Chapter 14: Someone Else

Mulai dari awal
                                    

 

Esok paginya, aku pergi menuju studio dengan mata bengkak. Aku tidak menyadari betapa banyaknya aku menangis kemarin malam. Rasa penyesalan itu masih tidak hilang juga. Aku sudah berusaha untuk megalihkan pikiranku dengan bekerja, tapi baru kali ini kerja tidak dapat membuatku lupa akan kejadian kemarin.

 

“Ya ampun. Muka lo kenapa?” Tanya Sella.

 

“Kenapa emang muka gue?” Tanyaku tidak tahu. Padahal sudah dengan jelas terlihat bahwa mataku bengkak karena menangis semalaman.

 

“Mata lo kayak disengat tawon.” Kayanya. Apa mataku memang terlihat separah itu? Aku segera pergi menuju dapur dan megompres mataku dengan es. Aku kembali ke dalam ruangan kerjaku masih dengan es di salah satu mataku. Aku mengompres kedua mataku sampai tidak ada lagi yang bengkak.

 

Handphone-ku bergetar saat aku sedang sibuk meng-edit video. Aku melihat layar handphone-ku dan segera merasa kesal. Baru saja aku tenggelam dalam pekerjaanku dan melupakannya untuk sesaat, laki-laki itu ternyata sudah muncul lagi. Aku terlalu malas untuk berbicara dengannya. Untuk apa dia menghubungiku setelah berminggu-minggu menghilang? Apa dia ingin mengundangku ke perkawinannya? Jangan bercanda. Aku tidak akan sudi untuk datang. Aku membalikkan sisi handphone-ku dan melanjutkan pekerjaanku. Tiba-tiba saja telepon dari kantorku berbunyi. Aku melihat bahwa itu adalah telepon sambungan dari Sella.

 

“Hallo Sel, kenapa?” Tanyaku.

 

“Julian mau ngomong sama lo.” Kata Sella. Kenapa laki-laki itu tidak bosan untuk menggangguku. Baru saja dia meneleponku lewat handphone, sekarang dia menelepon Sella. Apa maksdunya menggangguku terus-terusan sedangkan dia sudah punya perempuan lain?

 

“Bilang aja gue ngga ada.” Kataku ke Sella.

 

“Gue bisa denger omongan lo.” Aku mendengar suara Julian. Ternyata teleponnya sudah terhubung dengannya. Crap! Kenapa sih Sella ngga bilang-bilang?!

 

“Lo mau apa lagi?” Tanyaku mengganti topik.

 

“Gue butuh bantuan lo.” Kata Julian. Dia meneleponku hanya saat dia butuh bantuanku sekarang. Dasar menyebalkan.

 

“Gue lagi sibuk ni.” Kataku menolak.

 

“Jadi gitu, setelah gue sering bantuin lo dulu, sekarang gue dibuang gitu aja?” Katanya menusuk. Aku baru sadar bahwa aku memang belum membalas semua perlakuan baiknya itu. Mulai dari masalah aku mabuk dulu, lalu dikerjai oleh penggemarnya, dan juga masalah stalker itu. Aku akhirnya mengeluarkan nafas panjang dan memutuskan untuk menyetujuinya setelah menimbang-nimbang.

 

“Iya-iya. Gue luangin waktu deh. Ada apa?” Tanyaku

 

“Tar gue kasih tau deh. Gue jemput lo sekalian makan siang ya.” Kata Julian. Apakah aku harus menghabiskan waktuku siang ini bersamanya? Aku tidak yakin aku akan tahan melihat mukanya nanti. Walaupun begitu, aku harus menyetujuinya karena bagaimanapun juga aku berhutang budi padanya.

Possessive LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang