Terpaksa aku menyetujui. Daripada ribet urusannya, padahal jarak antara pertigaan tugu dengan lereng gunung putri ini tak terlalu jauh, paling juga tiga kiloan, sebenarnya kalau jalan kaki lewat jalan kampung malah lebih cepat, tapi sudahlah.

Motor ojek mang Sofyan segera mengantarku, motor itu menggerung-nggerung, karena jalan aspal yang sudah rusak di sana-sini itu, lubang-lubangnya penuh dengan air bekas hujan semalam.

Jalan yang ku lewati ini sebenarnya telah diperbaiki berkali-kali, tapi uang untuk perbaikan jalan kebanyakan disunat sini, maka imbasnya jalanan hanya diperbaiki seadanya, jadi ya begini, baru beberapa hari kelihatan halus, jalanpun akan rusak lagi.

Akhirnya nyampai juga, baru saja ojek ku bayar, dan mang Sofyan berlalu, hpku bunyi, segera ku angkat, suara Macan dengan nada bahagia.

“Ian syukur, adikku tak jadi dioperasi, dah sembuh, dan sudah diijinkan pulang, makasih ya Ian…”

“Wah jangan berterimakasih padaku, kita kan cuma berusaha, kesembuhan ada di tangan Allah jua. Bersyukurlah pada-Nya.”

“Iya… iya… wah ceramah terus..”

“Eeh uangku, kamu masukkan sakuku, tanpa setahuku ya Can?” tanyaku ketika ingat uangku ada di saku.

“Ah enggak, ini masih ku pegang, iya… iya.., nanti aku kembalikan, sekarang ku pinjam dulu.. Jangan kuatir..” nadanya serius, setahuku Macan orangnya tak suka main-main, kalau bilang a ya a kalau bilang b ya b.

Lalu kenapa ada uang di sakuku..

Para santri segera menyambutku, dan bersalaman mesra, mereka-mereka seperti saudara-saudara kandungku.

“Mas Ian udah ditunggu kyai.” kata Mujahidi,. Bibirnya masih seperti dulu, dikelotoki karena sariawan, sehingga kelihatan jontor sana-sini, wajahnya juga makin banyak lubangnya bekas jerawat batu dipenceti, malah lebih kelihatan seperti kayu dimakan rayap, yah biarlah itu kesenangannya sendiri.

Aku segera berlalu, kulihat kyai berdiri di bawah pohon melinjo, aku segera menghampiri, dan bersalaman mengecup tangannya dengan takzim.

“Bagaimana, Macan tak mau?” tanya kyai. Sambil mengajakku duduk di kayu pohon sengon yang telah mengering, dan telah tumbuh jamur di sana-sini, jamur kecil-kecil berwarna kuning kemerahan.

“Dia tak mau kyai….”

“Ya sudah kalau tak mau, nanti kamu menjalani sendiri, kamu sanggup, menjalani laku gila?”

“Sanggup kyai..” jawabku mantap, “Sekarang pun kalau kyai memintaku berangkat, aku akan berangkat kyai…”

“Tak usah buru-buru, mungkin sebulan lagi…, nanti setelah sholat ashar, kamu aku baiat, dan nanti malam mulai melatih ilmu rogo sukmo…”

“Bagaimana aku melatih ilmu itu kyai? Sedang aku tak punya…” tanyaku meragu.

“Ilmu itu telah ada dalam dirimu, hanya kau tak tau, nanti kalau ingin melepas sukma baca ini…” kyai membisiki telingaku.

“Wah cuma dua lafat itu kyai..” tanyaku heran.

“Iya cuma itu, dan bayangkan tempat yang akan kau tuju…” kata kyai.

“Apakah ada pantangannya kyai?”

“Tidak, tidak ada pantangan, tapi hati-hatilah, karena bila merogo sukmo, kau akan melihat aneka macam mahluq Alloh, dan kalau bertemu jin fasik, pasti akan berantem, kalau kau merasa tak mampu lebih baik menghindar, dan jika kau butuh sesuatu di alam sukma, bayangkan saja dengan hayalmu…”

Penguasa Alam GhaibWhere stories live. Discover now