Wolulas; aku tahu

3.6K 654 75
                                    

Detik jam terus saja berputar, jarum mengarah pada angka dua belas dan sembilan dan Jihoon baru membuka buku riset farmasi miliknya—yang berisi tidak hanya daftar obat obatan, namun juga suplemen makanan dan kosmetik. Tebalnya buku membuat mata Jihoon mendadak berkunang - kunang. Apalagi, belakangan dia dan Jisoo sering sekali mendapat kegiatan tambahan yang membuat tubuhnya begitu lelah.

Karena tidak mau ketiduran di atas meja belajar, ia akhirnya mengambil jajanan di lemari pendingin, beserta satu kaleng soda. Bedebah, Jihoon sangat tidak peduli.

Drrt. Drrt.

Baru saja Jihoon hendak menikmati makan malamnya, ponsel yang tadi ia letakkan asal di atas ranjang, berdering. Ia menilik, lalu menyadari bahwa dokter marmut itu sungguh meneleponya. Dengan malas, ia menggeser tombol call di layar ponselnya.

"Kok lama banget sih ang—"

"Ya emang kenapa anjir? Lo gatau aja ini gue lagi ngapain,"potong Jihoon ketus. Ini sudah malam dan Soonyoung jelas jelas mengganggunya.

"Tau, lagi pusing kan sama daftar obat obat kamu? Yang bener ya racik obatnya, ini nyawa, bukan mainan."

Jihoon mendengar kekehan dari seberang ketika ia menjawab tebak tebakan Soonyoung dengan deheman, hipotesa Soonyoung memang benar, "Ini malem malem mau ngapain nelpon? Tadi siang jalan bareng gue belom puas?"

"Kamu lagi PMS ya? Ketus banget,"

"Sumpah Soonyoung," Jihoon berdecak kecil, "Kalau nggak ada hal penting, gue matiin,"

"Eh, ada yang penting tau. Kamu tau nggak aku hari ini lagi apa? Mau nemenin nggak? Aku juga lagi pusing nih,"

"Soon, udah ya, aku matiin, bye—"

"Kamu mau nggak jadi pacar aku?"

Jihoon kaget setengah mati dengan mulut menganga, jantungnya mau mencelos dari tempatnya, tangan yang mau neken tombol merah malah lemes, dia nggak habis pikir. Jihoon bukan tipe pria dramatis yang kalau ditembak sama orang lain bakal meraung - raung lalu terbang ke langit ketujuh, dia nggak seperti itu.

Tapi, kalau degupan di jantungnya itu, pertanda apa?

"Ji? Halo?"

Suara panggilan Soonyoung yang terlihat serius dan dewasa semakin membuat pipi Jihoon memerah. Ia membenarkan duduknya, mengatur napas, kemudian menjawab, "Pacar? Ma-maksudnya gue jadi pacar lo?"

"Bukan Ji, kamu jadi pembantu aku,"

"Soon!"

Tawa khas dari seorang Soonyoung keluar melalui speaker ponselnya. Aduh, anaknya Dokter Abimana Aryasatya Gumelar memang selalu sukses buat hati Jihoon menghangat.

"Jadi gimana?"

"Sebentar ya," Jihoon juga bingung, dia mau konsultasi ke kakak kakaknya dulu. Sementara, dia punya ide, enggak apalah kalau jahil sedikit, "Tapi gue punya syarat, ya sebagai bukti aja lo nggak main main sama omongan lo. Mau nggak?"

"Astaga, lulusan jekardah apa apa syarat, udah kayak sinetron aja kamu," ada jeda sebelum melanjutkan, "tapi aku terima deh. Apatuh?"

Sebelumnya, Jihoon nggak tahu harus buat syarat seperti apa. Tapi tiba tiba, terbesit ingatan beberapa tempo lalu yang membuatnya menyeringai penuh kemenangan.

***

Sudah jadi kebiasaan kalau Chan dinobatkan menjadi tukang editor kelas. Dari tiga puluh siswa dan siswi, dia yang paling rajin bedah aplikasi aplikasi semacam videopad, dan sebagainya. Apalagi, sekarang, dia harus mengedit scene yang akan dijadikan film kelasnya nanti. Memang, tugas sekarang nggak kaleng kaleng bro!

Choi Squadh [SVT] ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora