Pecahan [1] Aku Pulang

187 38 9
                                    

Stasiun berikutnya Jakarta Kota, mohon perhatikan barang bawaan anda agar tidak tertinggal. Stasiun berikutnya Jakarta Kota.

Suara pengumuman kereta itu membuat Mirita segera bangkit dari tempat duduknya. Tubuhnya bersemangat walaupun menempuh perjalanan kereta jarak jauh sejak sore dari Bandung, dan menyambung rute commuter line dari Pasar Senen. Lengannya dengan cekatan menurunkan koper ramping kecoklatan dari atas rak barang.

Pintu akan segera dibuka, hati-hati melangkah.

Mirita tersenyum lebar ketika dirinya berhasil menjejakan diri di Stasiun. Setelah ini ia harus menyambung transportasi online, namun ia memutuskan untuk istirahat sebentar dan mengabari keluarganya bahwa ia sudah sampai.

Seketika tersambung, suara bising televisi menghajar telinga Mirita bersama dengan suara Ibunya yang lembut. "Halo Rita? Kenapa telepon mau curhat?"

"Halo. Ma. Aku sudah sampai di stasiun kota, sebentar lagi bakal sampe, jangan kunci pintu dulu," katanya setelah dering teleponnya terhubung.

"Oh, Kamu pulang? Udah di stasiun kota? Mama kira kamu keasikan kuliah di Bandung," canda Ibunya di telepon.

"Loh? Rita pulang? Kok nggak bilang? Mau papa jemput di stasiun?" tawar Ayahnya yang ikut mendengarkan percakapan.

"Pulang dong Ma. Kan kangen. Oh Papa nggak usah jemput, aku tinggal pesen ojol aja kok ini."

Keheningan panjang menyapanya.

"Pa? Ma?" Mirita memanggil karena suara bising televisi pun ikut menghilang.

"Rita, jangan pulang," suara Mama berbisik pelan.

Panggilannya terputus dengan dentuman keras yang membuat Mirita menjauhkan ponsel dari telinganya, "Ah!"

Mirita merinding. Tubuhnya membeku sepersekian detik sebelum akhirnya kembali berfungsi dan beranjak pulang dengan hati yang kalut.

Setibanya di rumah, kobaran api telah membakar nyaris seluruh rumahnya, tetangga-tetangganya panik membantu memadamkan api, sementara pemadam kebakaran baru tiba.

Mirita yang mencoba berlari masuk ditahan oleh beberapa orang yang bahkan tidak Mirita kenali karena tumpukan air mata di pelupuk matanya.

🌕☀️🌕

"Aku pulang," gumam Mirita pelan.

Kedua mata coklatnya menatap kosong tumpukan abu di rumahnya. Bahkan tidak ada perabot yang masih terlihat bentuknya, apalagi potongan tubuh manusia kedua orang tuanya.

Rambut hitam sebahunya tertiup angin berantakan.

Apinya berhasil menyambar ke dua rumah tetangganya, beruntungnya kedua rumah tersebut memang sedang kosong, Korban jiwa dari kebakaran ini hanyalah kedua orangtuanya.

Satu-satunya keluarganya.

Petugas pemadam yang baru saja selesai memadam api selama satu jam terakhir, menghampiri Mirita yang bergeming tanpa suara. "Mbak?"

Panggilan itu menyentaknya. Ia jatuh terduduk bahkan sebelum para tetangga bisa bereaksi untuk menangkapnya.

"Uh." Mirita menangis hebat begitu lama. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Kedua orang tuanya sebatang kara. Ia tidak punya kerabat yang bisa dihubungi.

Setelah itu entah bagaimana prosesi pemakaman dilakukan. Tidak ada yang Mirita sadari jelas walau hari sudah berganti, intinya tetangga-tetangganya sangat membantu dan menawarkannya tempat tinggal sementara.

Entah mengapa Mirita menolak mereka dan berkata akan tinggal di rumahnya saja.

Rumahnya yang telah tidak bersisa.

"Di rumah Nenek saja ya? Temani Nenek untuk sementara ini," sentuhan tangan dari salah satu tetangganya yang hidup sendirian di usia tua terasa hangat.

"Nek Ita." Mirita akhirnya bisa mengenali seseorang dengan matanya. Ia adalah wanita baya yang seringkali kedua orangtuanya ajak makan malam bersama. Rumah mereka hanya terpaut satu blok dan sup ayam hangat kreasi Nek Ita dan Ibunya juga sangat lezat.

Mirita mengangguk pelan. Tangan lembut itu menepuk-nepuk pundaknya Mirita, menenangkan jiwanya yang masih terhenti di percakapan telepon kemarin.

Kebakaran kemarin dinyatakan akibat korsleting listrik, namun dentuman keras apa yang ia dengar di stasiun? Misteri itu masih menghantui Mirita bahkan setelah ia berhasil mendapatkan satu set kasur lipat dan selimut di ruang tamu Nek Ita.

"Rita, kamu boleh tidur di kamar Nenek loh," tawar Nek Ita selepas Mirita berhasil menyeret dirinya untuk mandi.

"Nggak usah Nek, di sini saja udah nyaman kok, makasih ya." Mirita menolak dengan lembut. Sejujurnya karena ia ragu akan bisa tidur dan takut mengganggu ritme tidur Nek Ita jika mereka berada di kamar yang sama.

🌕☀️🌕

Happy birthday Rita! Happy birthday Rita!

Mirita dengan rambut ikat kembarnya melompat-lompat senang. Ia akhirnya bisa merayakan ulang tahunya dengan ramai bersama teman-teman sekolahnya di bangku kelas 3 SD.

Sebenarnya kedua orang tuanya bekerja keras menabung untuk mewujudkan hari ini. Apalagi tahun lalu Mirita mengeluh karena ulang tahunnya selalu hanya dirayakan bertiga. Rita kecil itu iri dengan teman-temannya yang selalu merayakan ulang tahun dengan ramai dan banyak hadiah dari keluarganya.

"Rita sayang, tahun depan gimana kalau kita rayain ultahnya kamu bareng temen-temen di sekolah?" Ibunya menenangkan anak itu lembut.

"Kenapa? Mirita nggak punya keluarga?" Saat itu Mirita merajuk karena salah satu temannya baru memamerkan foto ulang tahunnya yang ramai bersama dengan sepupu-sepupu dan keluarga besarnya.

"Eh jangan bilang gitu, Mama dan Papa kan keluarganya Rita." Kedua mata mereka yang saling memantulkan cahaya satu sama lain saat itu terasa sedikit canggung.

Tentu Mirita tidak mengerti perasaan ganjilnya saat itu, tapi sekarang sepertinya ia bisa membaca kesedihan dari Ibunya yang dibuang oleh kedua orang tuanya yang berpisah dan melupakannya di masa lalu.   

KalopsiaWhere stories live. Discover now