Seolah menjadi kebiasaan, tanpa mengatakan apapun lagi, Dennis meninggalkan ruang tamu menuju dapur.

Memasak mie instan adalah salah satu keahlian Dennis sejak memutuskan tinggal di sini. Kegiatan ini tidak membutuhkan otak hingga tanpa bisa dicegah, pikiran Dennis melayang jauh, memikirkan keluarga yang ditinggalkannya.

Sedang apa mereka sekarang? Apa ada yang memikirkan dirinya? Bagaimana reaksi mereka begitu tahu Dennis sudah keluar dari penjara tapi memutuskan pergi? Apakah mereka semua bahagia tanpa dirinya?

Ini bukan kali pertama pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul. Dan secepat datangnya, secepat itu pula Dennis akan menghalau pertanyaan itu menjauh. Tapi kini, kehadiran Ellen yang mengingatkannya pada Sintha membuat pertanyaan-pertanyaan itu bertahan lebih lama.

Suara langkah melompat dari ambang pintu dapur menarik kembali Dennis ke saat ini. Seketika raut kesalnya muncul menyadari Ellen benar-benar sama keras kepalanya seperti Sintha.

"Mau apa kau ke sini?" Dennis melotot seraya berkacak pinggang saat melangkah mendekati Ellen.

"Aku merasa tidak enak hanya duduk diam sementara kau memasak. Padahal aku sudah cukup merepotkanmu hari ini." Ellen menunjukkan tatapan menyesal.

"Kau malah semakin merepotkanku dengan datang ke sini." Lalu Dennis menunjuk kaki Ellen. "Seharusnya kau mengistirahatkan kakimu atau kondisinya akan semakin parah."

"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja," kata Ellen keras kepala lalu melewati Dennis menuju meja pantri. "Apa yang bisa kubantu?"

Kesal, Dennis menghampiri wanita itu lalu membungkuk. Ellen memekik kaget saat tubuhnya melayang dalam dekapan Dennis lalu bokongnya mendarat di atas kursi meja makan.

"Kau akan sangat membantu jika duduk diam di situ," desis Dennis memperingatkan dengan sorot dingin dalam matanya lalu beralih ke kompor. Airnya sudah mendidih dan Dennis mulai mengolah dua bungkus mie instan.

Ellen yang tadinya masih diliputi perasaan kaget perlahan tersenyum. Wajahnya merona. Hatinya menghangat berpikir mungkin Dennis mulai luluh. Apa Dennis mulai jatuh cinta padanya?

Baiklah, itu terlalu berlebihan. Tidak mungkin perasaan Dennis Anthony bisa berubah secepat dan sejauh itu hanya dalam waktu singkat. Tapi yah, bagaimana dia tidak berpikir demikian menyadari perhatian Dennis hari ini?

Lelaki itu tampak berbeda. Tidak berusaha mendorong Ellen menjauh lagi. Dan dia bahkan tak segan melakukan kontak fisik intim seperti tadi alih-alih bersikap kasar seperti terakhir kali mereka bertemu.

Suasana dapur hening selama Dennis memasak. Ellen juga memilih hanya memperhatikan dan tidak berusaha menjalin obrolan. Tapi tanpa bisa dicegah, otak liarnya kembali berkelana. Dan bertanya-tanya apakah Dennis akan kembali menggendongnya ke kursi depan meja makan?

Usai memasak, Dennis membawa dua mangkuk mie instan dan dua gelas air putih ke meja makan lalu duduk di seberang Ellen. Dia tidak mengatakan apapun dan langsung menyantap makan siangnya.

Ellen juga melakukan hal yang sama. Seumur hidup, berapa kali dia makan mie instan bisa dihitung dengan jari di satu tangan. Saat kecil, Bibi Missy selalu memastikan Ellen makan makanan sehat. Beranjak remaja, kegemarannya memasak membuatnya sama sekali tak melirik makanan instan. Apalagi kini setelah dia menjadi koki ternama. Makanan instan jauh dari jangkauannya.

Memikirkan Dennis hanya memiliki mie instan di dapurnya membuat rasa sesak muncul di hati Ellen. Apa ini rasa iba? Mungkin saja. Dia memang tak pernah bertemu penyendiri seperti Dennis hingga tak dapat menduga seperti apa kehidupannya.

Usai makan, Dennis berdiri hendak membawa peralatan bekas makan mereka ke bak cuci piring. Tapi Ellen buru-buru menahan tangan lelaki itu.

"Biar aku saja yang melakukannya."

"Tetap diam di situ!" tegas Dennis lalu menyentak lengannya dari tangan Ellen dan menuju bak cuci piring.

Ellen menghela napas pasrah dan memilih kembali duduk. Dia menunggu hingga Dennis selesai lalu berdiri lagi saat lelaki itu menghampirinya.

"Sebaiknya kita menunggu di depan," saran Dennis yang langsung diangguki Ellen. Lalu harapan Ellen menjadi nyata saat lagi-lagi Dennis membopongnya ke ruang tamu dengan mudah, seolah Ellen bukan beban berat.

"Kau sungguh manis hari ini." Ellen sungguh tidak bisa menahan lidahnya saat Dennis menurunkannya ke sofa.

Dennis tidak mengatakan apapun seraya duduk di samping Ellen karena sofa itu adalah satu-satunya tempat duduk di ruang tamu. Benaknya masih diliputi kerinduan terhadap sang adik. Dan hal itu semakin terasa kuat dengan kehadiran Ellen dan segala tingkah lakunya.

Sedang apa Sintha sekarang? Apa Xavier masih bersikap baik padanya? Sebesar apa keponakannya sekarang? Apa bocah itu masih ingat pada Dennis?

"Dennis!"

Dennis tersentak kaget mendengar seruan Ellen serta tepukan di pundaknya. Dia langsung menoleh ke arah wanita itu dengan raut bingung.

"Apa?!" tanya Dennis antara ketus dan kesal.

"Dari tadi aku bertanya dan kau diam saja. Ternyata melamun. Sedang memikirkan apa?"

"Bukan urusanmu!" sergah Dennis seraya meneguk whisky. "Keluargamu pasti khawatir," ucapnya kemudian untuk mengalihkan pembicaraan.

"Tadi aku sudah menghubungi Ellias. Aku bilang berada di rumah Sunny hingga badai berlalu."

Dennis tersenyum sinis. "Tidak berani mengakui sedang berada di rumahku, ternyata."

Ellen terdiam, lalu memilih menceritakan tentang reaksi ibunya saat mengetahui kedekatan mereka. "Ibuku sangat marah ketika mendengar gosip aku sarapan bersamamu. Lalu kemarin saat tahu aku pergi ke sini, dia lebih marah lagi dan bahkan berniat keluar dari rumah jika aku tidak berhenti menemuimu." Ellen menghela napas. "Aku sampai bertanya-tanya apa kalian pernah berselisih pendapat hingga Ibuku bersikap berlebihan seperti itu."

"Selama tinggal di sini aku tidak pernah berbicara dengan ibumu. Tapi menurutku dia cukup normal. Sudah sewajarnya menjauhi orang berbahaya sepertiku. Kau saja yang tidak normal."

Tawa Ellen lepas mendengar hal itu. "Itu berarti aku cukup unik."

Dennis hanya mendengus lalu kembali terdiam.

"Hmm, apa kau masih memiliki keluarga?" tanya Ellen, tidak bisa menahan rasa penasaran.

Dennis diam. Pandangannya tetap lurus ke depan.

Ellen tahu Dennis bukannya melamun seperti tadi. Dia hanya menolak menjawab pertanyaan Ellen.

"Tadi kau bilang memiliki seorang adik. Di mana dia sekarang?" Ellen tidak menyerah.

Tapi lagi-lagi Dennis tidak menanggapi.

Ellen merasakan bahwa Dennis kembali menarik diri. Dia menyimpulkan mungkin keluarganya adalah sumber rasa sakit Dennis hingga lelaki itu memilih membentengi diri. Ellen juga bertanya-tanya apakah ini berkaitan dengan pembunuhan yang pernah Dennis lakukan.

Akhirnya Ellen memilih untuk tidak mendesak. "Kalau badainya belum juga reda, bolehkah aku menginap?"

Setelah sejak tadi mengabaikan ucapan Ellen, akhirnya Dennis menoleh menatap wanita di sampingnya. Tapi dengan pandangan tak percaya seolah tiba-tiba tumbuh tanduk di kepala Ellen.

"Kau berniat menginap di rumah lelaki asing yang lokasinya jauh dari penduduk? Apa kau sudah gila? Bahkan keluargamu juga tidak tahu bahwa kau di sini. Aku bisa saja melakukan hal buruk dan tidak akan ada yang mencurigaiku."

Hal buruk macam apa? Seketika otak jalang Ellen memikirkan adegan erotis yang pasti sama sekali tidak buruk.

"Kenapa kau malah tersenyum begitu?" tanya Dennis dengan mata melebar.

Ellen menggigit bibir dengan wajah memerah malu, tak sadar bibirnya melengkung membentuk senyum tertahan memikirkan Dennis yang berniat melakukan hal buruk pada dirinya.

"Jangan bilang kau tidak keberatan aku melakukan sesuatu padamu." Dennis ternganga, ekspresi kaget yang sudah lama tidak menghiasi wajahnya. Lalu dia memijat pelipisnya sendiri seraya bergumam pelan, "Benar-benar jelmaan Sintha."

--------------------------

Fyuuhh, lumayan panjang.

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now