"Jadi aku boleh ke dalam rumahmu?"

Dennis yang tengah membungkuk dengan kapak menancap di kayu mendongak tiba-tiba menatap Ellen lalu perlahan menegakkan tubuh, membiarkan kapaknya tetap tertancap.

"Kenapa kau ingin masuk ke rumahku?" tanyanya dengan nada mengancam.

"Eh... anu—" Sepertinya Ellen salah strategi. Dia terlalu cepat berniat masuk ke rumah Dennis. Jadi wajar kalau Dennis curiga. "Kemarin aku juga menumpang kamar mandi di rumahmu. Mungkin saja malah terjatuh di sana."

Dennis menghampiri Ellen dengan aura mengintimidasi yang terasa jelas. Mati-matian Ellen menahan kakinya agar tidak melangkah mundur seraya mendongak menantang mata biru sedingin es itu.

Jarak mereka tinggal selangkah saat akhirnya Dennis berhenti. Ekspresi wajahnya amat tak bersahabat. "Kenapa kau berpikir antingmu jatuh di dalam rumahku? Apa kau sengaja melepasnya lalu meninggalkan antingmu di sana?"

Ellen tertawa dibuat-buat dengan maksud menghina tuduhan Dennis. Padahal keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. "Yang benar saja. Untuk apa aku melakukan hal konyol macam itu?"

"Kenapa tidak tanyakan pada dirimu sendiri?"

Ellen pura-pura merasa lelah. Dia mengela napas lalu berkata, "Dengar, aku tahu kau tidak suka aku di sini. Dan aku sendiri masih punya kegiatan lain. Kalau bukan karena antingku, aku tidak perlu repot-repot mencari ke sini. Jadi berikan aku waktu beberapa menit saja untuk mencari agar aku bisa lekas pergi. Adil, kan?"

Dennis tidak langsung menyahut, hanya memperhatikan Ellen tajam sebelum bertanya, "Lalu kau akan pergi dari sini dan tidak datang lagi, kan?"

"Setelah menemukan antingku, aku akan pergi."

Salah satu alis Dennis terangkat. "Kau akan terus di sini bahkan meski tidak menemukan antingmu? Apa mungkin kau memang sengaja meninggalkan antingmu di sini?"

"Ah, bukan seperti itu. Maksudku kalau aku sudah selesai mencari, aku akan pergi. Bahkan meski tidak berhasil menemukannya."

Akhirnya Dennis mengangguk. "Baiklah." Dennis mundur selangkah. "Silakan cari di tempat-tempat yang kau pijak kemarin. Semoga antingmu tidak tersapu hujan."

Itu tidak mungkin, pikir Ellen seraya menyeringai dalam hati.

"Yah, semoga saja." Hanya itu yang Ellen katakan dengan nada sedih yang dibuat-buat.

Saat Dennis kembali mengayunkan kapak, Ellen mulai berpura-pura mencari antingnya di teras rumah Dennis. Namun matanya sesekali mencuri pandang ke arah punggung yang tampak kokoh dan keras itu.

Lima menit mencari di teras, Ellen pikir sudah waktunya menemukan antingnya. Akhirnya dia kembali mendekati Dennis.

"Sepertinya antingku tidak ada di sana."

"Kalau begitu, pergilah." Dennis tak menghentikan ayunan kapaknya.

"Aku belum mencari di dalam kamar mandimu."

KRAAKK!

Dennis terengah-engah dengan keringat bercucuran saat menatap Ellen. "Kau masih memaksa ingin mencari di dalam?"

"Aku bertekad mencari di tempat manapun yang kudatangi kemarin. Anting itu cukup berharga. Jadi aku harus menemukannya."

Dennis tersenyum sinis lalu berbalik, mendahului Ellen ke dalam rumah tanpa mengatakan apapun. Tiba di depan kamar mandi, Dennis membuka pintunya lalu mengedikkan dagu sebagai isyarat agar Ellen masuk sementara ia sendiri melipat kedua tangan di depan dada seraya menyandarkan bahu ke ambang pintu.

Ellen masuk seraya menunduk menatap lantai. Meski rumah Dennis tergolong di pelosok, tapi dia punya toilet duduk dan dinding serta lantai kamar mandi yang bersih terawat.

Tak menemukan apa yang dicarinya di lantai, Ellen pura-pura mendesah seraya menoleh ke arah tempat sabun. Dia berniat tak sengaja menemukan antingnya di sana. Tapi lalu terbelalak menyadari apa yang dicarinya juga tak ada di sana.

Buru-buru Ellen mengangkat sabun dan mencari ke sela-sela tempat sabun itu. Tetap tak menemukan apapun.

"Apa kau meletakkan antingmu di situ?" tanya Dennis tanpa beranjak dari tempatnya bersandar.

Ellen menoleh ke arah Dennis dengan raut tersinggung. "Kenapa kau terus-menerus menuduhku? Aku hanya memeriksa mungkin antingku tersangkut di sini."

Kali ini Dennis menegakkan tubuh seraya masuk ke kamar mandi. Dia mendekati Ellen dengan sikap bak predator membuat Ellen mau tak mau melangkah mundur hingga terjebak di bak mandi lebar berlapis keramik.

"Lucu sekali kalau kau berpikir antingmu bisa jatuh ke tempat sabun di kamar mandiku. Kemungkinan besar hanya akan jatuh di lantai lalu tersapu air. Apalagi kau tidak tahu di mana antingmu hilang. Bisa saja saat melintasi halaman rumah temanmu, terjatuh di kubangan lumpur." Dennis semakin mendekatkan tubuhnya lalu menumpukan kedua tangan di puncak bak mandi yang hanya setinggi pinggang, memerangkap Ellen. "Ellen Alodie, aku sudah muak dengan segala trik murahanmu. Aku tahu kau tertarik padaku dan berusaha mencari perhatianku. Meski aku tidak mengerti apa yang kau lihat dariku, tapi kukatakan dengan tegas. Aku benci melihat binar memuja di matamu terhadapku.

"Aku tidak butuh siapapun dalam hidupku, apalagi seorang wanita. Kau hanya akan menjadi benalu yang mengganggu hidup tenangku. Jadi pergilah! Sebelum aku mengatakan sesuatu yang lebih menyakitkan lagi atau bahkan menyakitimu secara fisik. Kau pasti sudah mendengar bahwa aku pernah dipenjara karena membunuh seseorang. Karena itu, membunuhmu bukanlah sesuatu yang sulit."

Ellen ternganga, membeku di tempat. Bahkan setelah Dennis mundur menjauh, dia belum bisa bergerak. Kata-kata Dennis sangat menyakitkan. Bahkan lelaki itu tidak berusaha memperhalus penolakannya.

"Pintu keluar ada di sebelah sana. Mungkin kau lupa." Dengan tanpa perasaan Dennis menunjuk pintu, mengabaikan eskpresi syok dan air mata di wajah Ellen akibat ucapannya.

Ya, Ellen juga menangis. Dia sendiri baru menyadarinya saat setengah berlari keluar kamar mandi dan rumah Dennis. Tapi bukan jenis tangis terisak dengan nada memilukan. Hanya air matanya mengalir tanpa bisa dicegah.

Sungguh, rasanya menyakitkan! Pekik Ellen dalam hati saat ia sudah berada di balik kemudi mobilnya.

Kenapa Dennis bisa begitu kejam? Apa salahnya mengagumi seseorang? Ellen juga tidak bisa mencegah kekaguman ini muncul di hatinya.

Baiklah, dirinya yang salah. Seharusnya Ellen tetap hanya melihat Dennis dari jauh. Seharusnya dia tidak lagi mengunjungi Dennis setelah selesai memberikan cheese cake. Memang dirinya yang salah karena tidak bisa menahan diri.

Brak!

Refleks Ellen memukul kemudi mobil saat air matanya semakin deras. Lalu dia menghela napas untuk menenangkan diri seraya mengusap pipinya yang basah.

Sekilas Ellen melirik rumah Dennis. Tidak ada siapapun di sana. Dengan kekecewaan yang kian menjadi gumpalan besar di dada, Ellen menyalakan mesin mobil lalu melajukannya.

-------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now