"Pasti!" aku menyetujui dengan mantap. Meskipun bersusah payah, aku mampu membuat nada suaraku terdengar lebih ceria. "Kau bisa selalu datang ke sini atau aku yang akan mengunjungimu ke Seoul."

Jihoon memberikanku anggukan yang disertai dengan senyum lemahnya. Lalu...

"Kau..." Jihoon terdiam sejenak, seperti sedang bingung dalam memilih kata-katanya. "Apa kau tidak ingin bertemu teman-teman yang lain sebelum kepergianmu?"

Tentu saja aku dapat menangkap maksud Jihoon dengan kata 'teman-teman' ini, yang artinya ia juga memasukkan Choi Seungcheol di dalamnya. Hanya saja aku memilih untuk pura-pura tidak mengerti—sebisa mungkin menghindari topik pembicaraan tentangnya—dan berkata dengan nada yang diselimuti kekecewaan, "Sejujurnya aku ingin bertemu mereka. Sayangnya kemungkinan itu menurutku hampir tidak ada."

Dengan kata lain aku masih merasa takut jika harus bertemu dengan teman-teman di Iris dalam waktu dekat ini. Apa yang harus kujawab jika mereka bertanya tentang alasan kepindahanku yang tiba-tiba? Ekspresi apa yang harus kutunjukkan jika obrolan-obrolan mereka nantinya adalah seputar Seungcheol dan 'terduga pacarnya' yang sekarang? Apa yang harus kukatakan pada mereka jika mereka mulai menangkap keanehan yang terjadi antara aku dan Seungcheol?

"Oh..." gumam Jihoon lemah. "Baiklah. Aku hanya bertanya."

Aku tidak menyahut, dan membalas Jihoon dengan sebuah kendikan bahu yang mengisyaratkan kelelahanku. Untuk beberapa saat kami hanya saling berpandangan, sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan ekspresi kesedihan dan penyesalan di wajah kami masing-masing. Kami sedang berusaha saling memahami dalam diam, atau lebih tepatnya Jihoon sedang menunjukkan sikapnya yang berusaha memahamiku, sementara aku menunjukkan penyesalan untuk segala sesuatu yang terjadi padaku yang membuatnya ikut terlibat.

Kali ini giliran Jihoon yang menghela napasnya, panjang dan begitu berat. Dengan gerakan yang hampir bersamaan kami berdua sama-sama memalingkan wajah, kembali membisu sambil memandangi langit-langit kamar.

Lagi-lagi keheningan di antara kami terjadi. Hanya terdengar napas berat Odie dan Cheol yang sedang tidur di karpet bawah yang mengisi kekosongan kamar ini. Lalu setelah sepuluh menit penuh lamanya tiba-tiba terdengar suara pelan dari ponsel Jihoon, membuatku menoleh padanya dengan ekspresi bertanya.

Jihoon meraih ponsel yang ada di sampingnya dan mengangkat ponsel itu tepat di atas wajahnya. Ia mengamati sejenak layar ponsel yang menyala itu, mengetikkan sebuah balasan, sebelum kemudian kembali meletakkannya, kali ini di atas dada. Tanpa menoleh kearahku ia bergumam, "Dari Soonyoung."

Aku terkesiap, baru menyadari kalau selama satu jam lebih ini Soonyoung belum juga kembali dari acaranya ke supermarket. Padahal apabila dihitung jarak dari rumahku ke supermarket terdekat jika ditempuh dengan berjalan kaki hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit saja, paling lama lima belas menit. Segera aku mengangkat badanku ke posisi duduk, dengan panik menatap Jihoon yang masih berbaring. "Kenapa Soonyoung belum juga kembali? Apa dia mengalami kesulitan? Atau tersesat?"

Memutar bola matanya, Jihoon mengabaikan sikap cemasku. "Dia mengirimkan pesan padaku untuk memberi tahu kita kalau sudah dari beberapa menit yang lalu dia ada di kamar sebelah," Jihoon menjawab dengan begitu santainya.

Ekspresi panikku digantikan oleh kerutan bingung. "Kenapa Soonyoung tidak datang menemui kita kalau memang sudah pulang dari supermarket sejak tadi?"

Sambil membalas menatap tepat di mataku Jihoon menjelaskan dengan suaranya yang pelan, "Dia ingin memberikan waktu pada kita untuk berbiara."

Terdiam sejenak, aku membutuhkan waktu hampir satu menit untuk mencerna ucapan Jihoon sebelum bertanya dengan nada ragu, "Maksudmu Soonyoung tahu mengenai masalahku dan Seungcheol?"

Bunga Iris dan TakdirWhere stories live. Discover now