M

41.8K 6.4K 858
                                    

mohon maklum kalo ada typo. Ini baru fresh diketik.

***

"32 hot dog! Luar biasa! Si cantik pendek inilah pemenangnya!"

Agni meneguk air dengan susah payah sambil menahan sesak di dada. Bukan sesak karena dikatai pendek, tapi karena melahap 32 hot dog adalah hal paling gila yang pernah ia lakukan di sepanjang tujuh belas tahun hidupnya yang brilian.

Sementara di samping Agni, Jero berkacak pinggang kesal. Satu medali sudah melingkar di lehernya, hasil mengalahkan Agni di booth Boxing Machine, sedangkan satu medali baru saja melayang dari tangannya.

"Curang tuh, Mas," serunya pada pemilik booth Lomba Makan Hot Dog. "Dia makannya sambil minum, sementara saya sama sekali nggak minum."

"Lah memang dari awal nggak ada peraturan nggak boleh minum," jawab si bapak sambil mengalungkan medali emas pada Agni yang mulai sempoyongan.

Jero melempar sisa hot dognya dengan kesal. Sial. Perut karetnya kalah dengan perut naga cewek ini.

Bapak itu menggeleng kepala sambil tersenyum. "Kalian ini pasangan yang lucu."

"Saya bukan pacarnya." Lalu ia menarik lengan Agni meninggalkan booth. "Gue nggak terima kekalahan gue. Lagian lo puasa berapa masehi sih, sampe kuat makan hot dog 32 biji?! Abis ini kita mau tanding apa lagi?"

Agni menggeleng pelan sambil memegang perutnya.

"Mau tanding Dance Revolution sama gue? Ayo!"

Agni mengibas panik, lalu menunduk.

"Lo kenapa sih? Woi?"

Masih sambil menunduk dalam-dalam, Agni berbalik dan menabrak Daisy yang baru saja tiba. Tabrakan mereka tidak terlalu keras, tapi Agni tahu-tahu mencengkeram kedua bahu Daisy dengan erat.

"Ni?" Daisy memandangi Agni kebingungan, lalu memberi lirikan marah pada Jero.

Jero langsung mengangkat dua tangan. "Wow, tunggu dulu, gue nggak apa-apain dia. Dia abis makan hot—"

Baru saja mendengar sepenggal kata hot dari hot dog, perut Agni langsung menggelegak hebat. Gadis itu membuang wajahnya ke samping dan memuntahkan semua isi perutnya di tengah keramaian lalu lalang manusia.

Pekikan jijik, tawa kelakar, serta gemuruh suara muntah saling bersahutan.

Dan semuanya hanya demi sebuah medali murahan yang bisa dibeli di pasar loak.

***

"Kabarin saya kalau sudah sampai."

"Paling masuk angin doank."

Daisy menoleh ke belakang, bergantian memandangi Alex dan Jero yang berdiri di depan pintu mobilnya. Ia menggigit bibir serba salah; kesal pada Jero karena telah membuat Agni muntah, dan merasa bersalah pada Alex karena rencana mereka mencari kaset vintage gagal.

Alex maju membukakan pintu mobil untuk mereka, lalu membantu Agni duduk di kursi belakang. Sesaat sebelum Daisy masuk ke mobil, tatapan mereka bertemu dan Alex melemparkan senyum tipis kepadanya.

Beruntung Agni sudah terlalu pucat dan mabuk untuk menangkap basah interaksi malu-malu kucing antar keduanya.

Begitu Pak Bagus melajukan mobil mereka, Daisy mengambil jaket dari laci dashboard dan mengenakannya pada Agni, dipeluknya bahu Agni yang gemetar. "Kenapa sih, Ni, bisa-bisanya kamu maksain diri makan hot—"

"JANGAN DISEBUT LAGIIIIII!"

Daisy terbelalak kaget. "Oke."

Agni tersengal-sengal menahan serangan muntah untuk yang kesekian kalinya, dan saat menunduk, ia melihat sepatu mahal Daisy kotor terkena muntahan. "Sori buat sepatu lo yang nggak paling murah itu."

Everything [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang