1. Kelihatan, Marka.

50 0 0
                                    

Marka's point of view.


Namanya Safir. Pegawai baru. Aku tak sengaja bertemu dengannya di pantry kantor.

"Hai." Katanya.

"Oh hai." Kataku menoleh ke belakang. Aku diam. Safir juga diam.

Namun, tiba-tiba, aku merasakan Safir tersenyum. Aku tak melihat ke belakang, tapi aku yakin dia tersenyum. Aku tidak tahu mengapa. Mungkin aku memiliki gaya rambut yang aneh, atau kemejaku kusut, atau apa pun itu, aku merasa tidak begitu nyaman. Hatiku risak. Aku hanya berdoa tupperware-ku penuh, lalu segera pergi.

Esok harinya, aku kembali melihat Safir. Dia duduk khusyuk di depan komputer. Aku sedikit bingung melihatnya datang sepagi ini, tetapi sudahlah, bukan urusanku.

Di tengah-tengah langkahku melewati mejanya, Safir melihatku.

Aku menatap langit-langit dan terus berjalan. Aku tidak berbasa-basi menyapa. Kupikir tak apa, toh kita tak sedekat itu

Seharian ini, sama seperti hari biasanya, aku habiskan waktu sebenar mungkin. Aku sesekali melihat berita di TV dinding yang dibiarkan menyala dengan volume kecil. Kadang, aku juga turun lantai merokok di balkon lantai satu, sesekali ke pantry untuk membuat teh atau tetap duduk sambil sesekali tertawa dengan guyonan stensil teman-temanku.

Kadang aku juga melihat Safir.

Dua hari di kantor yang sama, aku tahu kalau Safir begitu ceria. Semua temanku suka berbicara dengan Safir. Kadang aku berpapasan di lobi kantor atau selepas kerja ketika menunggu bis Transjakarta.

Safir sering membersamaiku di bis. Rumahnya di Depok. Aku tinggal di Bekasi. Jadilah satu bisa di satu rute jalan.

Safir selalu menyapa ketika bertemu, "Sendirian, Marka?"

Safir sangat ekspresif. Saat dia bahagia, semua orang tahu. Saat hatinya luka, dia jadi pendiam. Saat sebal, dia tidak bisa diam. 

"Zaman sekarang nih, cuma modal punya motor aja, udah bisa dapet SIM! Mending kalau lulus ujian. Mereka enggak, Marka! Mereka nembak! Nembaaak!"

"Nembak gimana?" Tanyaku. 

"Ya gitu, mereka cuma nyumpel duit! Tanpa ujian. Tanpa panas-panasan muterin letter 8!"

"Lagipula, polisinya juga korup! Bocah gak becus pake motor, pun gak paham lalin, bisa-bisanya dibiarin riwa-riwi! Nanti sekalinya nabrak lalu masuk RS, baru deh keluarganya bingung, nanya sama Tuhan kenapa dikasih cobaan seberat itu."

"Lah, kalau udah hidup bener terus masih dikasih masalah, itu baru namanya ujian! Nah, ini kan masuk RS gegara ngeyel, gak tertib aturan, disengaja, kok ya pede-pedenya nanya Tuhan. Harusnya ngaca!"

Safir ini orang Jawa. Aku gak pernah tanya, dia sendiri yang bilang.

Aku dan Safir berbeda divisi. Namun, aku selalu bisa mendengar obrolan dan ketawanya Safir. Aku tak punya niat menguping, aku hanya can't help but to hear them. Suaranya agak keras, tidak mengganggu, hanya terdengar.

"Marka, keluar yuk!" Robi menghampiri mejaku sambil menggerutu.

Oh iya. Aku punya teman dekat. Teman dari SMP. Namanya Robi. Robi dan aku kebetulan satu divisi. Sama seperti Safir, Robi juga supel. Robi suka nongkrong. Dia suka mengajakku nongkrong. Frekuensinya semakin parah saat ada Safir. Temanku yang lain juga sama. Sejak ada Safir, mereka jadi makin giat ngarang acara. 

Safir cantik, kata mereka. 

Hari ini sama, Robi kembali mengajakku nongkrong. Padahal percuma, jawabanku tak pernah berubah. Aku selalu tidak bisa, bukan, tidak mau.

Aku tak suka nongkrong. Tak ada gunanya. Nongkrong ini ramai dan hiruk. Aku berasa mau tenggelam. Aku lebih suka bermain dengan Chiko, kucing persia milik Papa, atau Mercy, anjing Siberian Husky yang punya Mama. Robi bilang aku antisosial, padahal aku cuma antinongkrong. Aku suka sendirian, tapi sumpah, aku tidak kesepian.

"Ada laporan yang harus aku liat. Duluan aja." 

Aku bukan tak mau main, aku hanya gak mau main seperti Robi. Nongkrongnya Robi tidak sesederhana ngopi santai lalu pulang. Definisi nongkrong Robi adalah keluar gerbang kantor lalu mabuk.

"Elah. Kerja mulu. Kapan dapet ceweknya lu!" Robi masih ngomel.

Duh, jangankan punya pacar. Aku sendiri tak yakin ada perempuan yang mampu bertahan denganku. Aku tak punya pengalaman banyak. Terakhir kali pacaran SMA kelas 2. Aku dan Nanda, mantan pacarku, putus di semester dua kelas 3. Nanda yang minta putus. Katanya, aku terlalu baik. Aku hanya ketawa. "Terlalu baik" bukan alasan yang pas buat mencampakkan. "Terlalu baik" cuma kata "membosankan" yang dibungkus santun dan hati-hati.

Nanda baik. Dia tidak mungkin mengatakan "Kamu membosankan, Marka." 

Setelah Nanda, aku tak lagi merasa harus punya pacar.

"Pokoknya elu harus ikut." Robi berbalik pergi.

Sial.

Robi menelponku puluhan kali. 

Ada beberapa skenario di kepala. Mulai dari Chiko yang tiba-tiba diare dan Mama memintaku membawanya ke dokter, hingga nenekku yang datang jauh-jauh dari Sumatera dan harus kujemput.

Setelah beberapa kali melatih ekspresi muka dan menegaskan niat, aku keluar bilik toilet dan bergegas mencari Robi.

Namun, baru beberapa langkah keluar toilet, suara Safir tiba-tiba memanggil.

"Marka!"

Aku terpaksa berhenti karena dia berhenti tepat didepanku. Safir juga nampak terburu. Mungkin dia juga ikut nongkrong? Entahlah.

"Robi tadi nyari kamu. Gak pergi?"

"Eh, iya. Ini mau ketemu Robi, kamu ikut juga?" 

Safir menggeleng "Enggak. Aku masih ada kerjaan. Tapi tadi Robi kayaknya bingung nyariin kamu. "

Aku bisa bayangin. 28 missed call from him.

"Okey. Aku juga buru-buru nih. Duluan ya." Kataku bergegas.

Belum jauh berjalan, Safir kembali memanggil, aku menoleh ke arahnya.

"Aku tahu kamu sedang terburu, tapi naikin dulu risletingmu. Kelihatan, Marka."

Safir menahan tawa lalu melihat atap. Aku melihat Safir lalu melihat ke bawah.




Tuhan.

Markaaa, Aku Padamu!Where stories live. Discover now