"Untuk mengobati rasa rindumu, bagaimana jika kita ke pemakaman Ayah dan Ibu? Setidaknya kau bisa merasa lebih baik."

Raina menatap Fandi sendu, matanya sembab dengan hidung dan pipi yang memerah. Rambut panjangnya terlihat berantakan.

"I-iya kak, ayo kita ke pemakaman mereka." jawabnya dengan suara lirih namun antusias. Mungkin mengunjungi makam orang tuanya akan mengobati sedikit kerinduannya.
.
.
.
.
"Ayah..Ibu..Raina dan kak Fandi datang." ucap Raina di depan makam orang tuanya.

Fandi menatap adiknya yang kembali meneteskan air mata membuatnya juga sedih.

Raina menoleh ke arah Fandi disampingnya, "Kalian jangan mengkhawatirkan kami. Sekarang kak Fandi telah menjadi seorang detektif yang hebat seperti Ayah dulu. Dia telah menangkap psikopat X yang telah membunuh kalian." ucapnya sendu dengan mengusap air matanya yang mengalir semakin deras.

Fandi hanya mengangguk, ia terdiam mendengarkan tiap kata yang dilontarkan Raina. Sesekali ia mengusap air matanya yang entah sejak kapan mulai menetes.

"Raina janji, Raina akan jadi anak yang bisa membanggakan kalian. Maafkan Raina, Yah..Bu..karena Raina berteman dengan anak dari psikopat yang telah membunuh kalian. Raina memang salah, Raina menyesal, maafkan Raina. Raina benar-benar..." ucapnya terhenti.

Tak terdengar lagi suara Raina yang berbicara. Ia menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya. Bahunya bergetar. Terdengar suara lirih dari tangisannya. Ia tak kuasa membendung air matanya lagi.

Seketika Fandi langsung menghampiri adiknya, merangkulnya dengan menepuk pelan punggungnya. Tak lama kemudian ia menarik tubuh Raina agar berhadapan dengannya. Kedua tangan Fandi memegang kuat lengan Raina. Mereka sedang berhadapan, namun Raina masih menundukkan kepalanya. Ia masih terisak.

"Rain.." ucap Fandi.

Gadis itu tak bergeming. Ia masih menunduk dengan suara tangis yang kian mengecil.

"Rain lihat kakak. Tegakkan kepalamu sekarang!" perintah Fandi dengan tatapan serius ke arah adiknya.

Raina mendongakkan kepalanya. Ia menatap Fandi lekat. Matanya memerah dengan beberapa air mata yang masih menetes.

"Rain dengarkan kakak. Semua ini sudah terjadi. Kau jangan menyalahkan dirimu sendiri. Hanya karena kau berteman dengan Jovan, anak dari pembunuh orang tua kita, kau jadi terus-menerus dalam fase penyesalan." jelas Fandi. Ia menekankan tiap kata yang diucapkannya.

Raina masih terdiam menatap Fandi.

"Hei Rain..memangnya siapa yang tak pernah berbuat kesalahan? Siapa yang tak pernah menyesal? Semua orang pernah mengalaminya, meskipun sulit tapi kau harus bisa melewatinya. Dunia tak bisa terus-menerus di pihakmu dengan cara kau tak pernah menyesali sesuatu."

"Berteman dengan anak dari seorang pembunuh orang tuanya sendiri itu bukanlah keinginan semua orang. Itu bukan kehendakmu. Kau memang tidak tahu awalnya. Bahkan tidak bisa mengingat juga mengenali pelaku saat di sekitarmu juga bukan kesalahanmu Rain. Jadi berhenti menyesal, berhenti menyalahkan dirimu. Kau tidak salah. Tidak pernah salah. Yang salah adalah mereka yang telah menghancurkan hidup kita. Menghancurkan tiap harapan kita untuk terus bersama Ayah dan Ibu."

"Tapi kak...setiap kali mengingat Jovan dan Ayahnya, ingin rasanya aku membalaskan rasa sakitku. Tapi aku tidak bisa..." ucapnya dengan suara serak.

"Biar kutanya. Kenapa kau tidak bisa membalaskan dendam atas rasa sakit juga penyesalanmu pada Jovan ataupun psikopat itu?"

"Karena...jika aku melakukannya, dunia ini tidak akan pernah melihat perbedaan antara dia dan diriku."

"Kau gadis pintar Rain. Kakak percaya Ayah dan Ibu akan bangga memiliki gadis sepertimu. Juga sahabatmu Ersya pasti akan senang melihatmu berpikiran seperti itu. Jika kau mengedepankan egomu dengan membalas dendam, artinya kau sama dengan psikopat itu."

X dan DiaWhere stories live. Discover now