"Tidak, tentu saja tidak!" Ellen berseru.

Lalu keduanya terdiam saat Dennis mempercepat langkah karena mendung kian pekat.

"Sepertinya kita semakin masuk ke dalam hutan," gumam Ellen beberapa saat kemudian.

Dennis tidak mengatakan apapun, memilih berkonsentrasi melangkah agar tidak tersandung. Dan saat rumahnya tinggal beberapa meter lagi, perlahan rintik hujan jatuh membasahi bumi.

"Hujan!" seru Ellen. "Sebaiknya kita berteduh. Tanah akan semakin licin dan itu sangat berbahaya."

Dennis mengabaikan Ellen dan memilih terus berjalan cepat. Beberapa saat kemudian mereka sudah keluar dari hutan yang lebat dan rumah Dennis sudah terlihat. Ketika akhirnya Dennis menjejakkan kaki di teras belakang rumahnya, gerimis seketika menjadi hujan lebat yang seolah ditumpahkan ke bumi.

Sejenak Dennis menurunkan Ellen dari punggungnya lalu bergegas menuju pintu depan karena dia hanya membawa kunci pintu depan.

Petir menggelegar begitu keras. Lalu kilatnya silih berganti membentuk cahaya panjang yang indah sekaligus menakutkan, diiringi suara guntur yang memekakkan telinga. Tidak cukup sampai di situ, angin pun berhembus cepat, seolah hendak mencabut pepohonan dari akarnya.

"Cepat masuk!" seru Dennis begitu pintu depan terbuka.

Tanpa ragu Ellen masuk ke dalam rumah Dennis sambil melompat-lompat dan langsung berada di ruang tamu yang pernah sekilas dilewatinya saat menuju kamar mandi.

"Kupikir kau akan membawaku ke jalan raya," katanya masih sambil melompat mengikuti Dennis.

"Jaraknya lebih dekat ke rumahku dan mobilku di sini," jelas Dennis seraya menunduk, melihat kaki Ellen. "Apa semakin sakit?"

"Yah, sedikit."

"Kau tidak bisa memaksakan diri terus bergerak atau itu akan membengkak. Duduk saja di situ. Aku akan mengantarmu pulang begitu badai berlalu."

Kemudian Dennis meninggalkan Ellen yang memilih duduk di sofa empuk lalu bergegas ke dalam rumah.

Sejenak Dennis membersihkan diri dan berganti pakaian. Lalu dia menuju dapur, membuatkan teh hangat untuk Ellen. Beberapa saat kemudian, Dennis sudah kembali ke ruang tamu dengan segelas teh hangat dan sebotol whisky untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak punya perapian dan pemanas ruangan. Jadi kuharap ini bisa membuatmu hangat," kata Dennis seraya duduk di samping Ellen.

Ellen tersenyum manis seraya berterima kasih lalu meneguk nikmat teh buatan Dennis. Lalu dia menatap Dennis penuh penilaian.

"Kenapa melihatku begitu?" tanya Dennis dengan nada dingin yang biasa seraya meneguk whisky.

"Sadar atau tidak, kau lebih banyak bicara hari ini dibanding pertemuan-pertemuan kita sebelumnya. Dan juga sangat perhatian."

"Bukan apa-apa. Saat terjebak di hutan, kau mengingatkanku pada adikku dan betapa keras kepalanya dia. Persis sepertimu dan selalu membuatku jengkel." Dennis mengatakan itu tanpa melihat Ellen. Perhatiannya tertuju pada jendela kaca yang menampakkan keributan di luar rumah, agar Ellen tidak melihat sorot rindu, sedih, dan penuh sayang yang pasti tampak jelas dalam mata Dennis saat memikirkan adiknya, Sintha.

Adik? Dennis memiliki adik?

Itu informasi yang tidak pernah didengar Ellen. Rasa penasarannya langsung tergelitik. Namun sebelum dia sempat mengajukan pertanyaan apapun, mendadak Dennis berdiri.

"Aku lapar. Di dapurku hanya ada mie instan. Kalau kau juga mau, aku juga akan membuatkannya untukmu."

"Aku mau sekali."

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now