Ellen terbelalak. "Sampai seperti itu?"

"Hu'um. Aku sampai berpikir untuk keluar dari rumah. Tapi Ayah mencegah dan berkata sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu tapi Ibu tidak mau menceritakannya. Ayah sedang berusaha mencari tahu dan berpikir bahwa itu berhubungan dengan kerinduan Ibu pada kota besar, tempatnya dulu dilahirkan."

"Apa sekarang Ayah tahu penyebabnya?"

"Ibu tetap tidak mau menceritakan apapun. Dan biasanya setelah marah-marah tidak jelas, dia melunak lagi. Mulai bersikap seperti biasa dan terkadang sampai minta maaf atas kelakuannya." Terdengar hela napas Ellias. "Seperti kata Ayah, orang-orang bisa berubah seiring waktu. Mungkin Ibu juga begitu. Jadi kami berdua belajar menyesuaikan diri. Tidak melakukan sesuatu yang memancing amarahnya. Dan jika dia terlanjur marah, kabur saja," Ellias terkekeh.

Ellen merebahkan diri dengan lekukan punggung Ellias sebagai bantal. Sesuatu yang biasa dia lakukan sejak mereka masih kanak-kanak.

"Andai Ibu mau menceritakan apa yang mengganggunya."

"Mungkin sebaiknya kau tidak pergi lagi. Sepertinya Ibu kehilangan teman curhat. Aku dan Ayah pasti dianggap kurang peka untuk menjadi teman berbincangnya. Dan amat tidak mungkin dia berbagi cerita dengan pelayan."

"Aku tidak bisa," Ellen mendesah. Mimpinya sudah di depan mata. Ellen tidak bisa berhenti begitu saja.

"Aku hanya bercanda, bodoh. Tidak perlu terlalu dipikirkan." Ellias kembali fokus pada gamenya.

Ellen tidak mungkin tidak memikirkannya. Pikirannya melayang memikirkan sang Ibu. Apakah jika dirinya bertanya. Ibunya bersedia bercerita? Atau malah itu akan memancing kemarahannya yang lain?

Duuuttt....

Suara samar itu membuat Ellen mengerutkan kening. Dia tidak langsung menyadari itu suara apa. Tapi saat bau busuk terasa menyengat hidungnya, seketika dia duduk seraya menutup hidung.

"Ellias! Kau menjijikkan!" seru Ellen keras seraya bergegas turun dari ranjang lalu keluar kamar dan hanya ditanggapi tawa keras sang Adik.

***

Dennis berbaring nyalang di kamarnya. Satu tangan diletakkan di bawah kepala sebagai bantal sementara tangan yang lain tampak memegang anting Ellen dengan ibu jari dan telunjuk, memperhatikannya dengan seksama.

Tanpa bisa dicegah, otak Dennis terus memikirkan wanita itu sejak dia pergi dengan air mata menetes. Rasa bersalah sempat hingga di hati Dennis. Dia bertanya-tanya apa dirinya sangat keterlaluan.

Tapi lalu otak sinisnya menampilkan sosok Aira dan perasaan dikhianati yang masih melekat hingga kini. Terutama saat terakhir mereka bertemu. Aira mengunjunginya di penjara dengan perut buncit yang membuat hati Dennis kian beku. Bahkan Dennis masih ingat betul kalimat terakhir yang diucapkkannya pada wanita itu sebelum beranjak kembali ke dalam sel tahanan.

Aku ingin mengatakan 'selamat' untuk kalian. Tapi bisakah kita tidak bertemu lagi setelah ini? Setidaknya hargai hatiku yang sudah hancur. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, terutama dengan senyum bahagia itu.

Jemari Dennis yang memegang anting mengepal kuat. Sakitnya masih sangat terasa, seolah itu baru terjadi kemarin.

Ellen pasti sama saja dengannya, pikir Dennis kemudian. Awalnya saja yang bersikap manis. Mengisi hari-hari Dennis dengan cerita bahagia. Tapi kemudian saat menemukan lelaki lain yang lebih muda dan tampan, dia akan langsung berbalik pergi, meninggalkan luka yang dalam.

Ya, keputusan Dennis untuk menolak Ellen tidak salah. Memang seharusnya dia mendorong Ellen menjauh sejak awal, sebelum hatinya terjerat. Tidak ada wanita yang bisa dipercaya. Semuanya sama!

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now