunan retak. Serpihan debu kering mulai berjatuhan.

"Jangan panik! Teruskan langkah kalian, di ujung sana kalian semua akan aman di dalam bungker!!!" seru petugas dengan suara kencang.

Ledakan barusan pasti ada kaitannya dengan Dean, pikir Ketua Kelas itu. Ragu-ragu dia menatap pada petugas yang berdiri paling dekat dengan dirinya. Dia tidak ingin Dean terlibat masalah tetapi dia juga tidak mau bila apa yang akan dia sampaikan malah memperburuk keadaan. Haruskah dia menyampaikan apa yang baru saja dia lihat kepada petugas itu?

Pemuda itu menelan ludah. Ketika petugas itu bertemu pandang dengannya, dia merasa ini adalah satu-satunya kesempatan yang dia miliki untuk menyampaikan apa yang baru saja dia lihat. Namun belum sempat pemuda itu mengeluarkan suara, suatu lengkingan panjang dari segala pengeras suara yang ada di sekolah itu menggantikan raungan sirine dan rekaman suara datar Kepala Sekolah, menghentikan segala kegiatan. Bahkan para petugas terpaksa menutup telinga masing-masing.

Menyusul lengkingan yang sepertinya mampu memecahkan gendang telinga pendengarnya itu, suatu gelombang kejut terasa melintas. Seperti angin ledakan, tetapi tanpa rasa panas maupun dingin. Detik berikutnya dalam sekejap mata segalanya terhisap balik, lalu hening.

Tidak ada lagi isak-tangis, maupun dentuman ... Tidak ada getaran, gemeretak suara struktur bangunan yang terkikis ... Pengeras suara berhenti berfungsi ... Bahkan orang-orang yang ada pada saat itu sebagian besar yakin bahwa untuk beberapa saat, sempat tidak ada suara sama sekali.

Mungkin terasa tidak masuk akal tetapi dibandingkan dengan segala kepanikan tadi, Si Ketua Kelas merasa bahwa keheningan yang sedang mereka alami adalah hal yang paling menakutkan dari semuanya. Denyut nadi terasa kencang di pelipis, sementara bulu kuduk masih meremang karena keganjilan yang mereka rasakan.

Aliran listrik memang padam, hal itu bisa segera terlihat dari temaram cahaya dalam ruangan yang hanya mengandalkan matahari senja. Namun seharusnya bangunan berisi ratusan siswa dan staf sekolah, ditambah para petugas keamanan, tidaklah sesepi itu.

KRRRSSSKKK!!!

Gemerisik suara dari radio transchiever milik seorang petugas yang berpangkat paling tinggi di situ memecahkan keheningan.

"Perhatian, semua pelaku ancaman teror berhasil diamankan ... Seluruh unit diharap untuk meneruskan proses pengungsian sampai dengan situasi dipastikan aman dan terkendali!"

Suara transmisi diakhiri dengan suara gemerisik lagi lalu berbagai ungkapan kelegaan bergantian muncul ke permukaan. Sepertinya selama detik-detik keheningan tadi hampir semua yang ada ikut menahan napas masing-masing.


***


Keesokan paginya Si Ketua Kelas memulai hari dengan terlambat. Dia dan banyak teman sekolah yang lain baru mencapai rumah masing-masing menjelang tengah malam. Sekolah diliburkan untuk sementara jadi orangtuanya membiarkan dia bangun lebih siang.

Masih belum percaya dengan apa yang dia alami kemarin, anak laki-laki itu duduk di kursi makan, di mana sarapannya—walau hari sudah cukup siang, tertata di atas meja. Kantuknya masih belum hilang, malah dia merasa lebih lemas dari biasanya.

"Kalau tidak ada nafsu makan, setidaknya minumlah sesuatu!" Ibunya memerintah dari balik tumpukan kacang kapri yang sedang beliau kupas untuk masakan makan malam nanti.

Dia kurang merasa senang ibunya bisa menebak dengan tepat apa yang dia rasakan. Walau begitu, dengan patuh dia mengambil gelas, menuangkan susu dingin ke dalamnya dari botol kaca dan mulai meneguk.

Lembutnya susu dingin, meluncur nyaman melewati lidah dan kerongkongannya. Rasa manis samar yang tertinggal di ujung lidah membuat dia meneruskan tegukan selanjutnya dengan rakus, hingga isi gelasnya habis. Segar sekali! Segera saja dia menuangkan kembali gelas susu berikutnya.

Setelah menghabiskan sebotol besar susu dingin, Si Ketua Kelas bersandar kekenyangan pada kursinya. Perasaannya jadi jauh lebih ringan dari sebelumnya.

"Tadi pagi orang dari pemerintah kota datang," ibunya memulai dengan pandangan sepenuhnya pada kacang polong yang sedang dikupas. "...Karena musibah kali ini, sekolahmu masih akan diliburkan hingga enam hari kedepan. Oh, jangan khawatir ... Semua materi pelajaran selama seminggu akan dijadikan PR jadi kau tidak perlu ketinggalan pelajaran dibanding anak sekolah lain!"

Kalimat terakhir ibunya itu diucapkan dengan riang, seolah mereka baru saja dapat bonus hiburan atau semacamnya. Dia tidak menyangkal tetapi dalam benaknya timbul pertanyaan lain yang terasa lebih penting daripada urusan akademis.

Bagaimana dengan keselamatan teman-teman sekolahnya yang lain? Apakah ada korban? Bagaimana dengan Dean dan teman-teman dekatnya?

"...Ibu, koran pagi ini...?"

"Dibawa ayahmu," jawab ibunya pendek, terdengar sedikit ketus.

Dia tahu bila ibunya sudah menjawab dengan nada seperti itu, percuma menanyakan lebih lanjut. Bahkan hingga berminggu-minggu berikutnya, beliau tetap terlihat tidak senang bila ada yang menyinggung soal peristiwa teror yang dialaminya di sekolah sore itu.

Seminggu kemudian, Si Ketua Kelas baru mengetahui dari obrolan teman-teman sekelasnya bahwa Dean dan teman-teman dekatnya menjadi korban. Dean dan seorang pemuda bernama Theo harus mengundurkan diri dari sekolah akibat luka yang terlalu parah. Julie, satu-satunya perempuan dalam grup mereka, lukanya tidak seberapa tetapi mengalami tekanan mental hebat hingga harus dirawat di rumah sakit khusus.

"Lalu, gimana dengan anak laki-laki yang satu lagi?" tanya Si Ketua Kelas. Semua di sekelilingnya terdiam lalu menatap bingung padanya.

"Anak laki-laki?"

"Yang mana yang kau maksud ... Bukannya cuma ada Dean, Theo dan Julie?"

"Ooh, mungkin yang kadang-kadang mengekor pada Dean itu ... Yang rambutnya cokelat gelap?"

Kali ini giliran dia yang bingung. Sepanjang pengetahuannya, grup Dean memang terdiri dari tiga orang anak lelaki dan satu anak perempuan. Namun kini dia meragukan ingatannya karena tak seorang pun dari mereka ingat nama seorang anak lelaki yang terakhir.

Memanfaatkan posisinya sebagai Ketua Kelas, dia mendatangi staf TU dengan dalih untuk mengecek absensi siswa kelasnya. Staf TU terlihat sangat sibuk jadi sulit untuk menanyakan kepada beliau apa yang ingin dia ketahui.

"Kalau tidak salah Dean dan kawan-kawan pernah ditunjuk untuk bertanding mewakili sekolah, seharusnya namanya masih ada di papan mading. Kau coba cek saja di sana?" saran seorang teman sekelas Dean.

Namun ketika dia tiba di sana, semua pengumuman yang pernah terpasang di papan mading sudah diturunkan. Sebagai gantinya, ada beberapa pengumuman jadwal latihan penanggulangan bencana dan survival baru, serta jadwal pembangunan bungker tambahan.

Sebagai ketua kelas, dia memiliki kewajiban untuk mencatat pengumuman baru itu untuk disampaikan pada teman-teman sekelasnya. Benar, bukan waktunya untuk mencari tahu tentang orang lain yang tidak ada kaitannya. Dia memiliki tanggung jawabnya sendiri.

Si Ketua Kelas mengeluarkan buku catatan kecil dari saku seragamnya dan mulai mencatat.


*****

Right Eyeحيث تعيش القصص. اكتشف الآن